Kamis, 23 Mei 2013

Rekening Gendut Aiptu dan Para Jenderal


Rekening Gendut Aiptu dan Para Jenderal
Umar Sholahudin  ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya; Penulis buku Hukum dan Keadilan Masyarakat, terbit 2011 
JAWA POS, 22 Mei 2013

KASUS rekening gembrot Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) Polisi Labora Sitorus (LS) yang diduga mencapai Rp 1,5 triliun dipergoki PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Mabes Polri langsung bergerak cepat dengan menjadikan LS sebagai tersangka, ditangkap, dan ditahan. Dia dijerat tindak pidana pencucian uang (TTPU) dan penimbunan kayu ilegal di Papua.

LS ditahan penyidik Bareskrim Polri dengan sangkaan pasal 3, 4, 5, dan 6 UU No 8/2010 tentang Pencucian Uang serta pasal 78 ayat 5 juncto pasal 50 ayat 3 huruf f dan h UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang telah diubah menjadi UU No 19/2004. Selain melanggar UU, LS diduga melanggar larangan bagi anggota polisi untuk berbisnis. 

Kasus LS memang harus diusut tuntas. Namun, perlu dikritisi, mengapa baru kali ini, ketika nilai aliran dana mencapai Rp 1,5 triliun, baru kasus rekening gendut tersebut diungkap? Ketika sudah mencapai miliaran rupiah, mestinya PPATK bisa mengendus dan segera diusut.

Dari Polri, seperti dalam kasus Irjen DS (kasus simulator SIM), saya kira mustahil mereka tidak tahu. Bagaimana mungkin institusi Polri dengan perangkat yang cukup canggih tidak mampu mengendus atau mendeteksi aset dan kekayaan anggotanya. Early warning system di internal Polri (lembaga pengawas internal) jelas tidak berjalan. Itu mungkin disebabkan adanya conflict of interest dan solidaritas korps yang menjadikan LS (juga DS) cukup ''aman serta nyaman'' dan baru terungkap setelah media ribut. 

Sebelum kasus dugaan rekening gendut LS, internal Polri disorot dengan rekening gendut yang superheboh, yakni rekening gendut para jenderal polisi. PPATK pernah menemukan dan menyerahkan puluhan rekening gendut para jendral di instutusi Polri kepada aparat penegak hukum, termasuk ke Mabes Polri dan KPK.

Namun, hasil temuan PPTAK tersebut direspons Mabes Polri sendiri. Kata mereka, setelah melakukan investigasi internal, hasilnya dinyatakan tidak ada rekening gendut para jenderal sebagaimana yang diungkapkan PPATK. Bagaimana selanjutnya, bisa ditebak: dihentikan dan hilang dari peredaran publik. 

Laporan ke KPK, sami mawon, tidak ada kelanjutannya. Disentuh saja tidak, apalagi ditindaklanjuti. Padahal, dokumen PPATK adalah dokumen resmi yang bisa dijadikan aparat penegak hukum (Polri dan KPK) sebagai bahan awal yang cukup signifikan untuk ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan atau bahkan penyidikan (pro justitia). Apakah karena Mabes Polri menyatakan ''nihil'' sehingga pihak KPK tidak mau menyelidiki? Apalagi, hubungan dua lembaga itu sering sensitif. 

Jika kita mencermati dan membandingkan dua kasus dugaan rekening gendut di internal Polri tersebut, sangat tampak perbedaan perlakuan hukum alias diskriminasi antara LS versus para jenderal, terutama yang dilakukan Polri. Hukum dalam konteks ini, laiknya pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Polri begitu garang mengusut Aiptu LS dan cepat menjadikannya sebagai tersangka. Lebih cepat lagi, yang bersangkutan langsung ditahan. Sementara itu, Polri sangat lembek ketika memperlakukan kasus dugaan rekening gendut para jenderal. Mereka juga tidak terusik di jabatannya, bahkan tetap mendapat posisi strategis. Padahal, data dan dokumen resmi yang dipakai adalah sama, yakni dari PPATK yang memiliki akurasi dan kredibilitas yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Ingat, salah satu prinsip penegakan hukum adalah nondiskriminasi. Penegakan hukum harus bergerak pada (dugaan) unsur tindak pidana yang dilakukan seseorang, bukan bergerak karena status orang. Dalam konteks ini, Polri cenderung bergerak karena pertimbangan orang/pelakunya: orang kecil atau orang besar. Polri cenderung garang kepada ''orang kecil'' seperti LS dengan pangkat aiptu daripada oknum polisi yang berpangkat jenderal. 

Dalam kaitannya dengan dugaan rekening gendut para jenderal polisi, KPK cenderung ''mendiamkan'' hasil investigasi ''pagi-pagi'' Mabes Polri. Hal itu diperlihatkan dengan tidak adanya tindak lanjut data PPATK tersebut. Mestinya, untuk menghindari ''conflict of interest'' di internal Polri, KPK bisa mengambil alih dan menindaklanjuti data dugaan rekening gendut oknum para jenderal polisi. 

Gambaran itu disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk ''krisis sosial'' aparat hukum kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan hukum kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan itulah yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia. Praktik-praktik penegakan hukum yang berlangsung, meski secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), legitimasi moral dan sosial sangat lemah. Hasilnya, masyarakat sulit diajak percaya kepada mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar