|
PARIWISATA di Indonesia bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, sektor
tersebut semakin menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Berdasar data
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta BPS, pada 2012, kunjungan
wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 8,04 juta, meningkat 5,16 persen
dibanding 2011. Sektor pariwisata menyumbang devisa hingga USD 9,12 miliar pada
2012, tumbuh 6,62 persen dibanding 2011. Sektor itu menyerap sedikitnya 9,7
juta tenaga kerja dengan kontribusi ke produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp
322,6 triliun atau 3,9 persen dari total PDB.
Namun, di sisi lain, perlahan muncul kejenuhan pada mass tourism atau pariwisata masal di Indonesia. Paradigma wisata beralih dari mass tourism ke wisata minat khusus (special interest tourism). Dari sana, muncul konsep eco-tourism atau ekowisata. Konsep ekowisata muncul sejak 1987 ketika terjadi booming wisata masal yang berakibat destruktif pada banyak destinasi. Akibatnya, para konservasionis berteriak agar destinasi tidak melulu dieksploitasi.
Ekowisata berarti mengunjungi tempat-tempat yang masih alami dengan tujuan khusus belajar, menghormati, dan menikmati pemandangan, tumbuhan dan binatang liar, serta budaya setempat (Ceballos-Lascurain, 1987). The International Ecotourism Society/TIES (1990) menyatakan, ekowisata adalah bentuk perjalanan bertanggung jawab mengunjungi tempat-tempat yang masih alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat (TIES, 1990).
Ekowisata dianggap win-win solution tourism. Dulu, pariwisata cenderung lebih mengutamakan aspek ekonomi untuk mengeruk laba sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Akibatnya, destinasi wisata yang dieksploitasi berlebihan mengalami kerusakan, baik secara lingkungan maupun sosial-budaya.
Ekowisata menjadi antitesis mass tourism semacam itu. Beberapa negara yang rajin menerapkan ekowisata adalah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia sangat potensial sebagai destinasi ekowisata. Selain karena flora-faunanya yang beraneka ragam, Indonesia kaya budaya.
Membangun Masa Depan
Banyuwangi kini menggenjot penerapan ekowisata. Argumennya jelas: Banyuwangi mempunyai ''Segi Tiga Emas'' dengan kekayaan wisata alam yang luar biasa. Yaitu, Kawah Ijen, Pantai Sukamade, dan Taman Nasional Alas Purwo. Perpaduan lengkap antara dataran tinggi, pantai, dan kawasan hutan dengan kekayaan flora dan fauna tak ternilai. Belum lagi potensi budaya masyarakat Using dan kawasan pesisir yang sangat luar biasa. Kesenian gandrung, seblang, hingga kebo-keboanmemperkaya khazanah kebudayaan lokal Banyuwangi. Bisa dikatakan, Banyuwangi punya segala yang dibutuhkan untuk ekowisata.
Berangkat dari pemahaman itulah, di Banyuwangi, kami menerapkan empat kebijakan ekowisata. Pertama, pengelolaan destinasi dan daya tarik ekowisata. Destinasi-destinasi baru dimunculkan. Misalnya, Pantai Pulau Merah yang akan dijadikan tempat kompetisi selancar internasional pada 24-26 Mei 2013. Banyuwangi tahun ini memperbaiki dan membangun sekitar 250 kilometer jalan, termasuk jalan ke destinasi wisata. Daya tarik ekowisata dipadu sport-tourismseperti pelaksanaan kompetisi selancar internasional dan balap sepeda Tour de Ijen.
Kedua, standardisasi kompetensi SDM pariwisata. Pemkab Banyuwangi menyiapkan masyarakat sekitar dan pemandu wisata untuk menyambut wisatawan lokal dan mancanegara secara lebih profesional melalui kursus-kursus.
Ketiga, pengembangan pariwisata berbasis teknologi informasi (TI). Pemasaran dilakukan melalui instrumen TI, mulai panduan destinasi secara elektronik hingga promosi melalui media sosial Facebook dan Twitter.
Keempat, pemberdayaan masyarakat dan UKM penunjang. Poin keempat ini adalah titik tekan kebijakan ekowisata Banyuwangi dengan visi community based tourism (pariwisata berbasis masyarakat). Wisatawan yang datang ke destinasi wisata berbasis masyarakat akan menginap di rumah penduduk, mempelajari cara hidup mereka, dan makan makanan setempat.
Masyarakat lokal tidak hanya dijadikan objek turistik belaka, melainkan sebagai ''tuan'' bagi diri mereka sendiri, wirausahawan, penyedia jasa, sekaligus diberdayakan sebagai pekerja. Masyarakat lokal membuat kerajinan/suvenir, memasak kuliner khas lokal untuk dijual, menyediakan kamar untuk tempat menginap, mengajarkan budaya dan kearifan lokal, sekaligus belajar kepada wisatawan tentang hal-hal baru. Hotel-hotel baru di Banyuwangi diwajibkan membuka ruang bagi masyarakat lokal untuk memasok kebutuhan alat mandi hingga bumbu masak.
Salah satu contoh sukses penerapan ekowisata adalah komunitas Posada Amazonas yang hidup di daerah Taman Nasional Tambopata, Peru. Mereka mengelola lahan dan menawarkan ekspedisi melintasi hutan bagi wisatawan. Wisatawan diajak belajar cara hidup ala Indian Peru dengan berburu, memancing, hingga memotong pohon. Para wisatawan pun diajak menghargai alam.
Sembari berbenah, pemasaran ekowisata Banyuwangi pelan tapi pasti terus ditingkatkan. Hasilnya mulai terasa. Kian banyak wisatawan yang berkunjung, ekonomi masyarakat pun meningkat lantaran kenaikan permintaan suvenir, makanan, serta sarana penunjang lainnya.
Ekowisata adalah masa depan pariwisata kita. Bukan hanya bagi Banyuwangi, tapi juga bagi Indonesia. ●
Namun, di sisi lain, perlahan muncul kejenuhan pada mass tourism atau pariwisata masal di Indonesia. Paradigma wisata beralih dari mass tourism ke wisata minat khusus (special interest tourism). Dari sana, muncul konsep eco-tourism atau ekowisata. Konsep ekowisata muncul sejak 1987 ketika terjadi booming wisata masal yang berakibat destruktif pada banyak destinasi. Akibatnya, para konservasionis berteriak agar destinasi tidak melulu dieksploitasi.
Ekowisata berarti mengunjungi tempat-tempat yang masih alami dengan tujuan khusus belajar, menghormati, dan menikmati pemandangan, tumbuhan dan binatang liar, serta budaya setempat (Ceballos-Lascurain, 1987). The International Ecotourism Society/TIES (1990) menyatakan, ekowisata adalah bentuk perjalanan bertanggung jawab mengunjungi tempat-tempat yang masih alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat (TIES, 1990).
Ekowisata dianggap win-win solution tourism. Dulu, pariwisata cenderung lebih mengutamakan aspek ekonomi untuk mengeruk laba sebesar-besarnya, sehingga mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Akibatnya, destinasi wisata yang dieksploitasi berlebihan mengalami kerusakan, baik secara lingkungan maupun sosial-budaya.
Ekowisata menjadi antitesis mass tourism semacam itu. Beberapa negara yang rajin menerapkan ekowisata adalah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia sangat potensial sebagai destinasi ekowisata. Selain karena flora-faunanya yang beraneka ragam, Indonesia kaya budaya.
Membangun Masa Depan
Banyuwangi kini menggenjot penerapan ekowisata. Argumennya jelas: Banyuwangi mempunyai ''Segi Tiga Emas'' dengan kekayaan wisata alam yang luar biasa. Yaitu, Kawah Ijen, Pantai Sukamade, dan Taman Nasional Alas Purwo. Perpaduan lengkap antara dataran tinggi, pantai, dan kawasan hutan dengan kekayaan flora dan fauna tak ternilai. Belum lagi potensi budaya masyarakat Using dan kawasan pesisir yang sangat luar biasa. Kesenian gandrung, seblang, hingga kebo-keboanmemperkaya khazanah kebudayaan lokal Banyuwangi. Bisa dikatakan, Banyuwangi punya segala yang dibutuhkan untuk ekowisata.
Berangkat dari pemahaman itulah, di Banyuwangi, kami menerapkan empat kebijakan ekowisata. Pertama, pengelolaan destinasi dan daya tarik ekowisata. Destinasi-destinasi baru dimunculkan. Misalnya, Pantai Pulau Merah yang akan dijadikan tempat kompetisi selancar internasional pada 24-26 Mei 2013. Banyuwangi tahun ini memperbaiki dan membangun sekitar 250 kilometer jalan, termasuk jalan ke destinasi wisata. Daya tarik ekowisata dipadu sport-tourismseperti pelaksanaan kompetisi selancar internasional dan balap sepeda Tour de Ijen.
Kedua, standardisasi kompetensi SDM pariwisata. Pemkab Banyuwangi menyiapkan masyarakat sekitar dan pemandu wisata untuk menyambut wisatawan lokal dan mancanegara secara lebih profesional melalui kursus-kursus.
Ketiga, pengembangan pariwisata berbasis teknologi informasi (TI). Pemasaran dilakukan melalui instrumen TI, mulai panduan destinasi secara elektronik hingga promosi melalui media sosial Facebook dan Twitter.
Keempat, pemberdayaan masyarakat dan UKM penunjang. Poin keempat ini adalah titik tekan kebijakan ekowisata Banyuwangi dengan visi community based tourism (pariwisata berbasis masyarakat). Wisatawan yang datang ke destinasi wisata berbasis masyarakat akan menginap di rumah penduduk, mempelajari cara hidup mereka, dan makan makanan setempat.
Masyarakat lokal tidak hanya dijadikan objek turistik belaka, melainkan sebagai ''tuan'' bagi diri mereka sendiri, wirausahawan, penyedia jasa, sekaligus diberdayakan sebagai pekerja. Masyarakat lokal membuat kerajinan/suvenir, memasak kuliner khas lokal untuk dijual, menyediakan kamar untuk tempat menginap, mengajarkan budaya dan kearifan lokal, sekaligus belajar kepada wisatawan tentang hal-hal baru. Hotel-hotel baru di Banyuwangi diwajibkan membuka ruang bagi masyarakat lokal untuk memasok kebutuhan alat mandi hingga bumbu masak.
Salah satu contoh sukses penerapan ekowisata adalah komunitas Posada Amazonas yang hidup di daerah Taman Nasional Tambopata, Peru. Mereka mengelola lahan dan menawarkan ekspedisi melintasi hutan bagi wisatawan. Wisatawan diajak belajar cara hidup ala Indian Peru dengan berburu, memancing, hingga memotong pohon. Para wisatawan pun diajak menghargai alam.
Sembari berbenah, pemasaran ekowisata Banyuwangi pelan tapi pasti terus ditingkatkan. Hasilnya mulai terasa. Kian banyak wisatawan yang berkunjung, ekonomi masyarakat pun meningkat lantaran kenaikan permintaan suvenir, makanan, serta sarana penunjang lainnya.
Ekowisata adalah masa depan pariwisata kita. Bukan hanya bagi Banyuwangi, tapi juga bagi Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar