Ekonomi
Pembangunan BP Migas
Effnu Subiyanto ; Pendiri Forkep (Forum
Pengamat Kebijakan Publik),
Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
|
JAWA
POS, 16 November 2012
PRO-kontra merebak menyikapi putusan bersejarah MK pada 13
November 2012 yang membubarkan badan strategis BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi). Presiden langsung merespons dengan menerbitkan
PP No 95/2012 tentang pengalihan fungsi BP Migas menjadi Unit Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Migas di bawah Kementerian ESDM.
Sejak lahir pada 16 Juli 2002, kinerja BP Migas bisa dikatakan tidak maksimal untuk membela kepentingan bangsa. Kepala BP Migas R Priyono pada 2008 memasang lima program strategis untuk menggenjot lifting.Yakni, restrukturisasi organisasi BP Migas, optimalisasi sumur tua, mempercepat pelaksanaan lapangan yang on-stream 2008-2013, program EOR (enhance oil recovery), serta program menghilangkan kendala fiskal, hutan, tanah, otoda, dan keamanan. Namun, sejak 2008 sampai sekarang, evaluasi program itu tak tersebar luas. Lifting malah terus merosot sehingga menambah beban negara dalam mengimpor BBM. Juga, ketika penerimaan migas semakin merosot, kewajiban cost recovery justru meningkat. Pada 1980-an, produksi minyak mentah pernah mencapai 1,6 juta bph dan bertahan di atas 1 juta bph sampai 2002. Justru ketika BP Migas sudah dibentuk, tingkat lifting minyak merosot. Pada 2003, lifting masih berkisar 1,1 juta bph dan pada 2004 menjadi 1,09 juta bph. Pada 2005, lifting tinggal 999 ribu bph (target APBN 1,075 juta bph). Pada 2006, lifting 959 ribu bph (target 1 juta bph) dan pada 2007 tinggal 899 bph (target 950 ribu bph). Pada 2008, terealisasi 978 ribu bph (target 1,034 juta bph); pada 2009 dihasilkan 945 ribu bph (target 960 ribu bph); dan pada 2011 mencapai 898 ribu (target 975 ribu bph). Tahun ini, liftingberkisar 870 ribu bph, padahal target APBN 930 ribu bph. Gap rata-ratanya mencapai 135 ribu bph. Jika rata-rata harga minyak ICP berkisar USD 109 per barel (per Oktober 2012), dapat dihitung sendiri berapa potential loss setiap tahun. Ironisnya, BP Migas malah menjadi pelopor kenaikan cost recovery yang harus dibayarkan negara kepada kontraktor migas sebagai kompensasi saat eksplorasi dan produksi. Pada 2003, nilai cost recovery masih USD 5,1 miliar, kemudian USD 7,126 miliar (2004); naik ke USD 7,4 miliar (2005); USD 7,8 miliar (2006); dan USD 8,34 miliar (2007). Tahun ini double digit USD 13,34 miliar. Nilai cost recovery per barel adalah USD 11,1 pada 2004, lantas naik ke USD 11,54 (2005); USD 12,13 (2006); dan USD 14 (2007). Itu tentu ironis. Sebab, lifting rata-rata turun 3,3 persen per tahun, tapi cost recovery naik rata-rata 6 persen per tahun. Tahun ini, nilai cost recovery per barel sudah sangat luar biasa, USD 42,62 per barel. Joseph Stiglitz (2007) pernah memberikan indikasi bahwa struktur biaya pada kontrak kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan kontrak produksi sharing (KPS) Indonesia jauh lebih besar daripada Libya, Venezuela, dan Iran dari cost recovery ini. Rata-rata di sini biaya produksi untuk mendapatkan minyak mentah per barel adalah USD 5,11 dan biaya operasi USD 9,1 per barel. Jika ditambah ongkos cost recovery USD 42,62 per barel, sebetulnya biaya per barel total USD 56,83. Exxonmobil (2007), misalnya, menyatakan bahwa biaya maksimal eksploitasi minyak adalah USD 10 dan operasi USD 15, sehingga malah untung USD 31,83 per barel jika menambang minyak di Indonesia. Sekali lagi, politik cost recovery ini adalah blunder. Sementara itu, jika disebut penerimaan negara meningkat dengan adanya BP Migas, faktanya tidak demikian. Target APBN 2007 adalah USD 38,7 miliar. Padahal, tahun ini malah turun ke USD 33,485 miliar dan tahun depan menjadi USD 31,75 miliar. Secara grafikal, penerimaan negara memang meningkat dalam mata uang rupiah, yakni pada 2005 sebesar Rp 153,65 triliun; Rp 208,08 triliun (2006); dan Rp 174,48 triliun (2007). Namun, jika dicermati, akumulasinya selalu di bawah target seperti yang terjadi pada 2008, yakni memperoleh benefit Rp 166,02 triliun padahal targetnya Rp 174,48 triliun. Kenaikan nilai penerimaan itu disebabkan nilai tukar dan membaiknya harga ICP. Namun, jika dipersentase, kontribusi penerimaan dari sektor migas terhadap APBN malah menurun, sebelumnya mengalami tradisi 30 persen dan kini 26,08 persen dalam kondisi terengah-engah. Bisa jadi BP Migas berada dalam waktu dan tempat yang salah. Badan itu mengambil alih seluruh transaksi migas bersamaan dengan semakin menipisnya cadangan minyak dan semakin mahalnya biaya eksplorasi serta eksploitasi untuk menemukan sumur baru. Namun, kewenangan superbesar yang digenggam BP Migas selama ini berpotensi menjadi abuse of power dan conflict of interest. BP Migas akhirnya tidak mampu menangkap skala prioritas pemanfaatan migas untuk kepentingan dalam negeri. Akhirnya, Kementerian ESDM yang kini menjadi bohir (pemangku, Red) eks BP Migas berdasar PP No 95/2012 itu juga harus hati-hati agar tidak serta-merta menerima seluruh risiko yang melekat dari setiap kontrak karena kelalaian BP Migas. Badan auditor independen atau auditor BPK harus diturunkan untuk memeriksa kinerja BP Migas, apakah kontrak-kontrak tersebut sudah melalui prosedur yang benar dan wajar dari perspektif hukum, ekonomi, maupun kepentingan pemilik energi, yakni pemerintah Indonesia. Semoga tata kelola migas dan energi Indonesia dapat kembali ke jalan yang benar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar