|
MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2013
`TIDAK ubahnya petir di siang bolong, lengkap dengan banjir
kirimannya.' Inilah mungkin istilah yang
pas untuk melukiskan aksi demonstrasi yang terjadi di Turki dalam beberapa hari
terakhir, setidaktidaknya dalam pandangan pemerintah dan segenap elite Partai
Keadilan dan Pembangunan (AKP). Dikatakan demikian karena Turki selama ini
terus stabil dan melangkah pasti menuju masa depan yang lebih cemerlang, baik
dari segi politik maupun ekonomi. Hal ini dialami Turki di saat rezim-rezim
Arab di sekitarnya berguguran akibat guncangan revolusi.
Tak dinyana, Turki yang pada 2023 digadang-gadang akan
masuk ke jajaran 10 negara maju dunia secara ekonomi, tiba-tiba diguncang aksi
demonstrasi secara besar-besaran di sejumlah kota. Pada awalnya, aksi yang
bermula pada 31 Mei ini dipicu rencana pembangunan pusat perbelanjaan di Alun-Alun
Taksim. Namun, secara cepat gerakan ini berubah menjadi gerakan politik dan
ideologis menuntut Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan untuk mengundurkan diri
karena dianggap diktator dan melakukan kebijakan islamisasi.
Faktor Suriah
Dalam kondisi Timur Tengah karut-marut seperti sekarang,
apa yang terjadi di Turki saat ini dapat dipahami sebagai imbas dari
perkembangan politik luar, khususnya revolusi Suriah yang belum ada tandatanda
akan segera berakhir.
Apalagi Turki selama ini kerap ikut campur dalam persoalan krisis politik di
Suriah, dari membuka perbatasannya bagi kelompok-kelompok revolusi Suriah
hingga kecaman terhadap rezim Bashar al-Assad.
Hal ini tentu dilakukan Turki untuk memastikan keamanan dan
kepentingan nasionalnya dengan logika `politik bertetangga': segala yang
terjadi di tetangga akan memberikan dampak terhadap keluarga, berapa pun
kadarnya.
Dengan logika politik seperti di atas, Turki tampak sangat
berambisi untuk men ciptakan Suriah yang stabil. Dalam kondisi seperti sekarang,
Suriah yang stabil hampir mustahil bisa terwujud bila rezim Bashar al-Assad
terus bercokol. Itu sebabnya, Turki kerap melakukan pelbagai macam manuver
politik untuk segera menyelesaikan masalah Suriah yang berarti juga
menyelesaikan sebagian dari masalahnya sendiri. Bahkan Turki juga kerap menjadi
tuan rumah bagi pelbagai macam pertemuan kekuatan-kekuatan anti-Bashar
al-Assad.
Di sinilah Turki mau tidak mau harus berhadapan langsung
dengan rezim Suriah. Tentu ini bukan persoalan sederhana bagi Turki, di satu sisi berhadapan dengan
rezim Al-Assad sama dengan berhadapan dengan seluruh kekuatan yang selama ini
kerap membela Al-Assad, dari Hezbullah di Libanon, Iran, hingga Rusia. Adapun
di sisi lain, negara-negara yang anti-Bashar al-Assad tidak mempunyai suara bulat
untuk segera mengakhiri rezim Bashar al-Assad seperti yang diinginkan Turki,
khususnya Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutunya.
Itu sebabnya, Turki acap tampak `seorang diri' dalam
menghadapi rezim Suriah bersama segenap kekuatan yang mendukungnya. Sementara
itu, AS dan sekutu lainnya acap menutup mata dari ambisi dan kepentingan Turki
untuk segera mengakhiri rezim Bashar alAssad sebagai langkah awal memastikan
dan melindungi kepentingan nasionalnya.
Inilah yang sering penulis sebut sebagai logika `koalisi
pinggiran' yang diterapkan AS terhadap Turki. Sikap seperti ini berbeda seratus
persen dari kebijakan yang dilakukan AS terhadap Israel sebagai `koalisi inti'.
Sementara itu, Turki dibiarkan sendirian menghadapi musuh-musuhnya. Faktor nasional
Hal ini tak berarti bahwa revolusi Turki hanya disebabkan faktor Suriah semata.
Karena sekuat apa pun faktor luar, sulit bisa beroperasi secara sempurna bila
tidak didukung kondisi internal.
Secara internal, setidaknya ada tiga kelompok yang turut mengobarkan
revolusi Turki saat ini. Pertama, kelompok sekuler plus militer. Sejarah Turki
modern sarat dengan pertarungan antara kekuatan islamis dengan kelompok
sekuler, khususnya militer yang kerap meneguhkan diri sebagai pengawal
sekularisme Turki. Dalam sejumlah pertarungan, kelompok sekuler kerap menjadi
pemenang, khususnya setelah militer turun tangan dengan melakukan aksi kudeta
ataupun pemberedelan terhadap kekuatan-kekuatan islamis.
Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi) yang didirikan Erdogan dan teman-teman
(2001) berhasil membuat cerita baru dalam sejarah pertarungan dua kekuatan
besar di atas. Partai ini berhasil menang besar pada Pemilu 2002 dan terus
berkuasa secara digdaya hingga hari ini.
Alih-alih mengudeta sebagaimana kerap dilakukan sebelumnya,
kelompok militer justru dipaksa tak berdaya pada masa pemerintahan Erdogan
dengan AKP-nya. Amendemen konstitusi menjadi senjata ampuh yang digunakan AKP
untuk melumpuhkan kelompok militer. Amendemen konstitusi 2003, contohnya,
berhasil melucuti hak eksekutif, hak pengawasan, dan hak penuntutan oleh Dewan
Keamanan Nasional yang dikuasai kelompok militer. Amendemen konstitusi 2009
terus menyempurnakan amendemen sebelumnya hingga unsur sipil bisa masuk jajaran
Dewan Keamanan Nasional (Erdogan: Muadzin
Istanbul Penakluk Sekularisme Turki, hal 114).
Oleh karena itu, pada bagian tertentu, revolusi Turki saat
ini bisa dipahami sebagai upaya perlawanan dari kelompok sekuler plus militer
untuk melumpuhkan balik kekuasaan Erdogan dengan memanfaatkan perkembangan
politik regional Timur Tengah, khususnya Suriah, sebagaimana telah disebutkan.
Perubahan gerakan yang begitu cepat, dari penolakan terhadap proyek pembangunan
tempat perbelanjaan di Alun-Alun Taksim (Taman Gezi) menjadi gerakan menuntut
Erdogan mundur (sebagaimana telah disebutkan) bisa dijadikan sebagai salah satu
bukti dari yang disampaikan di atas.
Kedua, kelompok pemberontak dari kaum Kurdi yang kerap
terlibat konflik terbuka dengan aparat Turki. Kemungkinan ini menjadi faktor bagi
revolusi Turki saat ini sangatlah kecil. Bahkan dalam beberapa waktu terakhir,
para pejuang Kurdi diberitakan telah meninggalkan Turki menuju Irak.
Ketiga, kelompok pro-Assad yang ada di internal Turki,
khususnya dari kalangan Syiah. Selama revolusi Suriah berkobar, kelompok
pro-Assad di Turki kerap bermanuver untuk menekan pemerintah agar tidak ikut
campur dalam krisis di Suriah.
Di luar yang telah disebutkan di atas, tentu masih ada
kemungkinan lain yang menjadi faktor bagi terjadinya revolusi Turki saat ini,
baik faktor yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Termasuk di
dalamnya adalah hubungan Israel-Turki yang jauh dari stabil akibat serangan
kapal Mavi Marmara oleh pasukan Israel beberapa tahun lalu.
Namun demikian, bila dikalkulasi di antara faktor-faktor
yang ada, revolusi Suriah bisa disebut sebagai faktor paling dominan bagi
revolusi Turki saat ini. Mengingat kekuatan politik yang anti terhadap sikap
Turki dalam mendukung kelompok revolusi Suriah tersebar di mana-mana, dari ranah
global, regional hingga bahkan nasional Turki. Tak berlebihan bila dikatakan
revolusi Turki saat ini berasa Suriah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar