UMR dan
Outsourcing versi Jokowinomics
Ragimun ; Peneliti di Lembaga Kebijakan Fiskal Kemenkeu,
Alumni International Management Institute New Delhi |
SUARA
KARYA, 06 November 2012
Sepertinya pemerintah
termasuk Pemprov DKI sedang diuji menyusul beberapa kali demo buruh menuntut
perbaikan sistem ketenagakerjaan berupa upah rendah dan sistem outsourcing
atau contracting out. Selama ini sistem ini diyakini pengusaha dapat
meningkatkan efisiensi, dan terlepas dari tuntutan para pekerjanya
mendapatkan pesangon apabila berhenti atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kepastian hak dan
kewajiban pekerja dalam ikatan dengan pengusaha, tidak ada. Pengusaha butuh
tenaganya, dan kecenderungannya hampir semua pengusaha akan enjoy dengan
sistem ini. Sementara bagi buruh, sistem ini membuat masa depan mereka suram
karena penuh dengan ketidakpastian. Nah, di sinilah peran pemerintahan
dibutuhkan. Seperti Gubernur Jokowi, yang menyikapi masalah ini dengan gaya
pendekatannya.
Kebijakan penyesuaian
kembali Upah Minimum Regional (UMR) DKI yang dilakukan Pemprov DKI pimpinan
Bang Jokowi, pada intinya merupakan keseimbangan kepentingan tripartit baik
pengusaha, buruh dan pemerintah. Keseimbangan ini tercipta manakala pihak
regulator sebagai pihak yang mengintermediasi dapat memberikan rasa aman
kepada buruh dan upah yang layak. Sedangkan pengusaha mendapatkan tenaga yang
sepadan dengan apa yang telah dikorbankannya. Kebijakan pemerintah ini juga
semestinya mempertimbangkan kepentingan nasional, terutama memotong rantai
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial. Dan, mendudukkan buruh
sebagai mitra kerja pengusaha, bukan layaknya tebu, habis manis sepah
dibuang. Jokowi dengan pendekatan bottom up-nya diharapkan peka dan mampu
menangani buruh terkait UMR dan outsourcing system, khususnya di wilayah DKI.
Rata-rata penghasilan
buruh Indonesia masih kalah dibanding Vietnam apalagi Malaysia, Thailand atau
Singapura. Malah dengan Bangladesh pun masih lebih rendah. Data BPS (Juni
2011), rata-rata nasional upah riil per bulan buruh (di bawah mandor) sebesar
Rp 1.015.600. Upah buruh tertinggi ada di sektor logam rata-rata Rp
1.595.700. Sedangkan sektor industri bahan pakaian juga relatif lebih rendah
rata-rata Rp 894.900. Dengan rupiah sebesar ini, bagaimana buruh bisa
menabung, hidup layak atau dapat menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih
tinggi? Pada dasarnya, buruh akan mewariskan buruh struktural kepada anaknya
hingga status kemiskinan buruh tetap akan berlanjut.
Ironis memang, apabila
kita tengok para pengusaha yang penghasilannya begitu besar, dengan indikator
peningkatan kelas menengah. Belum lagi, dibandingkan dengan rata-rata gaji
para pegawai perbankan di Indonesia sebesar Rp 193 juta per tahun. Thailand
setara Rp 300 juta per tahun dan Malaysia Rp 236 juta per tahun. (Hasil
survey BI).
Tak heran, perusahaan
atau pengusaha cenderung akan mematuhi ketentuan UMR, yang merupakan upah
batas bawah layak hidup. Padahal, sejatinya banyak perusahaan mampu membayar
upah lebih tinggi dari standar UMR. Namun, bisa jadi mereka enggan karena
merasa sudah nyaman dengan membayar sesuai UMR. Dengan demikian, gugur
kewajiban mematuhi regulasi ketenagakerjaan pemerintah atau pemerintah daerah.
Hakikatnya, aksi mogok
kerja dan demo tuntutan buruh selama ini menunjukkan bahwa serikat pekerja
belum bekerja optimal. Dan, mediasi serta peran pemerintah juga belum efektif
untuk menjembatani kepentingan buruh tadi. Sementara bargaining pengusaha
cukup besar karena supply tenaga kerja cukup melimpah, sehingga pengusaha
dengan mudahnya mendapatkan tenaga kerja baru.
Alhasil, di sisi lain
profesionalisme dan etos kerja para pekerja perlu terus diperlihatkan oleh
buruh, sehingga pengusaha akan merasa ikhlas dengan kompensasi atau upah yang
telah mereka korbankan. Sehingga, kebijakan outsourcing plus dapat
diterapkan, yaitu dengan pola kerja percobaan beberapa bulan, kemudian
apabila karyawan mempunyai kinerja bagus, nantinya dapat diangkat sebagai
karyawan tetap. Tentu saja, dengan menerapkan standar yang jelas. Atau, bisa
dilakukan memakai outsourcing dengan menerapkan pola upah yang berbasis
kinerja (key performance). Siapa yang mempunyai kinerja bagus, maka
imbalannya pun bagus.
Demo dan mogok kerja
buruh menunjukkan belum terjadinya keseimbangan tiga peran tripartit karena
salah satu kepentingan dikesampingkan. Sebagai regulator, pemerintah
seharusnya membuat sistem pengawasan ketenagakerjaan yang aplikatif,
menetapkan standar regulasi ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah serta
memastikan semua regulasi dapat diimplementasikan.
Kemudian, pengusaha
menentukam skim hubungan kerja sama yang dapat menjembatani kepentingan
bersama serta mampu melindungi hak buruh. Idealnya apabila perusahaan memakai
sistem outsourcing, bukan hanya mengejar efisiensi dan produktivitas semata,
tetapi yang lebih penting lagi adalah mewujudkan kesejahteraan buruh yang
dijadikannya sebagai mitra usaha bukan mengeksploitasi tenaganya.
Kesejahteraan buruh dan pekerja akan dapat terwujud, didukung pula oleh
kebijakan pemerintah yang perlu segera merealisasikan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) secepat mungkin. Nah, semestinya juga perusahaan
outsourcing mampu memperbaiki diri hingga menjadi lebih profesional dan taat
hukum.
Di sisi lain, buruh
atau pekerja pun harus bertanggung jawab dan mampu meningkatkan kompetensinya
agar dapat berkompetisi di era efisiensi dan kompetitif saat ini. Ke depan,
buruh bukan lagi mencari kerja, melainkan dicari oleh perusahaan karena
mempunyai daya saing. Dan, yang terakhir, permasalahan perburuhan ini jangan
terus larut apalagi menjadi komoditas politis. Mudah-mudahan perburuhan di
wilayah Jakarta dengan Jokowinomics-nya yang menerapkan pendekatan bottom up
dengan pelayanan serta kesantunannya, akan mengurangi kegusaran kaum buruh
dalam meningkatkan taraf hidupnya. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar