Pasca-bubarnya
BP Migas
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional,
Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
17 November 2012
Mahkamah Konstitusi,
Selasa (13/11), telah mengeluarkan putusan yang menyatakan keberadaan Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)
inkonstitusional. Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 dengan membentuk Unit
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (UPKHM Migas).
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) tentu harus dihormati. Putusan telah dibuat dan
tidak ada jalan lain bagi semua pihak kecuali menjalankan. Tindakan cepat
pemerintah untuk membentuk UPKHM tentu harus diapresiasi. Ini untuk mencegah
kevakuman hukum dan terciptanya kepastian sebagai konsekuensi bubarnya BP
Migas.
Menjadi
pertanyaan, dengan adanya UPKHM Migas, apakah posisi negara lebih baik
sebelum BP Migas dibubarkan? Untuk mendapatkan jawaban tersebut, maka perlu
dipahami tiga model hubungan pemerintah dengan pelaku usaha dalam pengelolaan
sumber daya alam.
Model
pertama adalah model hubungan kontraktual antara pemerintah dan pelaku usaha
(government to business). Model ini dikembangkan di sektor mineral dan
batubara dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Contohnya kontrak karya
antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia atau pemerintah dan PT Newmont
Nusa Tenggara.
Hanya
saja, rezim kontrak berdasarkan UU No 11/1967 telah ditinggalkan dan diganti
dengan rezim izin berdasarkan UU No 4/2009. Dalam hubungan kontraktual
kedudukan pemerintah setara dengan pelaku bisnis, sesuatu yang sebenarnya
ingin dihindari oleh para pemohon uji materi atas UU Migas, termasuk
keinginan dari MK.
Model
kedua adalah hubungan kontraktual antara lembaga usaha yang terpisah dari
negara tetapi berada dalam kendali negara. Dalam model kedua ini, lembaga
usaha yang ditunjuk oleh negara berkontrak dengan kontraktor. Pertamina
sebelum berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas adalah perwujudan model ini.
Kelebihan
dari Pertamina berdasarkan UU No 8/1971 dibandingkan dengan BP Migas adalah
Pertamina memiliki kewenangan sebagai regulator. Berdasarkan UU Migas 2001,
kewenangan sebagai regulator telah dikembalikan ke Direktorat Jenderal Migas,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). BP Migas hanya badan hukum
yang didirikan oleh negara untuk berkontrak dengan kontraktor.
Dua
model di atas merupakan model kontrak yang dianut di suatu negara atas
pengelolaan sumber daya alam.
Model
terakhir adalah negara berkedudukan sebagai pemberi izin (konsesi) kepada
kontraktor dan pelaku usaha. Ini yang dikenal dengan rezim izin sebagaimana
dianut dalam UU Mineral dan Batubara. Dalam rezim izin, maka kedudukan negara
sebagai pemberi izin lebih tinggi daripada pelaku usaha. Negara dalam posisi
vertikal di atas, tidak horizontal. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di
antara para pihak, termasuk negara, merupakan prasyarat mengingat kontrak
membutuhkan kesepakatan.
Bila
dibandingkan dengan masa lalu, keberadaan UPKHM Migas yang mewakili
pemerintah sama kedudukannya seperti Badan Urusan Logistik (Bulog) sebelum
menjadi perusahaan umum. Bulog ketika ini didirikan dengan keputusan presiden
dan Bulog melakukan transaksi komersial mewakili negara. Dalam posisi
pasca-putusan MK, maka UPKHM Migas bukanlah pihak yang berkontrak, melainkan
negara. UPKHM bukanlah badan hukum yang terpisah dari negara.
Mengingat
saat ini negara langsung berkontrak dengan kontraktor, maka sebenarnya negara
tidak terlindungi bila terjadi sengketa berdasarkan kontrak kerja sama. Di
forum penyelesaian sengketa, apakah itu pengadilan ataupun arbitrase, negara
menjadi pihak tergugat ataupun penggugat.
Permasalahan
yang muncul adalah tanggung jawab negara dalam posisinya sekarang adalah
tidak terbatas. Aset negara akan terekspos untuk membayar ganti rugi. Ini
berbeda bila negara hanya pemegang saham di suatu perseroan terbatas atau
negara membentuk badan hukum milik negara (BHMN). Tanggung jawab hanya
terbatas pada saham yang dimiliki oleh negara atau aset yang dimiliki oleh
perseroan terbatas (PT) atau BHMN.
Masalah
ini perlu mendapat perhatian karena investasi di bidang minyak dan gas
membutuhkan dana besar. Bila ada wanprestasi dari negara, kompensasi yang
diminta akan sebesar dana yang dikeluarkan, ditambah dengan kerugian
potensial atau imaterial.
Ingat,
dalam kasus Pertamina melawan Karaha Bodas Company, investasi yang berjumlah
50 juta dollar AS dimintakan kompensasi lebih dari 250 juta dollar AS.
Churchill, sebuah perusahaan Inggris, saat ini tengah menggugat pemerintah
hingga Rp 18 triliun.
Sekarang
ini ada 350 lebih kontrak kerja sama (KKS) yang tentu memiliki potensi untuk
menjadi sengketa. Setiap sengketa harus diperhatikan sungguh-sungguh karena
bila pemerintah kalah, berarti kekalahan negara. Di samping itu, pelaku usaha
dapat meminta ganti rugi yang sangat besar dan bisa menggerus Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bila
itu yang terjadi, maka dipertanyakan, di mana ”kemakmuran untuk
sebesar-besarnya rakyat’? Agar terhindar dari ”pemerasan” melalui saluran
hukum, bahkan pemerintah dijadikan ”tambang hukum”, maka pemerintah perlu
berpikir keras untuk membuat perlindungan pasca-putusan MK.
Salah
satu upaya tersebut adalah mengubah rezim kontrak yang berlaku di sektor
migas menjadi rezim izin. Bila pada saatnya disetujui rezim izin itu yang
diberlakukan, UU Migas harus diamandemen secara keseluruhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar