|
SUARA
KARYA, 20 Juni 2013
Hampir semua tentu sepakat 'tidak setuju' dan tidak suka dengan
perilaku korupsi yang merugikan. Menurut Thompson (1993), korupsi itu buruk
bukan karena uang dan keuntungan yang berpindah tangan, dan juga bukan karena
motif perilaku korupsi, melainkan karena memprivatisasi aspek berharga
kehidupan publik, melalui proses perwakilan, debat, dan pemilu.
Awal Juni lalu, sejumlah media melaporkan catatan Kemendagri
bahwa sekitar 300 kepala daerah tersangkut perkara korupsi. Sebanyak 294 di
antaranya bahkan telah menjalani hukuman di penjara sejak 2005 hingga akhir Mei
2013.
Fenomena ini dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama,
jelas data itu mengagetkan karena berarti terdapat lebih dari separuh kepala
daerah dari total 500-an daerah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia
tercemar kasus hukum (korupsi). Di sisi lain, mengingat hasil penelitian
berjudul "Pengaruh Pengaturan Pemiluka dalam UU No.32 Tahun 2004 terhadap
Perilaku Korupsi Kepala Daerah" yang dilakukan oleh penulis sendiri
bersama Donni Edwin tahun 2011 bahwa memang terdapat kecenderungan kuat
perilaku koruptif yang dilakukan oleh kepala daerah akibat lemahnya
aturan-aturan kampanye Pemilukada dalam UU.
Apa sebetulnya pangkal persoalan perilaku korupsi para
kepala daerah? Tanpa bermaksud menggeneralisasikan, penulis sependapat dengan
argumentasi 'umum' yang sering direlasikan dengan tindakan korupsi pemimpin
daerah. Bahwa perilaku korupsi kepala daerah dapat disebabkan oleh persoalan
sistem pemilihan yang berlaku sejak 2005, yaitu pemilihan kepala daerah secara
langsung (pemilukada).
Bagaimana relasi antara perilaku korupsi dan pengaturan
dalam Pemilukada?
Pertama, peran besar uang bagi seorang calon kepala daerah
dalam proses Pemilukada di Indonesia. Aloysius Benedictus Mboi (2009) membuat
penjelasan terkait hal itu sebagai berikut: "....Reading
from experience, a candidate without money almost surely will not be elected. A
party without money will not have extensive popular support. It seems that the
political landscape and political culture in the near future will be determined
by the people and parties that have the most money.."
Uang yang mesti digelontorkan oleh seorang calon kepala
daerah itu setidaknya diperuntukkan untuk dua jenis keperluan, yaitu biaya
'sewa perahu' dan biaya kampanye. Untuk biaya 'sewa perahu', walaupun tidak
diatur oleh UU, ongkos ini dalam banyak kasus memang ada terutama untuk seorang
bakal calon kepala daerah yang maju melalui jalur parpol. Uang 'sewa perahu'
ini dimaksudkan agar memperoleh restu dari parpol pengusung.
Untuk biaya kampanye, UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai acuan tata cara pemilukada memiliki sejumlah
kelemahan dalam hal pengaturan kampanye. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 75
sampai pasal 79 UU No.32 Tahun 2004. Kelemahan aturan itu berimplikasi kuat
terhadap biaya politik yang tinggi.
Kedua, besarnya fulus yang mesti dikeluarkan itu berkaitan
dengan 'kewajiban' seorang calon kepala daerah terpilih untuk mengembalikannya.
Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengatakan ketika dia bertanya kepada seorang
gubernur berapa biaya yang dikeluarkan selama pilkada, jawabannya adalah 60
miliar rupiah. Ketika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada gubernur lain,
gubernur itu menjawab menghabiskan dana sampai 100 miliar rupiah. (Kompas, 18/1/11)
Apabila informasi dari Mendagri itu dikaitkan dengan besaran
jumlah gaji gubernur yang hanya 8,6 juta rupiah per bulan atau total 516 juta
rupiah selama lima tahun menjabat, jelas jumlah dana besar yang harus
dikeluarkan langsung atau tidak membuat kepala daerah 'terpaksa' melakukan
korupsi dana rakyat.
Penjelasan di atas diperkuat oleh Persson dan kawan-kawan
(2003) bahwa politisi terpilih memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan
kekuasaannya berkaitan dengan pengeluaran untuk pemilih.
Walaupun demikian, bukan berarti penulis sepakat dengan
pendapat yang mengatakan kita harus mengubah sistem pemilihan kepala daerah
dari langsung menjadi tidak langsung (oleh DPRD). Ada sejumlah alasan terkait
hal itu.
Pertama, meskipun sistem pemilukada (langsung) berimplikasi
terhadap perilaku korupsi kepala daerah, akan tetapi kelemahan sistem itu
bukanlah satu-satunya sebab. Masih ada hal lain yang juga patut diperhitungkan,
seperti mental korupsi si pemimpin, lemahnya penegakan hukum, dan lemahnya
pengawasan oleh DPRD.
Kedua, mengubah sistem dari langsung menjadi tidak langsung
tidak serta-merta menghapus perilaku korupsi kepala daerah. Hal ini karena
relasi uang juga tetap akan ada, tapi bukan antara calon kepala daerah dengan
pemilih melainkan dengan lembaga legislatif daerah.
Michael Buehler (2010) dalam Decentralization and Local Democracy in Indonesia: The Marginalization
of the Public Sphere mengatakan bahwa dalam sistem pemilihan kepala daerah
oleh DPRD, banyak anggota lembaga legislatif lokal meminta uang yang 'ditukar'
dengan dukungan kepada para calon kepala daerah. Harold Crouch (2010) setali
tiga uang dengan Buehler bahwa pemberian uang oleh kepala daerah terpilih
kepada anggota DPRD kerap dilakukan ketika seorang calon kepala daerah menang
dalam sistem pemilihan oleh DPRD.
Jadi, kita jangan gegabah menyimpulkan bahwa hanya sistem
pemilukada saja yang patut kita kambinghitamkan. Aspek lain juga perlu ditelaah
agar kita bisa mendapatkan kesimpulan secara faktual dan komprehensif.
Akhirnya, sistem pemilu kepala daerah secara lagsung tetap
penting dipertahankan agar rakyat dapat menilai sekaligus menentukan
pemimpinnya secara langsung tanpa melewati pihak lain. Terkait kelemahan adanya
uang 'sewa perahu' dan mahalnya biaya kampanye, sudah selayaknya dikoreksi oleh
Kemendagri dan DPR sebagai perumus perubahan UU tentang Pemilukada. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar