Dilema
Penerapan UU Haji
Samsul Ma’arif ; Wakil
Ketua Lembaga Dakwah PBNU
|
REPUBLIKA,
21 Desember 2012
Haji merupakan ibadah yang menjadi kewajiban bagi seluruh
umat Islam yang mampu. Karena men jadi kewajiban, jalan untuk dapat
terlaksananya ibadah haji menjadi wajib pula. Atas dasar tersebut, pemerintah
membentuk direktorat tersendiri yang khusus mengurusi ibadah haji di bawah
Kementerian Agama.
Urusan ibadah haji yang melibatkan berbagai pihak, disoroti dalam setiap
penyelenggaraannya, mulai dari pemondokan, pembayaran sampai dana abadi umat
yang tidak jelas akhirnya. Bahkan, sorotan ini sampai adanya ide untuk
swastanisasi pelaksanaan ibadah Haji.
Dalam urusan haji yang begitu rumit ini, anggota DPR
mencoba melindungi jamaah
dengan membuat Undang-Undang (UU) Haji No 13 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Haji yang
diharapkan menjadi terobosan bagi masyarakat Islam ternyata telah menjadi
dilema tersendiri bagi pemerintah dan jamaah itu sendiri. Dalam UU Haji,
setidaknya ada tiga unsur utama dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu
kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Unsur kebijakan dan pelaksanaan
menjadi tanggung jawab nasional. Sedangkan unsur pengawasan dilakukan oleh
badan atau lembaga independen, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia
(KPHI).
Unsur kebijakan dan pelaksanaan selama ini telah dilakukan
oleh pemerintah dengan berbagai cara dan metode agar mencapai kinerja yang
maksimal. Kinerja ini sudah mulai memperlihatkan hal-hal yang positif
sehingga pelayanan atas hak jamaah haji menjadi meningkat, walaupun masih
banyak yang tidak puas. Sementara itu, unsur pengawas menjadi dilema di
masyarakat. UU yang sudah disepakati tersebut menimbulkan banyak kontroversi
dan tidak dapat mengikat, baik ke luar maupun ke dalam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya `kesepakatan' bersama antara DPR dan pemerintah
untuk tidak mengangkat terlebih dahulu KPHI. Indikasinya, antara lain,
panitia yang diberi amanat untuk melakukan seleksi calon anggota KPHI sudah
melaksanakan tugas (Desember 2010). Akan tetapi, sampai saat ini (Desember
2012) belum ada surat keputusan dari Presiden mengenai pengangkatan
calon anggota KPHI. Salah satu penyebabnya adalah tarik ulur di DPR yang
sebenarnya peran mereka yang kurang begitu kuat.
Dalam pandangan sebagian anggota DPR, proses pemilihan
calon anggota KPHI adalah cacat. Sebab, KPHI diangkat oleh Presiden atas usul
men- teri (sebagai ketua Tim Seleksi) dan mendapatkan pertimbangan dari
DPR.
Hal ini seakan-akan KPHI adalah bagian dari pemerintah bukan bagian dari
masyarakat yang diseleksi oleh DPR. Problem lainnya adalah unsur dari
anggota KPHI yang berasal dari pemerintah yang jumlahnya tiga orang dari
sembilan komisioner yang ada. Hal ini memberikan suatu sinyalemen bahwa KPHI
tidak akan dapat bekerja dengan efektif sebab masih ada campur tangan dari
pemerintah.
Pola pandang atau paradigma seperti ini harus diubah.
Sebab, dengan adanya unsur dari pemerintah yang berjumlah tiga orang, akan
lebih mempermudah dalam komunikasi antara kebijakan, penyelenggaraan, dan
pengawasan. Jika tidak ada unsur pemerintah, sistem komunikasi mereka tidak
akan berjalan dengan baik.
Sebagai contoh, kita lihat struktur dan nama-nama
jabatan yang ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia. Struktur yang ada di kementrian tersebut hampir semuanya
`menandingi' struktur dari badan lain yang anggarannya menempel di
kementerian tersebut, seperti KPI, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI), Dewan Pers, dan komisi lainnya. Dengan adanya unsur pemerintah ini,
sistem pekerjaannya dapat diketahui dengan jelas.
Sedangkan DPR yang mempunyai fungsi sebagai pemberi
pertimbangan adalah sesuatu yang sangat tepat. Jangan sampai terjadi seperti dalam
pemilihan calon anggota komisioner yang lain, seperti Komisi Penyiaran
Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, dan komisi-komisi
lain yang sebenarnya telah merendahkan status anggota DPR.
Selain itu, ada yang harus menjadi kesadaran bersama,
yakni ibadah haji adalah ibadah murni kepada Allah yang harus
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini berbeda dengan tugas instansi
lain yang membutuhkan keputusan politik semata. Ibadah haji membutuhkan
keputusan politik yang bijak berdasar kesadaran atas agama dan
pertanggungjawaban besar di akhirat.
Sebagai catatan akhir, dalam hal pelaksanaan UU Haji, ada
rencana untuk melakukan pelanggaran pelayanan ibadah haji secara massal, baik
dari anggota DPR maupun pemerintah. UU Haji telah memberikan amanat bahwa
KPHI harus dibentuk paling lambat satu tahun sejak UU ini diundangkan (Pasal
65 Undang- Undang Haji No 13 Tahun 2008).
UU yang ditandatangani oleh pre- siden RI pada 28 April
2008 ternyata sampai saat ini juga belum diwujudkan. Bahkan yang terjadi, ada
sebagian anggota DPR yang meminta agar KPHI ditunda terlebih dahulu sebelum
adanya revisi UU yang baru. Suatu langkah perbaikan harus dilakukan terlebih
dahulu agar dapat dievaluasi, bukan evaluasi sebelum ada pelaksanaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar