Kesatuan
Kebangsaan dan Keragaman
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2012
BANGSAKU hari ini adalah kenyataan yang jauh
dari idaman para tokoh bangsa tempo doeloe. Salah satu yang harus diberi
apresiasi besar dan tinggi ialah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang
pelaku sejarah yang menginginkan terbentuknya kesatuan kebangsaan dan
keagamaan dalam hati nurani setiap rakyat Indonesia. Lewat perjuangan
Tjokroaminoto dengan Sarekat Islam, Indonesia melahirkan tokoh-tokoh lainnya
yang progresif dan andal, di antaranya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewiryo.
Salah satu semboyan HOS Tjokroaminoto yang
tersohor kala itu ialah kata mutiaranya yang sangat menginspirasi, yaitu
‘setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat’.
Kesadaran akan pentingnya ilmu bagi negara yang belum merdeka ketika itu
diletakkan dalam kerangka kebangsaan yang segar, sambil tak lupa untuk tetap
berpegang teguh dengan prinsip keagamaan. Kesadaran normatif seperti inilah
yang justru melahirkan banyak sekali ide dan inspirasi dari para pemuda
ketika itu.
Interaksi Tjokroaminoto dengan Soekarno,
Semaun, dan Kartosoewiryo seolah menjadi garis linier kesejarahan Indonesia
hingga saat ini.
Laksana sebuah takdir, untuk tak menyebutnya
kutukan, Indonesia seolah tak bisa keluar dari impitan dan godaan sayap kiri
(left wing) yang diwakili oleh Semaun dengan sosialisnya, sayap tengah
(middle wing) oleh Soekarno dengan nasionalismenya, serta sayap kanan (right
wing) oleh Kartosoewiryo dengan islamismenya. Tiga warisan inilah yang
terus-menerus bertikai dalam peta politik Indonesia yang katanya demokratis,
tetapi terkadang lalai dalam mengawal elan dasar kesatuan kebangsaan dan
keagamaan yang dirumuskan dengan sangat elegan dalam Pancasila.
Pancasila adalah jalan tengah antara kiri,
kanan, dan tengah. Semua kepentingan etnik, budaya, dan agama terangkum
dengan baiknya dalam rumusan sila-silanya.
Mengapa harus Pancasila? Karena seperti kata
Supomo, Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi menjadi negara
yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam.
Meskipun alasan Supomo diterima oleh banyak
nasionalis Islam waktu itu, perdebatan tentang hal tersebut muncul kembali
pada 1950-1959, dan setelah lengsernya Presiden Soeharto dan munculnya
reformasi pada 1998 sampai sekarang Pancasila seperti tak bergaung lagi.
Gagasan kesatuan kebangsaan dan keagamaan juga
bisa ditelusuri jejaknya dari tulisan Muhamad Hatta tentang Collectivism
(1930). Dalam pandangan Hatta, suatu bangsa tidak mungkin dibangun tanpa
prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Prinsip solidaritas
mengisyaratkan perlunya kerja sama (koperasi) yang aktif secara kolektif dari
komponen-komponen budaya, etnik, tradisi dan agama yang
ada dalam masyarakat. Prinsip subsidiaritas
ialah nilai-nilai kebersamaan dengan yang mampu membantu yang tidak mampu,
yang kuat membantu yang lemah, khususnya di bidang ekonomi, pendidikan, dan
kebudayaan. Semangat itulah yang seharusnya mendominasi struktur berpikir
masyarakat Indonesia saat ini.
Namun, yang terjadi ialah sebaliknya, kesatuan
kebangsaan dan keagamaan tercabik-cabik oleh hasrat dan syahwat kepentingan
golongan tertentu saja, dan menjadikan masyarakat kita saat ini tak lagi menghargai keragaman
etnik, budaya, tradisi dan agama yang menjadi kekayaan bangsa. Abdul Hadi WM
dengan amat geram melukiskan kondisi saat ini sebagai akibat dari rendahnya
apresiasi kita terhadap segala jenis keragaman kebangsaan dan keagamaan
bangsa sendiri, tetapi lebih menerima kebudayaan bangsa lain sebagai way of
life. “Bangsa yang lebih memuliakan kebudayaan bangsa lain pertanda ia
menjadikan dirinya hina dan tak bermartabat. Kendati mereka sering menutupi
kehinaan dirinya dengan sikap yang congkak, sok pintar, dan sok bijak.“
Selain itu, rendahnya kesadaran sejarah suatu
masyarakat, menandakan gagalnya pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bangsa yang cerdas memiliki ingatan sejarah yang kuat, dan mau
belajar dari sejarah. Alih-alih melakukan introspeksi diri akan kelemahan dan
kesalahannya, malahan banyak orang Indonesia sekarang lebih suka menyalahkan
konstitusi yang dibangun dengan susah payah oleh pendiri negara bangsa.
Padahal sangat tidak masuk di akal jika kita
mengingkari Pancasila, yang dalam rumusan Soekarno disebut sebagai pandangan
hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia yang majemuk ini. Secara puitis,
Pramoedya Ananta Toer menulis: ‘Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah
bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang.
Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama
sekali bukan sesuatu yang keramat’.
Kutipan dari salah satu tetralogi Pramoedya
Ananta Toer (Anak Semua Bangsa) itu jelas sangat relevan bagi penubuhan nilai
keragaman di semua lapisan masyarakat. Bahkan secara sadar dan bertanggung
jawab, para founding father republik ini merumuskan makna spiritual keragaman
dalam Pancasila. Karena itu, tak terlalu salah jika
Pancasila lahir untuk menegaskan secara sosial, budaya, tradisi, adat
istiadat, dan agama, Indonesia sebenarnya merupakan anak semua bangsa; di
dalamnya mencerminkan sebuah mozaik yang sangat indah, penuh warna dan
nuansa.
Jika hari ini masih ada sekelompok masyarakat
yang ragu dengan Pancasila, jelas orang atau kelompok tersebut sedang hidup
di ruang hampa atau bahkan kedap suara. Padahal dari perjalanan sejarah
bangsa jelas sekali Pancasila merupakan ikatan kesatuan kebangsaan dan
keagamaan masyarakat Indonesia, karena Pancasila telah memperlihatkan
kemampuan integratif yang luar biasa. Pancasila bukan saja memancarkan
integrasi kebangsaan dari lapisan-lapisan sosial, tetapi juga integratif
kesejarahan antara masa lampau, kini, dan akan datang dan sesama umat manusia
serta makhluk dengan al-Khalik. Selain itu, Pancasila juga merupakan pantulan
kepribadian kita bersama, karena dia memberikan corak atau ciri khas kepada
bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar