Rabu, 03 Juli 2013

Sineritas Kemitraan dan Pelayanan

Sineritas Kemitraan dan Pelayanan
Fadly Samad ;  Perwira Siswa Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah Polri
Angkatan 53 Tahun 2013
SUARA MERDEKA, 02 Juli 2013


“Pada masa mendatang, personel Polri harus bisa membangun interaksi sosial lebih erat dengan masyarakat”

MASYARAKAT selalu menuntut Polri untuk senantiasa mereformasi diri, baik secara struktural, instrumental, maupun kultural. Upaya itu bisa dilakukan melalui berbagai pemberdayaan dan peningkatan sumber daya, dengan harapan Polri mampu beradaptasi terhadap perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat.

Perjalanan ke arah itu memerlukan paradigma baru. Prof Dr Hermawan Sulistyo berpendapat paradigma adalah sekumpulan norma dan nilai (aturan, standar, dan prinsip atau asas) serta sekumpulan prakondisi yang bisa memengaruhi perilaku dan tindakan anggota suatu masyarakat/ komunitas.

Paradigma didasarkan atas realitas yang didukung fakta dan data valid, yang dituangkan dalam kerangka konsep guna membangun teori paradigma yang tepat dalam suatu periode. Perlu mengubah paradigma karena kemungkinan terjadi ketidaksesuaian dengan realitas di tengah masyarakat sehingga perlu paradigma tandingan.

Apabila masyarakat merasakan paradigma tandingan tersebut dapat menjawab tantangan zaman maka saat itu berarti telah lahir paradigma baru. Tapi perubahan paradigma bukanlah sekadar perubahan teknologi, struktur kerja, dan cara kerja, melainkan perubahan cara berpikir yang selanjutnya mengaplikasikan dalam tindakan nyata sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

Menapaki usia ke-67 Polri, ke depan personel polisi harus bisa lebih nyata menjadi anutan publik. Selain itu, mampu membangun simpati dan kemitraan bersama masyarakat. Terlebih berkait peringatan HUT Bhayangkara, Presiden SBY lewat akun Twitter Senin (1/7/13) mengingatkan Polri untuk terus berbenah dan lebih baik lagi melayani masyarakat. Siangnya, Presiden kembali menegaskan hal itu dalam upacara HUT di Mako Brimob, Kelapa Dua Depok Jabar.

Semua itu selaras dengan tema peringatan HUT tahun ini, yang antara lain mengaitkan pentingnya sinergitas kemitraan dan keterwujudan pelayanan prima. Artinya, ke depan  personel Polri di mana saja dan kapan saja harus bisa membangun interaksi sosial lebih erat dengan masyarakat. Keberadaannya harus menjadi simbol persahabatan dan kemitraan, dengan mengedepankan pencegahan ketimbang penindakan.

Ada ekspektasi besar dari masyarakat terhadap keterwujudan polisi madani yang berorientasi kemitraan dalam pemecahan masalah, sekaligus menunjukkan jati diri sebagai polisi sipil yang profesional, humanis, tidak arogan, dan siap berkomunikasi dari hati ke hati dengan masyarakat. Tidak kalah penting, kehadiran personel bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Salah satu konsep yang dikembangkan adalah community policing atau perpolisian masyarakat.

Perubahan secara masif terkait paradigma polisi sipil menjadi tanggung jawab seluruh personel untuk mengimplementasikan secara berkesinambungan sehingga bisa meraih  kepercayaan dari masyarakat. Personel Polri harus memahami dan menghayati perubahan paradigma baru itu supaya kembali meraih kepercayaan publik.

Paradigma

Kita bisa membandingkan paradigma baru yang kita harapkan bersama, dengan paradigma lama. Pertama; imbas posisi Polri saat bergabung dengan TNI yang paling dirasakan adalah budaya Polri yang mengarah militeristik, yang menjadi alat kekuasaan rezim yang sedang berkuasa waktu itu.

Perubahan paradigma yang diharapkan adalah Polri harus menjadi alat negara penegak hukum yang bisa menciptakan keamanan dan ketertiban sehingga masyarakat merasa terlindungi, terayomi, dan terlayani guna mendorong keterbangunan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang demokratis, beradab, dan berkeadaban.

Kedua; sifat militer adalah otoriter, sedangkan sifat sipil adalah demokrasi. Demokrasi secara harfiah diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Dengan demikian polisi sipil adalah polisi yang bersifat demokratis atau siap mendahulukan kepentingan banyak orang. Penekanan peran itu bukan mendasarkan pada pengedepanan kekuatan fisik melainkan lebih menyandarkan pendekatan kemanusiaan.

Pelayan Masyarakat

Ketiga; di bawah paradigma lama, polisi lebih bersifat reaktif dan cenderung mengedepankan pendekatan penegakan hukum (represif). Di bawah paradigma baru, polisi harus berupaya menggeser pendekatan dari penegakan hukum yang merupakan eksekusi kewenangan menuju ke arah pencegahan (preventif) dan penangkalan (preemtif).

Keempat; mengedepankan pemenuhan kewajiban dibandingkan eksekusi kewenangan. Perpolisian masyarakat bisa menjadi paradigma baru yang lebih mengedepankan fungsi pemenuhan kewajiban, yaitu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, dan secara otomatis tak lagi mengedepankan fungsi kewenangan represif.

Kelima; kewenangan yang melekat pada jabatan Polri selama ini disalahartikan sebagai atasan yang berkuasa yang menghendaki dilayani oleh masyarakat. Seharusnya sesuai dengan moto Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, semua anggota Polri harus bisa berperan menjadi pelayan masyarakat.


Critical issues yang berkembang saat ini berkait pergeseran paradigma Polri sangat beragam, di antaranya kewenangan yang sangat besar dan berkedudukan langsung di bawah presiden, anggaran yang lebih besar dibandingkan TNI, lahan yang dulu milik instansi lain berpindah seiring domain tugas Polri yang makin luas, yang bisa membuat iri institusi lain. Karena itu, ke depan, Polri harus menempatkan diri lebih profesional supaya kembali mendapat kepercayaan besar dari masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar