|
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013
Dalam rangka eksekusi mantan
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen (Purn) Susno Duadji,
kalangan akademisi dan masyarakat menjadi ramai mempersoalkan antara keadilan
dan kepastian hukum. Dengan penolakan permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung
(MA), berarti putusan menjadi tetap (in
kracht van gewijsde). Tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat ditempuh.
Eksekusi harus dilaksanakan.
Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dapat
dilakukan, tetapi ada persyaratan berat untuk itu. Harus ada novum atau keadaan
baru yang tidak diketahui pada waktu putusan dulu. Andai kata diketahui,
putusan tidak akan serupa dengan pu tusan yang sekarang. An dai kata hal itu
diketahui, putusan akan lain menjadi salah satu: bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau pidana yang lebih
ringan dari semula.
Putusan bebas jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum
tidak terbukti dan meyakinkan hakim. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (on slag van alle rechtsvervolging) jika
perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi ada dasar pembenar (tidak
melawan hukum) atau dasar pemaaf (tidak ada kesalahan).
Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika pada waktu
persidangan dulu perkara sudah lewat waktu (verjaard),
ne bis in idem, delik aduan tidak ada
pengaduan, anak di bawah umur, dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku untuk
delik itu. Dipidana lebih ringan dari semula jika putusan salah kualifikasi.
Misalnya, dipidana 20 tahun penjara karena melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu/met voorbedachten rade), ternyata pembunuhan biasa ex Pasal 338 KUHP (pembunuhan spontan) yang maksimumnya 15 tahun penjara sehingga pidana semula 20 tahun penjara harus diturunkan menjadi 15 tahun ke bawah.
Misalnya, dipidana 20 tahun penjara karena melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu/met voorbedachten rade), ternyata pembunuhan biasa ex Pasal 338 KUHP (pembunuhan spontan) yang maksimumnya 15 tahun penjara sehingga pidana semula 20 tahun penjara harus diturunkan menjadi 15 tahun ke bawah.
Alasan lain untuk memohon peninjauan kembali ialah putusan
saling bertentangan. Misalnya dalam hal turut serta (medeplegen) yang satu dipidana dan yang lain bebas, yang dalam
pertimbangan hakim terbukti keduanya bekerja sama. Alasan yang ketiga jika
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata. Alasan ketiga itu tidak ada dalam KUHAP Belanda, yang
ditambahkan penyusun RUU KUHAP dulu. Dengan demikian, dalam RUU KUHAP yang
sudah di tangan DPR, alasan ketiga itu tidak dicantumkan.
Eksekusi Dulu
Jika benar-benar ada kekeliruan hakim, yang mestinya tidak mungkin 9 hakim yang terdiri dari 3 di PN, 3 di PT, dan 3 di MA keliru semua.
Jika benar-benar terjadi kekeliruan sembilan hakim itu, upaya yang dapat
dilakukan ialah permohonan grasi kepada Presiden yang didukung MA dan Jaksa
Agung.
Upaya hukum luar biasa itulah yang mestinya di upayakan penasihat
hukum Susno Duadji. Artinya, rela dieksekusi lebih dulu. Memang sangat sulit
untuk mengemukakan adanya tiga alasan peninjauan kembali itu. Demikianlah
sehingga di Prancis dan Belanda, rata-rata 10 tahun baru ada satu peninjauan
kembali.
Berlainan dengan Indonesia hampir setiap hari ada permohonan
peninjauan kembali, baik perkara pidana maupun perkara perdata. Hal itu terjadi
karena MA sering menerima permohonan peninjauan kembali yang cenderung
mengada-ada yang mestinya langsung di NO (niet
ontvankelijk verklaring).
Bahkan ada orang yang mengajukan peninjauan kembali sehari
setelah menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya yang paling
mungkin dilakukan Susno Duadji ialah permohonan grasi kepada Presiden, dengan
alasan terjadi ketidakadilan dalam proses penyidikan. Muncul kesan, dan
masyarakat pada umumnya mengetahui, ada semacam balas dendam dalam proses Susno
Duadji, lam proses Susno Duadji ada kesan perkara `dicari (bukan `dicari-cari')
karena telah melaporkan perbuatan korupsi yang dilakukan temannya Kesan itu
semakin nyata jika memperhatikan adanya usaha `melindungi' ketika akan
dieksekusi penuntut umum di Bandung karena telah terjadi perubahan rezim di
kepolisian.
Tidak disadari bahwa perbuatan melindungi orang yang akan
dieksekusi itu merupakan contempt of
court. Permohonan grasi tidak berarti orang itu mengakui kesalahannya,
termasuk juga jika pidana yang dijatuhkan kepadanya tidak sepadan dengan kesalahannya
atau tidak adil. Thailand tidak mengenal aturan peninjauan kembali. Jika ada
novum atau putusan saling bertentangan, upaya yang ditempuh ialah permohonan
grasi kepada Raja Thailand.
Hal yang paling rumit ialah alasan yang dikemukakan Susno
Duadji dan penasihat hukumnya bahwa putusan MA mengenai dirinya tidak memenuhi
syarat sesuai dengan Pasal 197 KUHAP. Salah satu syarat suatu putusan yang
tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k ialah `perintah supaya terdakwa
ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. Ayat (2) pasal itu
mengatakan, `Tidak dipenuhinya ke tentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e,
f, h, j, k dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum'.
Hakim Lalai
Yang menjadi pertanyaan ialah apakah dengan suatu putusan
yang batal demi hukum, terpidana tidak dapat dieksekusi? Batal demi hukum
artinya dengan sendirinya batal, tidak perlu di batalkan. Penulis sependapat
dengan mantan hakim Asep Iwan Iriawan, dosen Trisakti, bahwa hakim yang lalai
demikian bukanlah hakim. Artinya, ia tidak memenuhi syarat untuk menjadi hakim.
Penulis memandang hakim demikian sama dengan pilot pesawat
terbang yang lupa menekan tombol penting untuk menurunkan roda ketika akan mendarat.
Yang menjadi masalah paling rumit ialah ternyata banyak putusan hakim yang
demikian. Ada beberapa terpidana yang sudah dieksekusi yang juga menunjuk
alasan tidak dipenuhinya Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2). Jika Susno
Duadji tidak dieksekusi berdasarkan alasan tidak dipenuhinya ketentuan
tersebut, apakah mereka yang sudah dieksekusi itu tidak minta dibebaskan dan
mereka yang belum dieksekusi juga menolak dieksekusi?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pasal 197
ayat (1) huruf k itu bertentangan dengan UUD itu dan putusan itu tidak berlaku
surut tambah merumitkan persoalan. Sebe narnya MK tidak perlu memutus demikian.
Ketentuan semacam itu ada juga dalam KUHAP Belanda. Hakim yang keliru dan lalai
tidak bisa dibenarkan dengan putusan MK.
Masalah lain ialah apakah keputusan MK yang menganulir
Pasal 197 ayat (1) khususnya huruf k itu harus ditaati seterusnya oleh
legislatif? Misalnya dalam rancangan KUHAP yang sudah di tangan DPR, tetap ada
ketentuan semacam itu karena sebenarnya ketentuan demikian bersifat universal.
Apakah hakim MK yang sembilan orang itu dapat dipandang sebagai konstituante?
Bukankah putusan Pasal 197 KUHAP saja menimbulkan pertanyaan besar bagi para
pakar hukum pidana dan acara pidana?
Putusan mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden
yang dipandang bertentangan dengan UUD, bagi penulis, agak aneh. UU No 1 Tahun
1946 yang menentukan het Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie `dinasionalisasi' menjadi KUHP dan Pasal
134 tentang penghinaan kepada raja diubah menjadi penghinaan kepada presiden
dan wakil presiden.
Bukankah penyusun UU No 1 Tahun 1946 itu, antara lain Prof
Soepomo, ialah pendiri Republik ini? Selain daripada itu, ketentuan tentang
penghinaan kepada kepala negara sahabat tetap diancam dengan pidana berdasarkan
Pasal 142 KUHP. Bahkan penghinaan kepada pejabat seperti gubernur, bupati,
polisi, jaksa, hakim, anggota DPR, dan seterusnya tetap diancam dengan pidana
berdasarkan Pasal 207 KUHP.
Jadi, penghinaan kepada bupati dipidana, sedangkan kepada
presiden tidak dipidana. Sebagai perbandingan, KUHP Jerman mengancam pidana
bagi orang yang menghina atau `melecehkan' Presiden Federasi Jerman. Penuntutan
dilakukan sesudah ada persetujuan presiden. KUHP Jepang menentukan menentukan
penghinaan kepada kaisar, permaisuri, ibu suri, dan janda kaisar diancam dengan
pidana. Yang berhak mengajukan pengaduan ialah perdana menteri. Ditentukan
bahwa penghinaan kepada kepala negara asing diancam dengan pidana. Yang berhak
mengajukan pengaduan ialah perwakilan negara itu.
Jadi, menghina Presiden RI di Jepang diancam dengan pidana
dan yang berhak mengadu ialah duta besar Indonesia di Jepang, sedangkan orang
yang menghina presiden di negerinya sendiri tidak dipidana. Memang menghina
Presiden Amerika Serikat tidak dipidana. Pada 2008 penulis berkunjung ke
Washington, melihat seorang nenek duduk di depan Gedung Putih yang di depannya
ada tulisan `George W Bush is the real
terrorist'. Apakah kita akan mengikuti negara superliberal tersebut?
Ada pertanyaan, bolehkah terpidana dieksekusi dengan
putusan yang batal demi hukum? Penulis menjawab Jaksa Agung mengembalikan
putusan MA itu untuk diperbaiki. Tidak ada ketentuan yang membolehkan dan
melarang hal tersebut.
Akan tetapi, menurut pendapat penulis, inilah jalan terlurus untuk memecahkan
masalah itu. Oleh karena putusan batal demi hukum, perlu ada putusan baru.
Perlu retrial, sama halnya dengan
putusan peninjauan kembali yang merupakan retrial
baik di Belanda maupun Jepang.
Dalam kasus Susno Duadji, memang MA tidak perlu menentukan
terpidana masuk tahanan karena tidak memeriksa materi perkara langsung menolak
permohonan kasasi. Yang membuat kekeliruan ialah pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar