Pemuda Ogah
Bertani
Khudori ; Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
03 Desember 2012
Salah satu persoalan
besar bangsa di masa depan adalah bagaimana menyediakan pangan yang cukup
bagi semua warga. Jika program keluarga berencana berhasil, tahun 2030 penduduk
Indonesia diperkirakan 425 juta jiwa. Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59
juta ton beras.
Pada saat itu
diperlukan tambahan luas tanam baru 11,4 juta hektare, hampir setara dengan
luas tanam padi sekarang (12 juta hektare). Itu baru padi, belum termasuk
kebutuhan jagung, kedelai, gula, umbi-umbian, sayuran, dan yang lain.
Ini pekerjaan mahaberat. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan.
Keuntungan usaha tani on farm belum menjanjikan,
produktivitas pangan melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk
kian banyak, sementara akibat jerat kemiskinan konversi lahan pertanian
berlangsung masif. Degradasi lahan terus berlangsung, air kian tidak memadai,
dan iklim sulit di prediksi. Liberalisasi kebablasan membuat impor pangan
meledak.
Dalam kondisi
demikian, regenerasi petani justru menghadapi masalah serius. Ada dua
persoalan mendasar dalam tenaga kerja di sektor pertanian. Pertama, pendidikan
yang rendah. Hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tani Tanaman Pangan (BPS,
2011) menunjukkan, 32,7 persen petani dengan nilai produksi terbesar tidak
tamat SD, 42,3 persen tamat SD, dan 14,6 persen tamat SLTP. Pendidikan yang
rendah membuat pertanian tak tersentuh teknologi. Bahkan, rendah sentuhan
tersebut, rendah manajemen, dan seterusnya. Kedua, gerontokrasi tenaga kerja
pertanian. Dari survei yang sama menunjukkan, 47,6 persen petani yang
memiliki produksi terbesar berumur lebih 50 tahun. Hasil ini memperkuat
proposisi selama ini, profesi petani bukan sesuatu yang diinginkan para generasi
muda.
Ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru dan mengejutkan. Kajian pedesaan kurun 25 tahun (Collier
dkk, 1996) menemukan fakta getir, tenaga kerja muda di perdesaan Jawa amat
langka. Yang tersisa hanya pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat
responsnya terhadap perubahan dan teknologi.
Salah satu penyebab
pertanian tidak dilirik para pemuda adalah profesi ini identik dengan gurem,
udik, miskin, dan terbelakang. Pertahanan ekonomi petani ada di tebir jurang.
Salah satu temuan mengejutkan, ternyata lebih dari 80 persen pendapatan rumah
tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar sektor pertanian
(Patanas, 2004), seperti ngojek, dagang dan pekerja kasar.
Secara evolutif,
sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani telah
merosot, dari 36,2 persen tahun 1980-an tinggal 13,6 persen saat ini. Dalam
kategori seperti itu sebenarnya tidak ada lagi "masyarakat petani",
yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan
hidupnya dicukupi dari kegiatan tersebut.
Rendahnya minat
generasi muda menekuni profesi petani secara tidak langsung bisa ditilik dari
terpuruknya studi pertanian di perguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi
harus menutup studi pertanian karena sepi peminat.
Sebetulnya, keterpurukan studi pertanian hanya akibat sektor pertanian
dimarjinalkan, ditaruh di belakang dan di tempat sepi. Tidak hanya dukungan
pendanaan dan kelembagaan, perhatian pun mengendur.
Bahkan, lebih dari dua
dasawarsa dikampanyekan untuk segera meninggalkan pertanian dan segera
melompat ke industri dengan membangun proyek industri mercusuar, footloose,
kandungan impor tinggi, dan dibiayai dari utang luar negeri. Karena industri
tak berbasiskan resource based,
sektor pertanian menjadi marjinal.
Maka, terjadi dualisme
ekonomi, sistem tradisional yang padat tenaga kerja di perdesaan dengan
koefisien teknis produksi dapat berubah dan sistem modern yang padat modal di
perkotaan dengan koefisien teknis produksi tetap. Dualisme ekonomi itu menciptakan
wilayah perdesaan dan perkotaan bersifat tertutup satu sama lain.
Pertumbuhan ekonomi
yang berasal dari sektor industri perkotaan tidak menetes ke wilayah
perdesaan sehingga kesenjangan pendapatan antara kedua wilayah tersebut
cenderung semakin melebar. Jadi, secara makro kebijakan ekonomi dan
pembangunan memang mendiskriminasi pertanian.
Tidak salah jika
pemuda ogah bertani karena mereka tak melihat masa depan yang baik. Selain itu,
ada cara pandang masyarakat yang salah terhadap sektor pertanian. Yaitu,
selama ini ada praanggapan yang salah kaprah bahwa budaya tani harus dipermodernkan.
Pola pikir ini
memasung petani dan anak-anaknya. Dari segi pendidikan, anak-anak petani
telah dididik untuk suatu cita-cita di luar pertanian, yakni menjadi salah
satu faktor produksi bagi industri yang tidak berbasis pertanian.
Setelah lulus, mereka tidak kembali dan membangun desa, tetapi mencari
peruntungan di kota. Itu pun mereka tidak bekerja di pekerjaan yang terkait
pertanian. Ilmu mereka muspro.
Dari sisi ini,
sebenarnya telah terjadi pelarian sumber daya dari desa ke kota.
Tidak mudah mengubah kondisi ini. Selain menggeser kebijakan pembangunan, kurikulum studi pertanian harus dirombak total. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar