|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2013
PEMERINTAH memenangi dukungan formal
untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melalui persetujuan
DPR atas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P)
2013. Meski protes dan penolakan terjadi di mana-mana, penaikan harga BBM hanya
tinggal waktu karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lama
mengondisikannya.
Selama ini, pemerintah berdalih anggaran negara banyak
tersedot untuk subsidi BBM. Besaran subsidi BBM di APBN 2013 mencapai Rp 193,8
triliun atau sekitar 12% dari total APBN. Padahal, yang justru paling membebani
ialah kewajiban pembayaran utang yang rata-rata menghabiskan 25% APBN per
tahun.
Posisi total utang pemerintah pada April telah mencapai Rp 2.023,72
triliun, sedangkan tahun ini pembayaran bunga utang Rp113,2 triliun dengan
cicilan pokoknya Rp58,4 triliun dan surat utang negara yang jatuh tempo 2013
sebesar Rp71 triliun. Dengan demikian totalnya mencapai Rp241 triliun atau 21%
dari belanja APBN. Pembayaran utang itu termasuk subsidi bunga obligasi
rekapitalisasi perbankan eks bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar
Rp70 triliun per tahun. Jadi, selama ini, pemerintah lebih banyak terbebani
oleh kewajiban pembayaran utang yang rata-rata menghabiskan 25% APBN per tahun,
bukan oleh subsidi BBM.
Selain itu, anggaran dianggap boros untuk belanja rutin
pegawai ketimbang untuk pembangunan dan fasilitas kesejahteraan rakyat.
Kebijakan penaikan harga BBM merupakan keputusan apopulis. Publik
pun mengartikan BBM sama dengan `beban berat masyarakat', khususnya masyarakat
miskin. Sebab, entah sehebat apa pun program yang ingin dikembangkan pemerintah
untuk membantu masyarakat miskin seperti bantuan langsung sementara masyarakat
(BLSM), program keluarga harapan (PKH), beasiswa siswa miskin (BSM), atau
programprogram lainnya, seperti selama ini, selalu gagal dalam implementasi di
lapangan.
Akan tetapi, sejajar dengan itu telah muncul pula eufemisme
yang meluncur di mana-mana dan ditembakkan ke mana-mana. Pemerintah, misalnya,
mengatakan penaikan harga BBM ini sebagai konsekuensi logis dari niat baik
pemerintah mengurangi subsidi BBM, sekaligus mengubah subsidi BBM menjadi
subsidi kepada rakyat miskin untuk pendidikan, kesehatan, dan pangan (targeted subsidy). Sebab, subsidi BBM
selama ini dinilai salah sasaran karena hanya menguntungkan sekelompok
masyarakat kaya, khususnya para eksportir ilegal. Tetapi, benarkah argumentasi
itu? Bagaimana menilai, menggambarkan, dan menjelaskan kebijakan itu dari
dimensi yang lebih luas?
Sebagai objek
Apa pun logika dan argumentasi yang diadopsi pemerintah,
eufemisme itu telah memuntahkan sejumlah isyarat. Pertama, naiknya harga BBM
setidaknya membenarkan adanya tafsir aksiomatis tentang sifat kekuasaan yang
selalu menekan pada nasib rakyat yang men derita, yang miskin, baik miskin
secara ekonomi maupun secara politik. Miskin secara ekonomi, artinya tidak
punya sandang, papan, dan pangan yang cukup.
Miskin secara politik, artinya tidak punya bargaining power
dalam bersuara pengambilan keputusan atau kebijakankebijakan politik. Karena,
biar bagaimanapun, keputusan `sepihak' itu telah membuat rakyat merasa selalu
ditekan untuk menerima kebijakan tanpa reserve.
Rakyat tidak bisa mengelak dan menawar agar penaikan harga BBM itu dapat
ditunda dulu hingga terjadi perbaikan ekonomi secara signifikan.
Kedua, naiknya harga BBM tersebut telah mengisyaratkan
sejarah yang semakin tidak ramah. Sejarah yang terus merampas keinginan negara
dari komunitas masyarakat bangsa ini. Sejarah keberadaan negara yang
diskriminatif. Sebuah pengkhianatan sosial yang sedang membentang di hadapan
kita semua. Ketidakberdayaan rakyat miskin adalah `situasi batas' sebagai
komunitas bangsa yang mempertaruhkan masa depan negeri ini.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang condong diskriminatif itu
pula telah memperkental kisah struktur sosial yang sedang hidup. Struktur
sosial yang memelihara apati kekuasaan dan sentralisme kesejahteraan. Struktur
sosial yang semakin menyuburkan dan melestarikan kemiskinan dan kemelaratan
kaum tak berdaya.
Pengalihan beban
Struktur sosial negara melestarikan kapitalisme, yang
membiarkan pertarungan ekonomi nonetika tanpa batas. Struktur sosial ketika
negara tidak punya `energi' dalam melumpuhkan gurita kapitalisme dan menghapus
kemiskinan struktural.
Keempat, negara seolah semakin melestarikan kemiskinan
dengan kebijakan-kebi jakan yang tidak hanya apopulis, tetapi juga semakin tidak
menjadi dentuman persoalan publik, dan sebaliknya semakin mengasah mesin
kekuasaan selama ini yang begitu represif. Inilah ironisnya, bahwa negara
sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang
terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest
Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang
sama. Namun, dalam praksisnya negara tidak pernah sanggup membangun
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada
pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara.
Kelima, kebijakan yang `represif' ini mempresentasikan
masalah yang jauh lebih besar dan mencekam yang sudah mengakar di negeri ini.
Ia merupakan contoh dari ekspresi kekuasaan di mana saja di negeri ini antara
orang kuat dan orang lemah, antara orang kaya dan orang miskin, antara kelompok
elite kaya dan rakyat jelata.
Penaikan harga BBM hanya mengalihkan beban pemerintah
kepada rakyat. Pemerintah telah lari dari tanggung jawabnya. Pemimpin dan para
pemangku kepentingan negeri telah melenceng dari amanat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan
sumber kekayaan alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.
Hal ini juga sebagai gambaran situasi dan kondisi kehidupan
masyarakat bangsa ketika negara tidak pernah hadir secara serius untuk
menunjukkan keberpihakannya. Semua itu memang merupakan salah satu dari sekian
banyak persoalan diskriminatif atau salah satu dari sekian banyak sign of the time yang kerap lewat di
depan pintu sejarah bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar