|
KOMPAS,
21 Juni 2013
“Ini adalah kemenangan kecerdasan dan
moderasi atas konservatisisme.?” Demikian pernyataan Hassan Rohani setelah
dinyatakan memenangi Pemilu Presiden Iran pada 14 Juni.
Hassan
Rohani adalah satu-satunya capres dari kelompok reformis. Kemenangannya
mendapat tanggapan baik dari sejumlah negara, terutama Barat, yang kerap
bersitegang dengan Iran.
Berdasarkan
hasil penghitungan suara, Hassan Rohani mendapatkan 18,6 juta suara, atau lebih
dari 50 persen. Dengan demikian, Rohani dipastikan menang dalam satu putaran
dan menjadi Presiden ke-11 Iran.
Kemenangan
Rohani dalam pemilu kali ini tidak terlepas dari kekompakan kelompok reformis
yang berhasil mendukung Hassan Rohani sebagai calon tunggal. Bahkan,
tokoh-tokoh senior kelompok reformis, seperti Mohammad Khatami dan Akbar
Hashemi Rafsanjani (keduanya mantan Presiden Iran), kerap turun gunung
berkampanye untuk kemenangan Hassan Rohani.
Suara
kelompok konservatif justru terpecah pada lima capres lain. Apalagi, pemimpin
tertinggi spiritual Iran, Ayatollah Khamenei, selama ini bersikap netral
terhadap para capres.
Ada
tiga tantangan utama bagi presiden Iran terpilih. Pertama, revolusi Suriah yang
belakangan mengental menjadi konflik sektarian kelompok Syiah versus kelompok
Sunni.
Dampak
Suriah
Semenjak
revolusi menerjang Suriah dua tahun lalu, Iran di bawah kepemimpinan kelompok
konservatif berusaha mempertahankan rezim Bashar al-Assad. Para ahli militer
Iran disebut-sebut membantu pasukan Bashar al-Assad menghadapi serangan dari
kelompok revolusi.
Iran
menjadi koordinator segenap kekuatan di belakang Bashar al-Assad. Iran juga
berperan menjaga soliditas negara-negara besar (seperti Rusia dan China)
mendukung rezim Al-Assad, khususnya di sidang PBB. Ke bawah, Iran
mengorganisasi kekuatan- kekuatan yang dapat membantu rezim Al-Assad di
lapangan tempur, seperti Hizbullah di Lebanon ataupun milisi Syiah dari Irak
dan negara Arab lain.
Perang
di wilayah Qusair mutakhir menjadi contoh ”karya Iran” yang totaliter membantu
Al-Assad. Sejumlah kekuatan milisi Syiah di kawasan (khususnya Hizbullah)
secara terang-terangan terlibat langsung dalam pertempuran yang dimenangkan rezim
Bashar al-Assad.
Kedua,
kecenderungan konflik sektarian kelompok Syiah dan kelompok Sunni yang makin
meluas di Timur Tengah. Campur tangan dalam krisis politik di Suriah harus
dibayar dengan harga sangat mahal oleh Iran. Di satu sisi, Iran semakin tajam
terlibat konflik dengan negara-negara Arab Teluk yang mendukung kelompok
revolusi Suriah (seperti Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain). Di sisi lain, campur
tangan Iran dan sejumlah milisi Syiah dalam konflik di Suriah berpotensi
membuka luka lama antara sekte Syiah dan Ahlussunnah.
Beberapa
waktu terakhir, Hizbullah menjadi sasaran kritik dari banyak pihak di Timteng.
Khususnya setelah milisi bersenjata di Lebanon itu terlibat langsung dalam
peperangan di Qusair, sebagaimana telah disampaikan di atas. Tak terkecuali
kritikan dari kalangan masyarakat Lebanon yang sampai pada tahap benturan fisik
dan korban jiwa akibat bentrokan dengan para pendukung Hizbullah.
Bahkan,
lembaga besar dan ternama seperti Al-Azhar yang selama ini bersikap netral
turut mengkritik yang dilakukan Hizbullah dan Iran di Suriah. Ini karena sikap
keduanya bisa membuka luka lama di antara dua sekte terbesar dalam Islam yang
bisa memperluas konflik sektarian (Ash-Sharq
Al-Awsat, 14/6).
Secara
politik, ini merupakan kerugian besar bagi Iran dan Hizbullah. Semangat
sektarian akan membuat dua kekuatan di atas tak ubahnya terjun bebas menuju
lembah cercaan dan kritikan. Padahal, Iran merupakan salah satu kekuatan utama
di kawasan yang menjadi motor utama bagi gerakan perlawanan (ad-duwal al-mumanaah) terhadap Israel.
Jadi
musuh bersama
Kini
peta berbalik. Iran dan Hizbullah, yang sebelumnya dianggap sebagai pahlawan,
diposisikan tak ubahnya pecundang. Bahkan, Suriah yang tak lain adalah kekuatan
nomor dua setelah Iran di barisan perlawanan kini menjadi musuh bersama
kelompok-kelompok ekstrem.
Ketiga,
selama dua periode pemerintahan terakhir, Iran cenderung mengembangkan hubungan
yang bersifat konflik dengan Barat, terutama terkait isu nuklir. Akibatnya,
Iran mendapatkan pelbagai macam sanksi.
Kelompok
reformis memberikan harapan baru bagi tata politik luar negeri Iran yang lebih
bersahabat dengan pendekatan dialog. Bahkan, dalam konteks krisis Suriah, kelompok
reformis berjanji tidak akan menjadikan Bashar al-Assad sebagai ”syarat
mutlak”. Oleh karena itu, kemenangan Hassan Rohani dalam pemilu Iran kali ini
bisa dipahami sebagai kehendak bulat dari rakyat Iran untuk memoderasi
kebijakan politik luar negerinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar