|
SUARA
KARYA, 20 Juni 2013
Sejauh ini, sebagian besar partai
politik (parpol) di Indonesia boleh disebut belum demokratis. Ketika prinsip
demokrasi hendak ditegakkan, ada sesuatu yang aneh. Elite politik membuat
aturan internal yang berujung demokratisasi tidak berkembang. Sebagai
antisipasi, perlu diatur dalam UU Pemilu, agar demokratisasi di internal parpol
sejalan dengan proses demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, harus ada
klausul yang memaksa demokratisasi di tubuh parpol.
Demokratisasi di parpol harus
terus dikawal, misalnya dengan mengembangkan konvensi, dan hal itu harus diatur
dalam undang-undang. Perlunya dimasukkan ajang konvensi dalam undang-undang
karena konvensi merupakan bagian dari demokratisasi dalam internal parpol.
Sebab, demokratisasi melalui konvensi akan memunculkan para calon pemimpin yang
berkualitas. Bahkan, bisa jadi calon pemimpin yang benar-benar dikehendaki
rakyat.
Selama ini, ketika parpol
menentukan calon pemimpin, kebanyakan tidak dibuka secara terang-terangan.
Partai bisa melakukan konvensi untuk menentukan calon pemimpin yang akan
diusung pada pemilu. Apalagi, konvensi membuka kompetisi capres di internal
partai sehingga capres tidak dibajak elite partai yang akan memutuskan dengan
membatasi jumlah kandidat.
Keputusan membatasi jumlah
kandidat itu menunjukkan bahwa partai belum melakukan kaderisasi dengan baik.
Kaderisasi di parpol tidak berjalan sehingga ketika akan mencalonkan kepala
daerah, banyak yang tidak siap. Kesannya, figur calon pemimpin ditentukan asal
comot saja. Seharusnya, parpol menyiapkan kader sesuai dengan proses perekrutan
calon pemimpin sehingga teruji secara kualitas.
Begitu juga dalam menentukan calon
anggota legislatif, harus dilakukan secara terbuka. Ironisnya, cara parpol
dalam menentukan bakal calon anggota legislastif sangat misterius. Masyarakat
banyak yang tidak tahu kinerja atau latar belakang seorang caleg.
Pengisian jabatan publik di parpol
juga sangat eksklusif sehingga menghilangkan demokratisasi. Seharusnya partai
menjelaskan secara mendetail mengapa memilih seseorang untuk duduk di jabatan
publik tertentu.
Bagi anggota DPR yang kembali maju
dalam penca-lonan legislatif, misalnya, maka masyarakat harus mengetahui
bagaimana kinerjanya selama menjadi anggota dewan. Kalau memang sering bolos,
tentu tak layak dipilih lagi karena sama saja sudah mengingkari kepercayaan
masyarakat.
Fungsi kontrol di DPR juga sangat
lemah sehingga masyarakat banyak yang tidak tahu kinerja anggota dewan. Untuk
itu, penyebarluasan produk undang-undang yang dihasilkan DPR dan juga masalah
absensi menjadi sangat penting dilakukan.
Suatu "tradisi" yang
melekat di parpol adalah bahwa parpol tidak siap menghadapi masalah. Terkesan
parpol kurang persiapan atau kurang perencanaan. Seperti dalam penentuan batas
akhir pendaftaran caleg tempo hari, terbukti mereka hampir selalu memenuhinya
pada detik-detik sebelum penutupan di setiap tenggat yang diberikan.
Pemanfaatan waktu pada detik-detik
terakhir sudah pasti akan menjadikan sangat terburu-buru. Risikonya, akan
banyak kesalahan dilakukan. Walaupun, misalnya, hanya kesalahan registrasi,
tetapi hal itu tetap saja akan membuat suasana pendaftaran menjadi kacau.
Bayangkan, orang
berbondong-bondong datang bersama-sama ke KPU untuk mendaftar dan memuat tanda
terima. Padahal, sudah diberikan waktu cukup lama. Oleh karena itu, parpol
harus berbenah, parpol harus mengubah manajemen kepemimpinannya. Kalau tidak,
tentu saja citra parpol akan makin terpuruk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar