Suatu kali saya bertanya pada
seorang teman yang ahli budaya, apakah korupsi punya kaitan dengan akar
budaya di Indonesia sehingga tumbuh subur? Pertanyaan itu saya ajukan
karena sudah terlalu banyak orang yang berkesimpulan bahwa korupsi sudah 'membudaya'.
Saya sendiri tidak terlalu paham, apakah korupsi dapat menjadi semacam
budaya atau lebih tepatnya lagi membudaya.
Jawaban teman saya itu ternyata
cukup melegakan karena ternyata korupsi tidak layak dijadikan sebagai
budaya. Lebih tepatnya, korupsi adalah penyakit sosial. Karena merupakan
penyakit, maka korupsi bisa menular dari satu orang ke orang lain. Kalau
sudah terlalu menyebar, korupsi dapat
bersifat epidemik atau bahkan pandemik.
Kalau
ditelusuri, korupsi berakar pada salah satu sifat jelek nafsu manusia,
yaitu tamak dan tergesa-gesa. Korupsi adalah cara pintas untuk kaya dengan
merebut hak orang lain atau hak negara. Ketamakan yang dilakukan secara
sistematis melahirkan kejahatan yang sangat terencana dan terukur. Tapi,
bagaimana ia bisa menular dan dengan tahu cara penularannya kita bisa
mencegah tingkat kerusakan yang lebih besar.
Dulu
dalam masyarakat tradisional dikenal `munjung', babi-ngepet, dan tuyul
sebagai `teknologi' untuk mendapatkan kekayaan secara cepat dan tidak
wajar. Tapi, penyakit tamak yang seperti ini tidak pernah menjadi wabah
yang begitu luas seperti korupsi. Bukan karena cara tamak tersebut tidak
menular, tapi karena secara sosial tidak bisa diterima. Selain itu, masyarakat
memandangnya sebagai bentuk dosa yang terberat, yakni syirik atau
menyekutukan Allah. Bahkan tidak jarang, dukun yang menjadi perantara penyebarannya
dikejar-kejar dan dihabisi oleh masyarakat.
Dari
hal tersebut, kita bisa belajar bahwa penyakit sosial dapat dikendalikan
secara sosial juga. Mencari kekayaan melalui dunia hitam adalah musuh nomor
satu masyarakat. Jadi, kapan kita bisa menjadikan korupsi sebagai musuh nomor
satu masyarakat? Itulah persoalan kita saat ini.
Entah
kenapa, sikap kita begitu lembek dan permisif terhadap korupsi. Pernahkah
kita sebagai teman mempertanyakan kenapa salah seorang dari kita punya
rumah mewah dalam sekejap, padahal dengan jabatannya tak mungkin dia memiliki
rumah sederhana sekalipun? Pernahkah sebagai tetangga, kita mempertanyakan
kenapa dia selalu berganti-ganti mobil? Pernahkah kita sebagai saudara
mempertanyakan, kenapa dia memiliki tanah di mana-mana?
Daripada
mempertanyakan, mungkin kita lebih sering meminta dia menjadi donatur untuk
berbagai kegiatan amal. Kita juga sering membuat para koruptor berbangga
diri dengan kekayaan yang diperolehnya. Tak sedikit dari mereka secara
jelas-jelas mempertontonkan kemewahan yang tak wajar. Pakaian bermerek
dengan harga puluhan juta sepasang, tas kulit berharga ratusan juta, jam
tangan semiliar, atau mobil mewah yang di Amerika hanya dimiliki oleh kaum
selebritas. Apa sikap kita terhadap tontonan ini? Acungan jempol sambil berbisik
"bagi-bagi dong".
Korupsi
menjadi begitu merajalela karena hampir tak ada mekanisme sosial yang mengendalikan
penularannya. Kita tidak pernah betul-betul menanam kebencian sosial terhadap
korupsi. Kita tidak pernah mengasingkan orang sudah terbukti melakukan
korupsi. Bahkan, mereka tetap dapat diterima dengan lapang dada oleh
masyarakat ketika keluar dari bui sekalipun. Kita terlalu berbaik hati pada
mereka dan akibatnya tak ada ketakutan dari mereka untuk terus korup.
Mungkin
kita bisa mengambil pelajaran dari dunia kedokteran mengenai cara mengendalikan
korupsi. Dulu, sebelum obat-obatan modern ditemukan, penyakit menular
seperti sampar dan lepra dicegah penularannya dengan cara mengasingkan
penderita jauh dari masyarakat. Maka, dibuatlah berbagai tempat
pengasingan. Bukankah kita sampai saat ini belum menemukan `obat' untuk membasmi korupsi?
Kita
memang sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang begitu hebat.
Tapi, itu tak cukup melawan korupsi yang sudah menjangkiti setiap tingkatan
jabatan publik, mulai dari lurah sampai gubernur dan men teri. Mulai dari
penegak hukum sampai pada pembuat hukum atau law maker alias anggota DPR.
Saya
sendiri sudah sampai pada kesimpulan bahwa adalah tugas yang mustahil bagi
lembaga negara dengan bentuk apa pun untuk melawan korupsi bila masyarakat
tidak bangkit untuk melawan. Bukan berarti bahwa setiap koruptor harus kita
gantung ramai-ramai di Monas. Saat ini mungkin kita harus membuat gerakan
masyarakat yang cukup masif sehingga menimbulkan ketakutan bagi para
koruptor.
Mungkin
terlalu terlambat buat kita untuk menunggu sebuah rezim yang menghukum para
koruptor dengan hukuman mati. Terlalu terlambat pula untuk menunggu adanya
tempat pembuangan seumur hidup bagi para koruptor seperti Pulau Buru untuk
para tahanan politik.
Karena
itu, gerakan antikorupsi harus dimulai dari masyarakat. Caranya,
asingkanlah mereka dari kehidupan kita. Jangan sapa dan jangan senyum pada
mereka. Beri mereka hukuman sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar