Senin, 05 November 2012

Politisasi Pendidikan


Politisasi Pendidikan
Doni Koesoema A ;  Pemerhati Pendidikan;
Alumnus Boston College Lynch School of Education Boston, Amerika Serikat
KOMPAS, 05 November 2012

  

Pendidikan merupakan bisnis semua orang. Banyak pihak berkepentingan ketika kurikulum nasional didesain kembali.
Pemikiran konseptual yang dangkal, pragmatis, bahkan terdistorsi oleh politisasi bisa berdampak buruk bagi desain pendidikan nasional. Padahal, setiap perubahan kurikulum perlu pemikiran konseptual yang kokoh serta visi pendidikan yang jelas. Ironisnya, pragmatisme dan politisasi pendidikan inilah yang terjadi.
Pemikiran yang dangkal, pragmatis, hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, serta lebih didominasi wacana politis akan menyandera kinerja dunia pendidikan kita. Reformasi kurikulum yang tak didasari pemikiran jangka panjang serta dilandasi pemikiran konseptual-fundamental tentang manusia Indonesia macam apa yang ingin dilahirkan di masa kini dan masa depan hanya menjerumuskan reformasi kurikulum sekadar politisasi pendidikan.
Makna Nama
Politisasi pendidikan tampak, pertama- tama, dari cara memberikan nama kurikulum baru yang sedang digodok: Kurikulum Perekat Kesatuan Bangsa. Nama membawa pesan, seperti jabaran proses pendidikan yang harus dijalani, mata pelajaran yang diutamakan, serta sistem evaluasi yang dipraktikkan.
Dari cara memberikan nama, jelas bahwa kurikulum baru bertujuan membentuk warga negara Indonesia menjadi warga yang cinta bangsa dan menghargai kesatuan. Penamaan ini berlatar belakang politis tentang situasi bangsa yang karut-marut, gemar berkelahi, tawuran, gampang diadu domba, kemerosotan penggunaan bahasa Indonesia, serta berbagai situasi krisis sosial di masyarakat yang memang hari-hari ini mengentak nurani kita.
Tentu, mendesain sebuah kurikulum yang mampu mempersatukan bangsa ini sebagai satu saudara, sebangsa dan setanah air, tidak salah. Namun, meredusir reformasi kurikulum pendidikan nasional dengan orientasi seperti ini justru merugikan bangsa di masa depan. Tantangan ke depan jauh lebih besar dibandingkan persoalan tawuran, perkelahian, atau ketakutan bahwa NKRI akan hancur.
Selain itu, salah besar menimpakan segala persoalan sosial yang terjadi hari- hari ini pada dunia pendidikan sehingga kurikulum nasional harus mengorbankan dirinya demi kepentingan politis yang sesaat seperti ini. Tampaknya, jalan-jalan inilah yang saat ini sedang dilakoni para pembuat draf kurikulum baru. Desain kurikulum baru ini tidak bervisi jauh ke depan tentang bagaimana generasi Indonesia emas ini akan bersaing di dunia global: dari segi kemampuan teknologi, informasi, sains, dan ilmu pengetahuan.
Logika berpikir tentang fungsi dan peranan mata pelajaran dalam konteks kurikulum pun tidak jernih. Untuk merekatkan kesatuan bangsa, ada empat prioritas mata pelajaran yang akan diajarkan, yaitu Bahasa Indonesia, Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama, dan Matematika. Keempat mata pelajaran ini, selain dipercaya sebagai perekat kesatuan bangsa, juga memiliki muatan pembentukan karakter generasi muda bangsa.
Pandangan seperti ini meremehkan dan meredusir mata pelajaran lain dalam rangka partisipasi mereka membentuk insan Indonesia yang cerdas, mandiri, terampil, dan berakhlak mulia. Mata pelajaran adalah sebuah konstruksi materi, pengajaran dan evaluasi yang terintegrasi, yang dalam dirinya sendiri bisa dipergunakan untuk berbagai macam kepentingan. Pendidikan sains, misalnya, tidak kalah hebat dalam membentuk karakter bangsa dibandingkan mata pelajaran Agama atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ini semua bergantung pada cara kita memahami makna, fungsi, dan peran mata pelajaran dalam rangka tujuan pendidikan.
Pemilihan empat prioritas mata pelajaran ini menunjukkan distorsi pemikiran serta konsepsi parsial tentang makna, peran, dan fungsi mata pelajaran. Pendidikan nasional tidak akan bertambah baik bila para konseptor pendidikan nasional tidak memahami bahkan hal-hal yang paling fundamental dalam desain kurikulum.
Pilihan empat prioritas ini tentu saja akan berdampak pada sistem evaluasi. Kita akan mengulangi kesalahan dan kecerobohan yang sama bila akhirnya keempat mata pelajaran ini di-ujian nasional-kan! Meng-UN-kan empat mata pelajaran itu tidak akan menjamin kemerosotan moral bangsa berkurang. Kemerosotan moral terus terjadi karena banyak sendi kehidupan berbangsa yang terkorupsi, seperti hilangnya keadilan, yang melahirkan korupsi di berbagai sendi kehidupan, sehingga langsung terasa pada dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat secara umum.
Pemikiran Jangka Panjang
Reformasi kurikulum mestinya didasarkan pada pemikiran jangka panjang. Terutama tentang bagaimana bangsa ini menghadapi situasi zaman yang penuh tantangan, baik dari dalam negeri maupun dalam lingkup tatanan global.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya sudah merupakan langkah tepat. Di dalamnya terdapat ruang bebas bagi para guru, pendidik, dan sekolah untuk mengeksplorasi. KTSP tak berjalan bukan karena KTSP salah, melainkan karena pemerintah tak mendukungnya dengan konsepsi fundamental yang konsisten. Sebutlah seperti mekanisme peningkatan profesionalisme guru dalam menerapkan KTSP serta sistem evaluasi UN yang menyandera otonomi guru.
Reformasi isi kurikulum memang sesuatu yang penting agar anak-anak Indonesia mempelajari banyak hal yang sungguh-sungguh relevan. Juga penting bagi perkembangan hidup pribadinya ataupun bagi perkembangan karier dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang aktif di masa depan. Namun, mereformasi kurikulum tanpa pemahaman konseptual mendasar, tanpa visi jangka panjang tentang bagaimana negara ini mempersiapkan warga bangsanya agar bisa aktif terlibat dalam kehidupan berbangsa dalam konteks menjagat, hanya akan membuat dunia pendidikan kita tersandera kepentingan sesaat para politisi. Ini merugikan bangsa ini di masa depan.
Reformasi kurikulum saat ini memiliki orientasi dasar bervisi jangka pendek, pragmatis, serta lebih banyak unsur politisasinya daripada perubahan dalam visi pendidikan yang sifatnya transformatif, yang menyiapkan generasi muda Indonesia jadi pelaku perubahan dalam masyarakat. Padahal, sejak zaman Soekarno, pendidikan nasional yang bervisi transformasi sosial ini menjadi tujuan awal.
Bangsa kita sejak awal ingin lepas dari perbudakan penjajah, menjadi manusia merdeka yang mampu mengisi dan menjaga bangsa ini dengan kekuatan sendiri karena muncul semangat merdeka. Sayangnya, justru semangat merdeka yang dibutuhkan bagi lajunya dunia pendidikan tidak kita temukan. Yang kita temukan adalah politisasi pendidikan yang visinya hanya kebutuhan jangka pendek: sesaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar