Rabu, 07 November 2012

UMR dan Outsourcing versi Jokowinomics


UMR dan Outsourcing versi Jokowinomics
Ragimun ;  Peneliti di Lembaga Kebijakan Fiskal Kemenkeu,
Alumni International Management Institute New Delhi
SUARA KARYA, 06 November 2012

  
Sepertinya pemerintah termasuk Pemprov DKI sedang diuji menyusul beberapa kali demo buruh menuntut perbaikan sistem ketenagakerjaan berupa upah rendah dan sistem outsourcing atau contracting out. Selama ini sistem ini diyakini pengusaha dapat meningkatkan efisiensi, dan terlepas dari tuntutan para pekerjanya mendapatkan pesangon apabila berhenti atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kepastian hak dan kewajiban pekerja dalam ikatan dengan pengusaha, tidak ada. Pengusaha butuh tenaganya, dan kecenderungannya hampir semua pengusaha akan enjoy dengan sistem ini. Sementara bagi buruh, sistem ini membuat masa depan mereka suram karena penuh dengan ketidakpastian. Nah, di sinilah peran pemerintahan dibutuhkan. Seperti Gubernur Jokowi, yang menyikapi masalah ini dengan gaya pendekatannya.
Kebijakan penyesuaian kembali Upah Minimum Regional (UMR) DKI yang dilakukan Pemprov DKI pimpinan Bang Jokowi, pada intinya merupakan keseimbangan kepentingan tripartit baik pengusaha, buruh dan pemerintah. Keseimbangan ini tercipta manakala pihak regulator sebagai pihak yang mengintermediasi dapat memberikan rasa aman kepada buruh dan upah yang layak. Sedangkan pengusaha mendapatkan tenaga yang sepadan dengan apa yang telah dikorbankannya. Kebijakan pemerintah ini juga semestinya mempertimbangkan kepentingan nasional, terutama memotong rantai kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial. Dan, mendudukkan buruh sebagai mitra kerja pengusaha, bukan layaknya tebu, habis manis sepah dibuang. Jokowi dengan pendekatan bottom up-nya diharapkan peka dan mampu menangani buruh terkait UMR dan outsourcing system, khususnya di wilayah DKI.
Rata-rata penghasilan buruh Indonesia masih kalah dibanding Vietnam apalagi Malaysia, Thailand atau Singapura. Malah dengan Bangladesh pun masih lebih rendah. Data BPS (Juni 2011), rata-rata nasional upah riil per bulan buruh (di bawah mandor) sebesar Rp 1.015.600. Upah buruh tertinggi ada di sektor logam rata-rata Rp 1.595.700. Sedangkan sektor industri bahan pakaian juga relatif lebih rendah rata-rata Rp 894.900. Dengan rupiah sebesar ini, bagaimana buruh bisa menabung, hidup layak atau dapat menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi? Pada dasarnya, buruh akan mewariskan buruh struktural kepada anaknya hingga status kemiskinan buruh tetap akan berlanjut.
Ironis memang, apabila kita tengok para pengusaha yang penghasilannya begitu besar, dengan indikator peningkatan kelas menengah. Belum lagi, dibandingkan dengan rata-rata gaji para pegawai perbankan di Indonesia sebesar Rp 193 juta per tahun. Thailand setara Rp 300 juta per tahun dan Malaysia Rp 236 juta per tahun. (Hasil survey BI).
Tak heran, perusahaan atau pengusaha cenderung akan mematuhi ketentuan UMR, yang merupakan upah batas bawah layak hidup. Padahal, sejatinya banyak perusahaan mampu membayar upah lebih tinggi dari standar UMR. Namun, bisa jadi mereka enggan karena merasa sudah nyaman dengan membayar sesuai UMR. Dengan demikian, gugur kewajiban mematuhi regulasi ketenagakerjaan pemerintah atau pemerintah daerah.
Hakikatnya, aksi mogok kerja dan demo tuntutan buruh selama ini menunjukkan bahwa serikat pekerja belum bekerja optimal. Dan, mediasi serta peran pemerintah juga belum efektif untuk menjembatani kepentingan buruh tadi. Sementara bargaining pengusaha cukup besar karena supply tenaga kerja cukup melimpah, sehingga pengusaha dengan mudahnya mendapatkan tenaga kerja baru.
Alhasil, di sisi lain profesionalisme dan etos kerja para pekerja perlu terus diperlihatkan oleh buruh, sehingga pengusaha akan merasa ikhlas dengan kompensasi atau upah yang telah mereka korbankan. Sehingga, kebijakan outsourcing plus dapat diterapkan, yaitu dengan pola kerja percobaan beberapa bulan, kemudian apabila karyawan mempunyai kinerja bagus, nantinya dapat diangkat sebagai karyawan tetap. Tentu saja, dengan menerapkan standar yang jelas. Atau, bisa dilakukan memakai outsourcing dengan menerapkan pola upah yang berbasis kinerja (key performance). Siapa yang mempunyai kinerja bagus, maka imbalannya pun bagus.
Demo dan mogok kerja buruh menunjukkan belum terjadinya keseimbangan tiga peran tripartit karena salah satu kepentingan dikesampingkan. Sebagai regulator, pemerintah seharusnya membuat sistem pengawasan ketenagakerjaan yang aplikatif, menetapkan standar regulasi ketenagakerjaan di tingkat pusat dan daerah serta memastikan semua regulasi dapat diimplementasikan.
Kemudian, pengusaha menentukam skim hubungan kerja sama yang dapat menjembatani kepentingan bersama serta mampu melindungi hak buruh. Idealnya apabila perusahaan memakai sistem outsourcing, bukan hanya mengejar efisiensi dan produktivitas semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah mewujudkan kesejahteraan buruh yang dijadikannya sebagai mitra usaha bukan mengeksploitasi tenaganya. Kesejahteraan buruh dan pekerja akan dapat terwujud, didukung pula oleh kebijakan pemerintah yang perlu segera merealisasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secepat mungkin. Nah, semestinya juga perusahaan outsourcing mampu memperbaiki diri hingga menjadi lebih profesional dan taat hukum.
Di sisi lain, buruh atau pekerja pun harus bertanggung jawab dan mampu meningkatkan kompetensinya agar dapat berkompetisi di era efisiensi dan kompetitif saat ini. Ke depan, buruh bukan lagi mencari kerja, melainkan dicari oleh perusahaan karena mempunyai daya saing. Dan, yang terakhir, permasalahan perburuhan ini jangan terus larut apalagi menjadi komoditas politis. Mudah-mudahan perburuhan di wilayah Jakarta dengan Jokowinomics-nya yang menerapkan pendekatan bottom up dengan pelayanan serta kesantunannya, akan mengurangi kegusaran kaum buruh dalam meningkatkan taraf hidupnya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar