Membangun
(kembali) Pendidikan Pancasila
Benni Setiawan ; Peneliti dan dosen di Universitas
Negeri Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2012
“TANPA Pancasila negara bubar.” Kata itu pernah dipekikkan
Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Presiden Keempat Republik
Indonesia itu dengan kesungguhan jiwanya berdiri tegak di garda depan untuk
terus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan.
Gus Dur memandang Pancasila dalam dua hal utama. Pertama,
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan falsafah negara, berstatus sebagai
kerangka berpikir yang harus diikuti oleh undang-undang dan produk-produk
hukum yang lain. Tata pikir seluruh bangsa, menurutnya, ditentukan falsafah
yang harus terusmenerus dijaga keberadaan dan konsistensinya oleh negara.
Kedua, sebagai falsafah dan ideologi negara, harus jelas
dikatakan ‘adanya tumpangtindih antara Pancasila dan sebagian sisi kehidupan
beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Di sini, Gus Dur
berargumentasi: di satu sisi, agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa mengandung unsur-unsur universal (meskipun semuanya juga
mengandung unsur-unsur eksklusif ) sehingga sulit dibatasi hanya dalam
konteks keindonesiaan dan sisi lain, Pancasila adalah keindonesiaan itu
sendiri.
Gus Dur kemudian menafsirkan bahwa hal ini langsung tampak
dalam upaya Pancasila untuk menekankan sisi kelapangan dada dan toleransi
dalam kehidupan antarumat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Meski begitu, wawasan tentang kebersamaan antaragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya sama dengan wawasan tentang itu
dalam agama-agama dan kepercayaan.
Dari sini kemudian Gus Dur mengakui dua sisi; pertama,
adanya independensi teologis kebenaran setiap agama dan kepercayaan; dan
kedua, Pancasila perlu bertindak sebagai polisi lalu lintas dalam kehidupan
beragama dan berkepercayaan. Gus Dur menggambarkan ini dengan jelas dalam rumusan
sederhana, tetapi sangat penting, yaitu ‘semua agama diperlakukan sama oleh
undang-undang dan diperlukan sama oleh negara’. Di sini Pancasila sebagai
ideologis dan falsafah negara memiliki fungsi yang batasanbatasan minimalnya
tidak boleh ditundukkan oleh agama-agama dan kepercayaan yang ada (Nur Khalik
Ridwan, 2010).
Konsepsi Pancasila dari guru bangsa tersebut sering kali
belum mewujud dalam kehidupan kebangsaan. Makna Pancasila masih saja sempit
dan masih saja terbatas pada sila-sila tanpa pemaknaan yang memadai. Karena
itu tidak mengherankan jika, sampai hari ini, Pancasila kurang mampu
diwujudkan dan dipahami. Ada anak bangsa yang bahkan tidak lagi mengetahui
nilai-nilai Pancasila. Beberapa survei yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan karena banyak pelajar dan mahasiswa
yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila.
Jika pelajar dan mahasiswa sebagai peserta didik saja ada
yang tidak mengetahui sila-sila Pancasila, bagaimana halnya dengan masyarakat
umum? Di sisi lain, berbagai fenomena sosial kekinian membuat kita terpana
dan bertanya apakah memang bangsa dan negara ini telah melupakan nilai-nilai
Pancasila?
Revitalisasi
Pancasila harus menjiwai dan sekaligus diwujudkan dalam
produk peraturan perundang-undangan dan realitas sosial. Revitalisasi
Pancasila harus dilakukan baik melalui proses berpikir maupun bertindak.
Pancasila sebagai objek kajian ilmu pengetahuan harus didorong untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan atas nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar dan ideologi negara (Janedjri M Gaffar, 2011).
Dengan demikian, pemahaman akan Pancasila tidak lagi
sekadar menghafal. Namun, lebih kepada pemaknaan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya. Pancasila bukanlah ideologi mati. Pasalnya, ia perlu terus
dikembangkan agar sesuai dengan konteks zaman. Pemahaman yang demikian pun
dapat menjembatani pemahaman yang keliru tentang Pancasila.
Oleh karenanya, perlu upaya nyata semua pihak agar
Pancasila tidak diajarkan dalam hafalan-hafalan butir-butir saja. Namun, juga
aspek ke sejarahan yang memungkinkan semua orang kinkan semua orang tahu
bahwa Pancasila merupa kan konsensus bersama bapak dan ibu bangsa (founding fathers and mothers) dalam
meletakkan dasar negara.
Pertanyaan yang muncul kemudian ialah mengapa hal tersebut
sulit diwujudkan? J Kristiadi berpendapat, tidak tercapainya tujuan
pendidikan Pancasila disebabkan sistem pengajaran yang keliru. Pendidikan
Pancasila berlangsung unilateral, datang dari negara, dan tidak memungkinkan
munculnya perbedaan pen dapat. Sistem itu menghasilkan warga negara yang
tidak cerdas karena pendidikan dilakukan secara otoriter demi kepentingan
penguasa.
Dalam istilah Moeljarto Tjokrowinoto (1996), fenomena itu
disebutnya sebagai ideological
displacement, mengambil Pancasila sebagai sosok ideologi formal, tetapi
menggeser nilai-nilai fundamentalnya. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila
harus direvitalisasi dan didesain ulang secara berbobot dan menyenangkan
sehingga tidak dipahami hanya sebagai ideologi atau kumpulan doktrin yang
tertutup (Asep Purnama Bachtiar, 2009). Pendidikan Pancasila dapat diajarkan
sejak dini dengan menanamkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Kecintaan
pada bangsa dan negara akan mendorong peserta didik semakin menghargai proses
perjuangan pahlawan bangsa dalam memantapkan keberadaan NKRI.
Pada tingkat yang lebih tinggi, peserta didik mulai
dikenalkan dengan nama tokoh-tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Moh
Yamin sebagai salah seorang yang juga merumuskan ideologi Pancasila.
Pengenalan tokoh menjadi penting guna semakin mengakrabkan buah pemikiran dan
rekam jejak pahlawan nasional. Dengan semakin mengenal tokohtokoh bangsa,
peserta didik akan semakin mengenal jati diri bangsanya.
Melalui pengenalan tokoh bangsa pula, pemuda Indonesia tidak
akan mudah mengelu-elukan (dengan histeria yang berlebihan ketika bertemu)
artis-artis luar negeri. Mereka pun akan bersikap dan atau meneladani kiprah
kepahlawanan tokoh bangsa yang jujur dan sederhana. Sebuah sikap yang kini
mulai jarang dimiliki oleh pejabat Indo nesia saat ini.
Pada tingkat pendidikan tinggi atau perguruan tinggi,
pemahaman Pancasila sudah selayaknya disampaikan dalam proses pengenalan
nilai. Pancasila sebagai kesatuan langkah berbangsa dan bernegara. Pancasila
bukanlah ideologi tertutup yang miskin makna. Namun, nilai Pancasila perlu
untuk diteliti dan dikembangkan agar semakin banyak perspektif yang muncul
guna menyelesaikan persoalan bangsa.
Model pengajaran seperti itu dapat menepis stigma negatif
tentang pendidikan Pancasila. Selama ini pengajaran pendidikan Pancasila di
perguruan tinggi masih saja dicomot langsung dari pemikiran Soekarno. Inilah
yang kemudian dikritik oleh Daoed Joesoef. Menteri pendidikan dan kebudayaan
di era Orde Baru itu menyatakan materi pendidikan Pancasila sering kali tidak
diacuhkan oleh mahasiswa. Pancasila kalah bersaing dengan ideologi-ideologi
besar lainnya seperti marxis me, sosialisme, kapitalisme, ataupun leninisme.
Maka dari itu diperlukan pendidik atau dosen dengan
cakrawala yang luas dan dengan bacaan yang komprehensif mengenai Pancasila. Melalui
modal itu, mahasiswa tidak lagi menganggap enteng ideologi ini. Ideologi
Pancasila layak disandingkan dengan ideologi besar lainnya yang sudah
tergolong `mapan'.
Pada akhirnya, di tengah semakin tingginya intensitas
konflik suku agama, ras dan antargolongan (SARA) di pelbagai daerah, seperti
di Sampang, Madura, Jawa Timur, Timika, Papua, sengketa lahan di Lampung,
Medan, Sumatra Utara, dan baru-baru ini pembakaran sebuah kampung di Bima,
Nusa Tenggara Barat; tawuran antarpelajar dan mahasiswa yang semakin menjadi;
korupsi yang semakin akut, dan kendurnya sikap kebangsaan (berbangsa dan
bernegara) yang mengarah ke rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara--kalau
tidak mau disebut bubarnya negara--pendidikan Pancasila tampaknya perlu untuk
diajarkan kembali. Pendidikan Pancasila bukanlah pelajaran yang usang. Ia
akan senantiasa hidup di tengah keragaman dan pluralitas bangsa Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar