|
REPUBLIKA,
05 Juli 2013
Pada 18-19 Februari 2013/8-9 Rabiul
akhir 1434 yang lalu, penulis mengikuti "The
Preeparation Meeting for International Crescent Observation Conference"
di Istanbul, Turki. Perbedaan dalam menentukan awal bulan Qamariah (Ramadhan,
Syawal, dan Zulhijah) tidak hanya terjadi di Indonesia. Umat Islam di berbagai
belahan dunia juga mengalami hal yang sama. Oleh karena itu, perlu
dirumuskan konsep kalender Islam yang bisa diterima semua pihak. Inilah salah
satu yang menjadi latar belakang diadakannya konferensi.
Kegiatan ini dihadiri para menteri
agama, ulama, dan ilmuwan. Pertemuan ini sesungguhnya untuk menggali permasalahan-permasalahan
yang di hadapi umat Islam dari berbagai negara seputar hisab dan rukyat untuk
diagendakan dan ditindaklanjuti pada konferensi selanjutnya.
Dalam khazanah pemikiran kalender
Islam, khususnya di Indonesia, dikenal istilah wujudul hilal dan visibilitas hilal
(imkanur rukyat). Pada awal
kehadirannya wujudul hilal merupakan sintesa kreatif atau "jalan tengah"
antara teori ijtimak (qabla al-ghurub)
dan teori visibilitas hilal atau jalan tengah antara hisab murni dan rukyat
murni.
Karena itu, bagi teori wujudul hilal, metode yang dibangun
dalam memulai tanggal satu bulan baru pada kalender Islam tidak semata-mata
proses terjadinya konjungsi, tetapi juga mempertimbangkan posisi hilal saat
matahari terbenam. Dengan kata lain, awal bulan Qamariah dimulai bila
telah terjadi konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, dan
matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan.
Sementara itu, visibilitas hilal
adalah bangunan teori yang bersumber dari pengalaman subjektif para
pengamat. Sehingga, melahirkan beragam varian, misalnya, teori visibilitas
hilal yang dikembangkan Mabims, Turki (1978), Mohammad Ilyas, Mohammad Syawkat
Audah (Odeh), dan Hamid Mijwal Naimiy. Teori ini menyatakan awal bulan Qamariah
dimulai bila memenuhi syarat- syarat yang ditentukan, seperti telah terjadi
konjungsi, konjungsi terjadi sebelum matahari terbenam, elongasi, umur bulan,
mukuts, dan ketinggian hilal.
Ada pertanyaan yang perlu diajukan,
mengapa teori visibilitas hilal le- bih popu ler di lingkungan
astronom? Menurut penulis, para astronom, sesuai dengan era perkembangan
awalnya, ma- sih dipengaruhi oleh pola pikir positivistis-empiris. Meskipun
demikian, dalam hierarki dan klasifikasi hisab, wujudul hilal dan visibilitas hilal masuk satu rumpun, yaitu hisab ijtimak dan posisi hilal di atas
ufuk.
Sekilas tampak jelas bahwa keduanya
bersumber dari pemahaman dan pengalaman serta memiliki tingkat kepastian yang
sama. Namun dalam perjalanan nya, implementasi visibilitas hilal di Indonesia
tidak sesuai konsep awal yang dirumuskan. Dalam praktiknya, visibilitas hilal
hanya digunakan sebagai pemandu observasi hilal, khususnya dalam menentukan
awal bulan Ramadan dan Syawal.
Mohammad Syawkat Audah menyatakan,
saat ini dunia Islam yang memiliki kalender Islam yang mapan adalah Turki dan
Malaysia. Keduanya secara konsisten menggunakan teori visibilitas hilal sejak
Muharam hingga Zulhijah tanpa menunggu hasil observasi. Pernyataan ini dalam
konteks Indonesia mengisyaratkan bahwa wujudul
hilal lebih mapan dan memberi kepastian dalam struktur kalender Islam
dibandingkan visibilitas hilal. Artinya, visibilitas hilal yang digunakan
Pemerintah Indonesia belum diakui di tingkat global.
Sebab, dalam praktiknya
untuk menentukan awal bulan Qamariah, khususnya awal Ramadhan dan Syawal, masih
harus menunggu hasil observasi. Dengan kata lain, visibilitas hilal yang
digunakan tidak sesuai makna asal.
Penulis sudah lama mengusulkan agar
dibentuk tim observasi awal bulan Qamariah. Salah satu tugas tim adalah
melakukan observasi setiap awal bulan Qamariah secara
berkesinambungan. Dari sinilah diperoleh data yang autentik. Tim terdiri
dari berbagai unsur (ormas, akademisi, dan praktisi).
Dengan kata lain, tim merupakan
gabungan antara "insinyur" dan "tukang". Keduanya
diperlukan sesuai kapasitas masing-masing. Ibarat membangun rumah, para
insinyur diperlukan untuk merumuskan dan menggambarkan bentuk rumah yang indah
dan asri sedangkan tukang diperlukan untuk mewujudkan rumah yang telah
dirumuskan oleh para insinyur. Kerja sama keduanya sangat diperlukan agar dapat
terwujud rumah yang indah dan asri sesuai gambar asal.
Begitu pula dalam penyatuan kalender
Islam diperlukan pemikiran-pemikiran substantif-integratif. Antara pemikir dan
praktisi harus berjalan bergandengan untuk mewujudkan konsep yang telah
disepakati bersama. Perlu disadari bersama jika pilihan kita adalah penyatuan
kalender Islam maka dengan besar hati kita harus rela "berkorban"
meninggalkan observasi sebagai metode untuk menentukan awal bulan
Qamariah.
Hal ini sebagiamana hasil Ijtima'al-Khubara'
al-Tsani Dirasat Wadh at-Taqwim al-Islamy di Rabat Maroko, 15-16 Syawal 1429
H/15-16 Oktober 2008. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa pemecahan problematika
penyatuan kalender Islam di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali
berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah,
seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.
Artinya, jika kita tetap bertahan de- ngan observasi sebagai penentu masuknya
tanggal 1, khususnya awal Ramadhan dan Syawal, maka kita tidak akan memiliki
kalender Islam yang mapan sampai kapan pun. Selama ini, upaya penyatuan lebih
diarahkan pada penyatuan metode untuk menentukan awal bulan Qama riah belum
memasuki konsep kalender Islam secara komprehensif.
Kehadiran kalender Islam yang mapan merupakan sebuah kebutuhan untuk agenda
dan aktivitas rutin ibadah mau- pun transaksi lainnya. Kaitannya de ngan
penyatuan kalender Islam peristiwa perjanjian Hudaibiyah dapat dijadikan inspirasi bagi para elite bangsa untuk memiliki sifat kenegarawanan. Pemerintah
dan ormas-ormas Islam harus senantiasa berusaha mencari titik temu dan siap
berkorban. Wallahu a'lam bish shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar