Upaya pemerintah mengendalikan
kuota BBM bersubsidi pada 2012 akhirnya terhenti setelah muncul gejolak
sosial. Pada awal November 2012, pemerintah melalui BP Migas melakukan pengendalian
distribusi sisa kuota BBM bersubsidi tahun anggaran 2012.
Tidak lama setelah kebijakan pengendalian
penyaluran ini dilaksanakan, resistensi rakyat mulai merebak. Pemerintah
sebenarnya telah berupaya mengoptimalkan sejumlah kebijakan pengendalian
dan langkah imbauan penghematan. Akan tetapi, akhirnya pemerintah memandang
bahwa semua langkah itu tetap tidak mampu mengerem laju tingkat konsumsi.
Tidak ada pilihan lain, pemerintah dan DPR akhirnya menambah kuota BBM
bersubsidi sebesar 1,2 juta kl.
Pada tahun ini, upaya
pengendalian kuota BBM bersubsidi digenjot lagi. Permen ESDM No 1 tahun
2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak sebagai tindak
lanjut Permen ESDM No 12 Tahun 2012 yang memiliki ruang lingkup pengaturan
yang sama di tingkat Jabodetabek telah digulirkan. Melalui kerangka
kebijakan ini, pemerintah menargetkan dapat menghemat BBM bersubsidi
sebesar 1,3 juta kl.
Kenaikan harga minyak dunia
mulai 2005 yang mencapai lebih dari 70 dolar AS menghadapkan pemerintah
pada situasi yang semakin dilematis dalam mengelola kebutuhan BBM
bersubsidi. Di satu sisi, subsidi BBM yang terus mengalami kenaikan di
luar ambang batas aman secara psikologis bagi APBN akan membebani keuangan
negara. Secara empiris, dengan terus meningkatnya tingkat konsumsi BBM
secara nasional semakin menempatkan pemerintah pada ruang gerak yang sempit
di sisi lain.
Tidak hanya itu, faktor status
Indonesia sebagai net importir minyak bumi dan keluarnya keanggotaan Indonesia
dari OPEC pada 2008 turut mengurangi ketahanan energi secara
nasional. Indikasinya, target lifting
minyak dalam beberapa tahun terakhir terus merosot.
Dalam tahun ini, Satker Khusus
Pelaksana Kegiatan Hulu Migas baru-baru ini melansir bahwa lifting minyak nasional hanya
sekitar 830-850 ribu barel per hari dan melenggang jauh di bawah target
APBN 2013 sebesar 900 ribu barel per hari. Sejalan dengan itu, nilai
subsidi BBM pun bakal semakin meroket.
Persoalannya tentu tidak
semata-mata hanya pada potensi budget
crunch.
Subsidi energi yang terus meningkat secara kumulatif akan berefek bola
salju bagi perekonomian secara umum karena risiko menurunnya stimulus APBN.
Seperti kita ketahui bahwa selama ini belanja modal selalu lebih rendah
daripada belanja subsidi energi. Pada APBN 2013 pun setali tiga uang,
subsidi energi mencapai Rp 274,7 triliun, sementara belanja modal hanya
senilai Rp 216,1 triliun. Pada gilirannya, potensi penurunan pertumbuhan
ekonomi pun menjadi harga yang harus dibayar.
Kebijakan Terobosan
Kemauan politik pemerintah
untuk mengambil serangkaian kebijakan atau langkah terobosan dalam
mengelola persoalan penyediaan BBM bersubsidi kini menjadi taruhan. Tidak
hanya itu, secara normatif kebijakan dan langkah tersebut nilaianya sangat
strategis. Tidak hanya untuk penyelesaian persoalan penyediaan BBM
bersubsidi, tetapi yang lebih penting adalah menjaga ketahanan energi
nasional. Lalu, kebijakan terobosan apa yang harus diagendakan?
Pertama, kenaikan harga.
Persoalan disparitas harga yang sangat tinggi antara BBM bersubsidi dan
nonsubsidi selama ini menjadi akar persoalan resistensi publik untuk
beralih ke BBM nonsubsidi. Hal ini juga berpotensi membuka ruang bagi
terjadinya penyalahgunaan atau pencurian BBM bersubsidi.
Dengan demikian, pilihan
kenaikan harga menjadi pilihan yang rasional.
Penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi hanya akan berdampak pada penundaan
persoalan ke depan. Secara politis penundaan ini juga akan semakin berisiko
karena ketika APBN telah sampai pada titik ambang batas kemampuan
penyediaan sesuai dengan tingkat perkembangan harga minyak dunia yang tidak
bersahabat, gejolak sosial tidak terhindarkan.
Kedua, rejuvenasi politik
bauran energi nasional. Hal ini menyiratkan, perlunya upaya diversifi kasi
energi, khususnya yang berbasis nonfosil, seperti bahan bakar nabati,
tenaga surya, panas bumi, biomassa, dan lain-lain. Melalui Perpres No 5
Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah menetapkan sebuah
politik bauran energi optimal bagi terpenuhinya peran jenis energi nonfosil
(biofuel) sebesar lebih dari lima persen terhadap konsumsi energi nasional
pada 2025.
Politik bauran energi ini
sekaligus memperkuat momentum penetapan politik energi berdasarkan UU No 30
Tahun 2007 tentang Energi. Malangnya, pengembangan energi nonfosil selama
ini praktis jalan di tempat. Dalam kasus pengembangan bahan bakar nabati
(BBN), misalnya, cetak biru Pengembangan BBN untuk Percepatan Pengurangan
Kemiskinan dan Pengangguran Periode 2006-2025 sampai sekarang belum jelas
arahnya.
Hal yang sama terjadi pada
cetak biru Pengembangan Industri Bioenergi Nasional 2010-2025. Kebijakan
manda- toris penggunaan biofuel berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 32
Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar
Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain belum mengalami kemajuan yang
berarti. Jadi, kemauan politik pemerintah untuk mendobrak kebijakan
ini menjadi pilihan strategis dalam mengelola kebutuhan energi ke depan.
Ketiga, upaya hemat energi
secara mandatoris di kantor-kantor pemerintah.
Pelaksanaan kebijakan penghematan energi nasional yang mulai berlaku Juni
tahun ini belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Itu artinya, bersama-
sama dengan kebijakan yang sama melalui serangkaian Inpres pada 2005, 2008,
dan 2011 nasibnya seperti macan kertas. Kita ambil kasus tapakan konsumsi
energi di lembaga DPR, misalnya. Untuk konsumsi listrik saja, karena kultur
mau pun infrastruktur tata lampu yang boros energi, penggunaan listrik
menjadi sasaran penghematan yang potensial bagi langkah penghematan. Rumor yang berkembang, nilai reke ning listrik DPR menembus angka ratusan
juta rupiah per bulan.
Apakah pemerintah siap dengan
ketiga langkah terobosan ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar