|
MEDIA INDONESIA, 30 April 2013
Deretan nama artis kembali
mewarnai daftar calon anggota legislatif sementara (DCS) Pemilu 2014. Hampir
semua parpol memanfaatkan pesona mereka sebagai senjata ampuh untuk menarik
simpati dan meraup kursi di Senayan. Sebut saja Partai Demokrat yang
menggandeng Yenny Rahman dan Dede Yusuf, PDIP meminang Yessy Gusman dan Edo
Kondologit, Golkar merangkul Katon Bagaskara dan Ari Lasso, dan PPP menggaet
Mat Solar dan Angel Lelga. Di PKB tercatat ada Arzetti Bilbina dan Akrie
‘Patrio’, di PAN ada nama Lisa Natalia dan Gisel, di Hanura ada David Chalik
dan Andre Hehanusa, dan Gerindra memasang nama Irwansyah dan Helmalia Putri.
Walhasil, momentum pemilihan wakil rakyat mendatang tak ubahnya menjadi
kontestasi para bintang selebritas.
Langkah parpol mengimpor caleg dari kalangan artis itu wajar
dalam konteks politik yang hanya berorientasi pada how to get power. Di sini, pijakannya bukanlah kualitas, melainkan
popularitas. Namun, rekrutmen artis secara instan akan menjadi ancaman bagi
kader potensial.
Sangat sulit dan mahal bagi mereka yang sebenarnya punya kualitas
baik untuk bersaing dengan artis yang kebetulan punya modal finansial dan
kepopuleran. Lebih lagi, kultur masyarakat kita sejauh ini masih berbasis
visual. Budaya menonton lebih kuat ketimbang membaca. Penilaian terhadap figur
masih terbatas pada penampilan (image).
Sementara itu, ukuran-ukuran ideal, seperti integritas, track record, dan kompetensi, masih jauh panggang dari api. Ironisnya, parpol justru memanfaatkan kultur masyarakat semacam itu.
Pemiskinan Politik
Tepat kiranya Milan Kundera dalam novel Immortality (1990)
menyebut kenyataan tersebut sebagai bentuk politik imagologi (the imagology of politics). Di sini cita
rasa, image, dan persepsi publik
dibangun lewat serangkaian representasi visual dan naratif. Dalam imagologi,
pilihan politik seakan sama dengan pilihan konsumsi.
Artinya, pilihan-pilihan yang dibuat semata-mata
dipengaruhi daya tarik emosi dan rasa ketimbang pilihan kritis-refektif. Dengan
mekanisme imagologi itulah parpol hendak merayu publik melalui perekrutan
artis, menggunakan teknik media untuk menampilkan image yang menarik dan atraktif. Argumentasi dan bobot kualifi kasi
tidak penting lagi. Yang terpenting ialah bagaimana parpol bisa mengemas artis
sehingga publik menyukainya.
Padahal, imagologi politik itu mengarah ke diskontinuitas
antara citra politik (political image)
dan realitas politik (real politics).
Jika semakin kuat visualisasi imagologi di tubuh politik, komunikasi akan
terdistorsi secara sistematis. Bahkan, menurut Habermas (1989), itu akan
menggerus nalar kritis publik dan akhirnya terjadi pemiskin an politik.
Wilayah politik terjajah oleh uang dan fantasi yang dikemas
dalam balutan citra. Politik bermetamorfosis menjadi sekadar iklan dan industri
infotainment, dengan masalah-masalah kebangsaan digantikan berbagai imaji dan
rayuan. Politik yang pada mulanya menjadi penentu kehidupan bangsa terjerembap
penuh rekayasa. Rekrutmen caleg artis bukan untuk mem bangun politik autentik,
melainkan citra untuk mewadahi nafsu kuasa.
Mereka direkrut untuk sekadar menutupi kegagalan parpol
dalam mendidik dan mempersiapkan kader-kader yang punya kualitas dan kemampuan
sebagai legislator. Tak mengherankan jika nantinya anggota legislatif yang
terpilih mayoritas bukan berasal dari kader yang benar-benar memahami garis
perjuangan partai, melainkan kader karbitan yang direkrut untuk memperjuangkan
besaran porsi kue kekuasaan di rezim yang akan mengendalikan pemerintahan.
Terlebih jika hasrat para artis menjadi caleg itu didorong motif untuk
memperoleh popularitas, kedudukan, dan kekayaan, politik akan berada dalam
bahaya. Jauh dari politik sebagai sarana untuk kebaikan bersama, atau mencapai
kebahagiaan (eudaimonia).
Pemilih Cerdas
Jika mau jujur, figur artis sebenarnya bukanlah jawaban
dari kondisi bangsa yang tengah minim figur kepemimpinan akibat rapuhnya
mekanisme kaderisasi parpol meski di antara mereka ada yang tercatat memiliki
rekam jejak baik. Namun, di tengah gugatan terhadap gaya hidup hedonis dan
mental koruptif, publik harus bersikap kritis melihat implikasi dari proses
pencalegan artis.
Kita tentu tidak ingin jika kemunculan mereka pada akhirnya
hanya akan menciptakan kultur politik yang artifisial dan penuh kepura-puraan.
Tidak tahu apa yang hendak dilakukan dengan kekuasaan yang di genggamnya. Di
sinilah nasib bangsa terletak pada pemilih cerdas yang mampu memilih caleg
dengan akal sehat. Publik harus matang dalam mengukur kemampuan dan track
record mereka.
Sesuatu yang harus kita lihat ialah bagaimana pandangan
mereka terhadap persoalanpersoalan, seperti korupsi, potensi kekerasan dan
konflik sektarian, kriminalitas, kemiskinan, distribusi dan kelangkaan BBM, dan
naik turunnya dolar. Memilih calon wakil rakyat harus selektif dengan
pertimbangan rasional berdasarkan kompetensi, kualitas, dan berdedikasi tinggi
dalam proses pencapaian visi, misi, dan platform yang akan diperjuangkan. Bila
tidak, pemilu legislatif hanya akan jadi ajang parodi politik semata. Di
dalamnya dipertontonkan berbagai kedustaan, kepalsuan, artifisialitas, dan
superfisialitas politik. Akibatnya, sudah dapat dipastikan visi-misi dan
program kerja tak akan pernah menyentuh kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat.
Jika siklus itu terus-menerus terjadi, politik akan
mengalami disfungsi akut. Efek negatifnya ialah semakin antipatinya masyarakat
terhadap politik (pemilu). Ke depan sebaiknya setiap parpol harus membangun
mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik yang mapan.
Jenjang kaderisasi harus jelas dan memiliki indikator yang
dapat diukur. Jika mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik di setiap parpol
sudah mapan, siapa pun dapat memiliki kesempatan yang sama untuk dicalonkan
menjadi pejabat publik (caleg). Di sinilah inti dari politik autentik, yakni
proses menjadikan manusia dengan ketinggian akal, budi, nalar, dan pikiran
untuk menghasilkan energi perbaikan kehidupan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar