Terorisme
Pendidikan di AS
Rakhmat Hidayat ; Pengajar
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi
Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2, Prancis
|
REPUBLIKA,
21 Desember 2012
Publik pendidikan di
Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan penembakan di sebuah sekolah dasar di
negara bagian timur Connecticut yang menewaskan 26 orang. Sebanyak 20 orang
di antaranya adalah anak-anak. Peristiwa ini terjadi pada Jumat, 14 De-
sember 2012 pukul 09.30 pagi. Pelaku penembakan berusia 20 tahun. Ia dikenal
sebagai pendiam dan sering menjadi korban bullying.
Peristiwa ini menambah deretan terjadinya terorisme pendidikan di Amerika
Serikat dengan berbagai motif dan latar belakangnya. Jumlah korban yang
terjadi di Connecticut masih sedikit dibandingkan beberapa peristiwa
sebelumnya. Meski demikian, sedikitnya korban menjadi keprihatinan serius
bagi kalangan pendidikan di AS khususnya dan dunia internasional umumnya. Se-kolah
dalam kondisi yang terancam dari praktik terorisme.
Kasus terorisme
pendidikan di AS sudah lama menjadi perhatian Douglass Kellner, sosiolog
Amerika yang dikenal sebagai aktivis pedagogi kritis. Kellner menulis buku Guys and Guns Amok: Domestic
Terrorism and School Shootings from the Oklahoma City Bombings to the
Virginia Tech Massacre (2008). Buku ini dengan tegas mengusung ide perlu
dilakukannya rekonstruksi pendidikan sebagai konsekuensi munculnya berbagai
fenomena kekerasan di sekolah yang terjadi di AS.
Buku Kellner ini
merupakan refleksi dari dua peristiwa penting dalam sejarah tragis pendidikan
AS. Peristiwa pertama sering disebut dengan "the Oklahoma City bombing" yang terjadi di Gedung
Federal Alfred P Murrah, Kota Oklahoma, pada 19 April 1995. Tragedi terorisme
ini dilakukan dengan peledakan bom yang sangat destruktif. Tragedi ini juga
dikenal sebagai tindakan teroris yang paling besar selain tragedi 11
September 2001. Ledakan di Oklahoma menelan korban sebanyak 168 nyawa
meninggal termasuk 19 anak usia di bawah enam tahun yang menjadi korban.
Sebanyak 680 orang mengalami luka parah.
Sementara itu, tragedi
kedua adalah peristiwa penembakan sekolah di kampus Virgnia Polytechnic
Institute and State University, Blacksburg, Virginia, pada 16 April 2007.
Pelakunya bernama Seung-Hui Cho yang menembak 32 orang dan melukai 17 orang.
Penembakan ini dilakukan dalam dua serangan terpisah.
Sebelumnya, terjadi juga pembunuhan massal mahasiswa di Syracuse University
yang menewaskan 36 orang. Pada 18 Mei 1927, terjadi juga pembunuhan
massal di sekolah Bath, Michigan, yang menewaskan 38 murid sekolah dasar, dua
orang guru, empat orang dewasa yang ada di sekolah tersebut serta pelaku
peledakan sendiri.
Rekonstruksi Pendidikan
Jika melihat rangkaian
kasus teroris- me pendidikan tersebut terutama kasus di Connecticut, kita
bisa melihatnya dalam beberapa penjelasan. Pertama, sekolah di AS sangat
rawan dengan praktik-praktik kekerasan dan terorisme pendidikan. Berbagai
kasus yang terjadi dengan korban anak-anak sekolah adalah fakta tak
terbantahkan bahwa sekolah bukan ruang steril dari bentuk-bentuk teror pelaku
tidak bertanggung jawab.
Kedua, sekolah dalam
konteks AS dalam hal ini berbagai pemangku kepentingan pendidikan di AS harus
melakukan evaluasi dan refleksi terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi murid-muridnya.
Refleksi ini penting untuk meminimalisasi terjadinya tragedi sejenis di kemudian
hari.
Fokus utama Kellner
dalam pedagogi kritis sebagaimana dijelaskan dalam beberapa tragedi terorisme
adalah mendesaknya dilakukan rekonstruksi pendidikan untuk mencapai
demokrasi. Dalam penjelasan Kellner, anak-anak yang mengalami korban
terorisme dan selamat mengalami gejala post
traumatic stress disorder. Menurut Kellner, peristiwa tersebut memerlukan
visi multiperspektif dan interpretasi faktor kunci yang membentuk konstelasi
berlangsungnya peristiwa tersebut.
Kellner melihat
kekerasan yang terjadi bukan sekadar kekerasan fisik, melainkan sudah menjadi
kekerasan sosial. Hal ini terjadi karena melibatkan berbagai faktor, di
antaranya, prevalensi budaya senjata dan militerisme dan budaya media yang
mempromosikan kekerasan dan retribusi. Sementara, yang beredar dan menjadi
sensasi adalah budaya selebritas.
Berdasarkan penjelasan
Kellner, kondisi sekolah di Amerika sering dianggap penjara. Padahal, dalam
mas- yarakat yang lebih kompleks, sekolah akan menjadi pusat pembelajaran dan
pengem bangan diri. Penjara juga bisa menjadi pusat belajar, rehabilitasi,
dan pelatihan kerja dan tidak menghukum.
Konteks Indonesia
Kasus Connecticut
menjadi peringatan serius bagi dunia pendidikan internasional khususnya
konteks Indonesia. Dunia pendidikan Indonesia sejatinya bisa memetik
pelajaran penting dari tragedi tersebut. Prinsip mendasar yang harus dibangun
adalah membangun iklim dan suasana yang aman serta melindungi seluruh warga
sekolah khususnya anak-anak.
Terorisme di Indonesia
terjadi pergeseran dalam pemaknaannya di kalangan teroris. Teroris generasi
pertama menempatkan simbol dan kepentingan AS dan Australia sebagai
sasarannya. Generasi kedua menempatkan sarana dan aparat publik sebagai
lokus gerakannya. Sekolah sebagai bagian dari sarana dan kepentingan
publik bisa jadi menjadi lokus gerakan teroris. Sekolah tidak steril dari
gerakan terorisme. Tawaran Kellner tentang rekonstruksi pendidikan juga
menjadi relevan dalam konteks Indonesia. Relevansi tersebut dalam posisi
membangun suasana sekolah yang menyenangkan dan keluar dari istilah `penjara'.
Sekolah seringkali menjadi beban bagi warga sekolah. Bagi guru, sekolah
memberikan beban kurikulum dengan berbagai perangkat dan instrumen
pembelajarannya.
Tugas administratif
menjadi beban bagi guru. Murid juga menjadi korban dari tekanan kurikulum
yang mendera kebebasan dan suasana humanismenya.
Ini menjadi potensi serius dalam kohesi sosial di sekolah. Rekonstruksi pendidikan melibatkan perluasan literasi aksara untuk banyaknya berbagai kemahiran. Ini adalah salah satu mekanisme sosial membangun iklim yang sehat di lingkungan sekolah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar