|
SUARA
KARYA, 02 Juli 2013
Dalam pemikiran ekonomi, ada dua
mazhab besar yang saling bertentangan: kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme
adalah mazhab ekonomi yang menekankan otonomi individu dan pasar bebas untuk
mengejar pertumbuhan, sedangkan mazhab sosialisme menekankan ekonomi untuk
kemakmuran dan kesejahteraan bersama dengan negara berperan dominan.
Jika kapitalisme mendewakan
individu, maka sosialisme mendewakan negara. Perbedaan mazhab ekonomi ini
berimbas pada pengelompokan kiblat politik. Kubu kapitalisme berkiblat ke Barat
(Amerika Serikat dan sekutunya), sedangkan kubu sosialisme berkiblat ke Timur
(Rusia, China, dan sekutunya). Meski secara de
facto, mazhab kapitalisme yang "menang"--seperti diungkapkan
Fukuyama--namun faktanya, kemakmuran yang dicapainya menimbulkan kesenjangan
ekonomi yang luar biasa antara si kaya dan si miskin.
Di pihak lain, dominasi negara
terhadap sistem perekonomian negara-negara sosialis menjadikan korupsi
merajalela dan kekayaan negara dikuasai para pejabat. Fenomena itu, misalnya,
terlihat di China dan negara-negara komunis lain.
Baik mazhab kapitalisme maupun
sosialisme gagal memakmurkan rakyat. Kedua mazhab ekonomi ini, meminjam Peter L
Berger dalam The Pyramids of Sacrifice:
Political Ethics and Social Change, sama-sama "memakan" korban
anak-anak bangsanya. Kapitalisme, menurut Berger, membiarkan manusia yang satu
mengeksploitasi manusia yang lain, sedangkan sosialisme sebaliknya.
Dalam konteks itulah, Pancasila
memberikan alternatif yang jitu. Mubyarto, misalnya, memperkenalkan Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) dengan
memberikan landasan teori yang aplikatif. Menurut Mubyarto, SEP dijiwai Pancasila
dan merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan
nasional.
Ada lima prinsip dasar ekonomi
Pancasila, tulis Mubyarto (LP3ES, 1981). Pertama, koperasi berperan dominan
dalam kehidupan ekonomi; kedua, ekonomi tumbuh dengan rangsangan modal dan
moral; ketiga, ada komitmen kuat terhadap pemerataan sosial; keempat,
menciptakan perekonomian nasional yang kuat dan mandiri; kelima, ada
desentralisasi ekonomi (agar tidak menumpuk di suatu kelompok atau perorangan).
Dari gambaran itu, ekonomi
Pancasila jelas tidak hanya bertumpu pada modal, tetapi juga moral. SEP
memberikan jalan tengah bagi sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. SEP selain
memberikan ruang kepada individu dan swasta, juga menekankan moral dalam
menjalankan roda perekonomian.
Ini artinya, menurut Bung Karno,
dalam perekonomian harus ada moralitas yang berdasarkan landasan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Itulah sebabnya mengapa filsuf Bertrand Russel amat mengagumi
Pancasila. Menurut Russel, Pancasila adalah sintesis kreatif antara Declaration of Independence-nya Amerika
dengan manifesto komunisnya Rusia dan China.
Namun, apa yang sekarang terjadi?
SEP makin jauh dari sistem perekonomian nasional. Koperasi sebagai asas ekonomi
tidak tumbuh, kalah bersaing dengan perekonomian kapitalis. Kekayaan negara
yang seharusnya dikelola negara untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat
(Pasal 33 UUD 45) malah dikelola swasta untuk sebesar-besar kepentingan
korporasi. Batu bara, minyak bumi, nikel, dan lain-lain kini
"dimainkan" swasta untuk kepentingan korporasi internasional.
Akibatnya, negara merugi dan rakyat tak bisa menikmati kekayaan Ibu Pertiwi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar