|
REPUBLIKA,
05 Juli 2013
Krisis
politik di Mesir mencapai puncaknya, Selasa malam (2/7), saat militer
mengumumkan penggulingan terhadap Presiden Mesir Muhamad Mursi. Kudeta
dilakukan setelah ultimatum militer tak diindahkan Mursi. Di tengah
tekanan ratusan ribu demo rakyat dan oposisi, militer mengintervensi dan kini
mengambil alih kekuasaan Mesir. Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Adly Mansour
ditunjuk militer menjadi presiden sementara hingga digelarnya pemilu.
Dilema
transisi Instabilitas sosial politik di Mesir sebenarnya sudah bisa diprediksi
sejak jatuhnya diktator Mubarak pada dua tahun lalu oleh aksi revolusi Arab
spring. Berkuasanya militer dan kelompok sekuler dalam rentang waktu yang cukup
lama, hampir 30 tahun, lalu tumbang oleh kekuatan rakyat tentu menjadi pukulan
telak bagi rezim Mubarak, termasuk kalangan Barat yang selama itu mendukung
Mubarak.
Tuntutan
mengadili Mubarak dan kroninya juga tak lepas dari kekuatan rakyat yang
menyambut revolusi sebagai era baru perubahan menuju demokrasi modern. Komitmen
bagi tegaknya negara demokratis pun diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilu
bebas pertama dalam sejarah Mesir modern. Kelompok Islam Ikhwanul Musli
min (IM) memenangkan pemilu parlemen dan presiden, lalu di urutan kedua
kelompok Salafi (garis keras) sebagai pemilik kursi terbanyak di parlemen
setelah IM. Presiden sipil pertama pun terpilih, Mursi, dari IM.
Sebenarnya,
kesuksesan penyelenggaraan Pemilu Mesir ini menjadi catatan tersendiri, yakni
sebagai barometer bagi harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab. Saat ini,
mayoritas wilayah Arab dikuasai para tiran berbentuk kerajaan.
Pemilu juga sekaligus sebagai modal dasar dan strategis bagi pembangunan
kembali Mesir baru yang lebih demokratis dan transparan.
Sayangnya,
modal penting yang dibangun dengan mengorbankan banyak nyawa dalam revolusi
Mesir dan menumbangkan rezim Mubarak itu tidak mampu dimanfaatkan dengan baik.
Di satu sisi, para elite (kelompok sekuler dan oposisi) yang kalah dalam pemilu
terus menggalang pembangkangan sipil rakyat terhadap pemerintah yang sah
melalui gerakan parlemen jalanan. Sedangkan, di sisi lain, kelompok Islam yang
berkuasa, yakni IM dan koalisinya, cenderung memaksakan kehendak dalam waktu
singkat.
Kasus
pembuatan konstitusi baru Mesir menjadi preseden buruk yang menebar benih-benih
konflik antarkekuatan. Konstitusi baru lebih "berwarna" Islam,
yang ditolak kalangan sekuler dan minoritas. Pun, masih banyak lainnya. Seharusnya,
kekuasaan dijalankan dengan mengakomodasi seluruh nilai dan kekuatan sehingga
semua terwakili dengan baik. Ketidakpuasan akan selalu ada, namun hal itu dapat
diminimalisasi dengan tingkat partisipasi rakyat yang lebih memadai.
Sedangkan,
dari sisi rakyat, dapat ki ta baca bahwa psikologi rakyat Mesir yang selama 30
tahun hidup dalam kungkungan dan kediktatoran, menginginkan revolusi dapat
mewujudkan kebebasan sejati dan kesejahteraan hakiki. Di tengah tingkat
kemiskinan yang mencapai 50 persen dari jumlah penduduk 80 juta jiwa, rakyat
yang tidak sabar meng- hadapi fakta kehidupan yang semakin sulit di era
reformasi ingin segera ada pergantian kekuasaan.
Lewat
fenomena tersebut, mereka berharap dapat merealisasikan harapan untuk hidup
aman, damai, dan mampu membeli kebutuhan sehari-hari. Inilah dilema yang
sesungguhnya dihadapi Mesir saat ini. Tidak mudah menghadapi dan melewati masa
transisi. Di banyak negara, termasuk Mesir, terbukti jalan terjal yang dilalui
belum tentu membuahkan hasil sesuai harapan. Dalam konteks Mesir, para elite
terbukti tidak mampu menahan diri.
Oposisi
dan kelompok sekuler yang kalah dalam pemilu, tidak siap menerima kekalahan.
Sedangkan, kelompok Islam yang menang terlalu bernafsu mewujudkan obsesi
mereka, tanpa mereka sadari bahwa Mesir yang plural dan homogen adalah milik
bersama. Membangun negara yang demokratis tidak seperti membalik tangan. Amerika
membutuhkan waktu 200 tahun lebih untuk menjadi negara demokrasi.
Amerika
dan Barat yang selama ini mengampanyekan demokrasi, terutama di negara-negara
berkembang, seharusnya juga all out
membantu mewujudkan demokrasi sejati tanpa tendensi apa pun. Namun, sulit
dielakkan, Barat juga mempunyai agenda tersembunyi. Kudeta militer di alam
demokrasi apalagi terhadap pemerintahan sah yang dihasilkan melalui pemilu yang
bebas jelas tidak dibenarkan. Biasanya, penentangan kudeta datang dari Barat.
Namun, faktanya tidak ada penentangan itu. Demokrasi sejati tidaklah mengenal
standar ganda.
Beruntunglah,
Indonesia mampu melewati transisi demokrasi dengan baik dan mulus. Kata
kuncinya, para elite menyadari pentingnya membangun konsensus bersama bagi
tegaknya bangsa dan negara berdasarkan pada kesepakatan bersama, yakni
Pancasila, serta role model ideal,
yaitu demokrasi. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa transisi harus diimbangi
dengan kesadaran kolektif akan pentingnya kehidupan yang demokratis dan
sejahtera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar