Senin, 19 November 2012

Pasca-bubarnya BP Migas


Pasca-bubarnya BP Migas
Hikmahanto Juwana ;  Guru Besar Hukum Internasional,
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
KOMPAS, 17 November 2012


Mahkamah Konstitusi, Selasa (13/11), telah mengeluarkan putusan yang menyatakan keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) inkonstitusional. Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 dengan membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (UPKHM Migas).
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentu harus dihormati. Putusan telah dibuat dan tidak ada jalan lain bagi semua pihak kecuali menjalankan. Tindakan cepat pemerintah untuk membentuk UPKHM tentu harus diapresiasi. Ini untuk mencegah kevakuman hukum dan terciptanya kepastian sebagai konsekuensi bubarnya BP Migas.
Tiga Model
Menjadi pertanyaan, dengan adanya UPKHM Migas, apakah posisi negara lebih baik sebelum BP Migas dibubarkan? Untuk mendapatkan jawaban tersebut, maka perlu dipahami tiga model hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dalam pengelolaan sumber daya alam.
Model pertama adalah model hubungan kontraktual antara pemerintah dan pelaku usaha (government to business). Model ini dikembangkan di sektor mineral dan batubara dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Contohnya kontrak karya antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia atau pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Hanya saja, rezim kontrak berdasarkan UU No 11/1967 telah ditinggalkan dan diganti dengan rezim izin berdasarkan UU No 4/2009. Dalam hubungan kontraktual kedudukan pemerintah setara dengan pelaku bisnis, sesuatu yang sebenarnya ingin dihindari oleh para pemohon uji materi atas UU Migas, termasuk keinginan dari MK.
Model kedua adalah hubungan kontraktual antara lembaga usaha yang terpisah dari negara tetapi berada dalam kendali negara. Dalam model kedua ini, lembaga usaha yang ditunjuk oleh negara berkontrak dengan kontraktor. Pertamina sebelum berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas adalah perwujudan model ini.
Kelebihan dari Pertamina berdasarkan UU No 8/1971 dibandingkan dengan BP Migas adalah Pertamina memiliki kewenangan sebagai regulator. Berdasarkan UU Migas 2001, kewenangan sebagai regulator telah dikembalikan ke Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). BP Migas hanya badan hukum yang didirikan oleh negara untuk berkontrak dengan kontraktor.
Dua model di atas merupakan model kontrak yang dianut di suatu negara atas pengelolaan sumber daya alam.
Model terakhir adalah negara berkedudukan sebagai pemberi izin (konsesi) kepada kontraktor dan pelaku usaha. Ini yang dikenal dengan rezim izin sebagaimana dianut dalam UU Mineral dan Batubara. Dalam rezim izin, maka kedudukan negara sebagai pemberi izin lebih tinggi daripada pelaku usaha. Negara dalam posisi vertikal di atas, tidak horizontal. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di antara para pihak, termasuk negara, merupakan prasyarat mengingat kontrak membutuhkan kesepakatan.
Negara Sebagai Pihak
Bila dibandingkan dengan masa lalu, keberadaan UPKHM Migas yang mewakili pemerintah sama kedudukannya seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) sebelum menjadi perusahaan umum. Bulog ketika ini didirikan dengan keputusan presiden dan Bulog melakukan transaksi komersial mewakili negara. Dalam posisi pasca-putusan MK, maka UPKHM Migas bukanlah pihak yang berkontrak, melainkan negara. UPKHM bukanlah badan hukum yang terpisah dari negara.
Mengingat saat ini negara langsung berkontrak dengan kontraktor, maka sebenarnya negara tidak terlindungi bila terjadi sengketa berdasarkan kontrak kerja sama. Di forum penyelesaian sengketa, apakah itu pengadilan ataupun arbitrase, negara menjadi pihak tergugat ataupun penggugat.
Permasalahan yang muncul adalah tanggung jawab negara dalam posisinya sekarang adalah tidak terbatas. Aset negara akan terekspos untuk membayar ganti rugi. Ini berbeda bila negara hanya pemegang saham di suatu perseroan terbatas atau negara membentuk badan hukum milik negara (BHMN). Tanggung jawab hanya terbatas pada saham yang dimiliki oleh negara atau aset yang dimiliki oleh perseroan terbatas (PT) atau BHMN.
Masalah ini perlu mendapat perhatian karena investasi di bidang minyak dan gas membutuhkan dana besar. Bila ada wanprestasi dari negara, kompensasi yang diminta akan sebesar dana yang dikeluarkan, ditambah dengan kerugian potensial atau imaterial.
Ingat, dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company, investasi yang berjumlah 50 juta dollar AS dimintakan kompensasi lebih dari 250 juta dollar AS. Churchill, sebuah perusahaan Inggris, saat ini tengah menggugat pemerintah hingga Rp 18 triliun.
Sekarang ini ada 350 lebih kontrak kerja sama (KKS) yang tentu memiliki potensi untuk menjadi sengketa. Setiap sengketa harus diperhatikan sungguh-sungguh karena bila pemerintah kalah, berarti kekalahan negara. Di samping itu, pelaku usaha dapat meminta ganti rugi yang sangat besar dan bisa menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kemakmuran
Bila itu yang terjadi, maka dipertanyakan, di mana ”kemakmuran untuk sebesar-besarnya rakyat’? Agar terhindar dari ”pemerasan” melalui saluran hukum, bahkan pemerintah dijadikan ”tambang hukum”, maka pemerintah perlu berpikir keras untuk membuat perlindungan pasca-putusan MK.
Salah satu upaya tersebut adalah mengubah rezim kontrak yang berlaku di sektor migas menjadi rezim izin. Bila pada saatnya disetujui rezim izin itu yang diberlakukan, UU Migas harus diamandemen secara keseluruhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar