Sudah Jatuh,
Tertimpa Tangga
Ihsan Ali-Fauzi ; Direktur Pusat Studi Agama dan
Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina dan Staf pengajar pada Universitas
Paramadina, Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 16 November 2012
Kita harus back to basics, seperti dinyatakan
konstitusi: kembalikan para pengungsi ke tempat asal mereka, dengan ongkos
apa pun. Warga negara harus bebas bergerak, berkehidupan, termasuk dalam soal
agama. Ancaman terhadapnya harus disingkirkan.
Dua berita terakhir soal pengungsi Syiah di
Sampang bikin kita geleng-geleng kepala. Nasib mereka seperti orang yang
jatuh lalu tertimpa tangga. Berita pertama adalah dihentikannya jatah makan
polisi yang menjaga para pengungsi. Yang kedua, tekanan agar para pengungsi
meninggalkan keyakinannya. Ini menyalahi prinsip paling dasar dalam perlakuan
terhadap pengungsi. Mereka pertama-tama harus bisa kembali ke tempat asal
mereka dan hidup normal seperti sebelumnya.
Mari kita super-malu sebagai bangsa! Di
negeri yang mengaku beradab ini, badan yang khusus mengelola pengungsi karena
konflik pun sekarang tak ada. Sebelum 2008, ada Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi, yang dibentuk awal 2001 lewat Keppres
Nomor 3. Tapi, pada 2005, badan ini digantikan oleh Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana (tanpa kata "pengungsi"), yang dibentuk
lewat Perpres Nomor 83. Badan ini lalu digantikan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (disingkat BNPB), seperti yang kita kenal sekarang,
yang dibentuk lewat Perpres Nomor 8 Tahun 2008.
Tak mengherankan jika kini tak jelas siapa
yang harus memberi makan polisi yang menjaga pengungsi. Jangankan itu, data
resmi tentang berapa jumlahnya pun kita tak punya. Dalam laporannya baru-baru
ini (2011), Internal Displacement
Monitoring Centre (IDMC) menyatakan pemerintah Indonesia tak pernah
memperbarui data yang terakhir kali dikumpulkan pada 2005. Koordinasi di
antara badan-badan yang mengurus pengungsi pun tak jelas. Desentralisasi
kewenangan pusat malah berdampak buruk. Ini terjadi ketika
pemerintahan-pemerintahan daerah yang baru terpilih melalui pilkada menolak
kembalinya para pengungsi ke tempat asal mereka.
Di Kalimantan Barat, misalnya, sebagian
besar dari 78 ribu pengungsi beretnis Madura, yang mengungsi akibat konflik
pada 2001, didesak untuk tidak kembali ke tempat asal mereka dan menetap di
Pontianak. Pilihan lainnya, mencoba hidup baru di tempat-tempat pengungsian
sementara di luar ibu kota itu. Maka, jangan kaget jika kebutuhan pengungsi
yang dipenuhi hanya yang sangat mendasar, terkait dengan makanan dan tempat
tinggal. Komnas Perempuan, misalnya, mencatat penanganan yang ada sama sekali
tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan perempuan dan anak-anak.
Banyak dan Meningkat
Mari kita lebih serius bernegara. Penting
dicatat, pengungsi karena konflik agama bukan hanya ada dan banyak, tapi juga
meningkat belakangan ini. Akibat konflik komunal di Maluku dan Maluku Utara
antara 1998 dan 2002, diduga masih ada sekitar 30 ribu pengungsi. Sedikitnya
sekitar 2.500 rumah tangga masih menetap di tempat-tempat penampungan
sementara di Ambon dan Seram. Alih-alih menurun, jumlah ini meningkat akibat
benturan muslim dan penganut Kristen di Ambon pada September 2011, yang
mengakibatkan sekitar 5.000 orang jadi pengungsi baru.
Di Sulawesi Tengah, akibat konflik muslim
dan Kristen yang terutama terjadi antara 1998 dan 2004, masih ada banyak
pengungsi. Jumlahnya tak pasti. Data resmi pemerintah tahun 2005 menyebutkan
angka 29 ribu orang. Pada 2009, Komnas HAM mencatat "beberapa ribu
orang" masih menjadi pengungsi di Poso, sebagian besar karena
perselisihan mengenai tanah dan hak milik. Lalu ada pengungsi akibat
kekerasan anti-Ahmadiyah di Transito, Mataram, yang kini masih berjumlah 115
orang. Mereka menempati satu blok bangunan, terdiri atas 36 keluarga, di mana
tiap keluarga dipisahkan oleh kain atau kardus bekas berukuran 3 x 2 meter.
Mereka sulit memperoleh KTP baru, yang mempersulit mereka mengurus
surat-surat resmi lainnya.
Terakhir, ada pengungsi Sampang, Madura.
Mereka terdiri atas 63 keluarga, 282 orang, dengan kondisi mengenaskan: sudah
69 korban jatuh sakit, tanpa dokter yang siap jaga, dengan bantuan makanan
selalu terlambat. Dan di tengah-tengah itu semua, mereka didesak bertobat,
berpindah keyakinan, dan jatah makan polisi yang menjaga mereka tak hendak diperpanjang.
Back to Basics
Melihat kasus-kasus di atas, jangan
sekali-kali berpikir untuk melegalkan dan mempermanenkan komunitas Syiah
Sampang sebagai pengungsi dengan merelokasi mereka. Hal yang sama juga
berlaku dalam menangani akibat konflik di Lampung Selatan baru-baru ini, yang
juga ada warna etnis dan agamanya.
Kita harus back to basics, seperti
dinyatakan konstitusi: kembalikan para pengungsi ke tempat asal mereka,
dengan ongkos apa pun. Warga negara harus bebas bergerak, berkehidupan,
termasuk dalam soal agama. Ancaman terhadapnya harus disingkirkan. Mari
dahulukan pencegahan dengan menangani akar-akar konflik. Banyak penyerangan
terhadap kelompok-kelompok minoritas agama berawal dari anggapan bahwa
kelompok-kelompok itu "menodai" agama tertentu. Pangkalnya Undang-Undang
Nomor 1/PNPS Tahun 1965, yang dua tahun lalu kembali dikuatkan keputusan
Mahkamah Konstitusi. Harus dipikirkan peluang apa yang tersisa dari keputusan
di atas untuk penguatan hak-hak minoritas agama di masa depan.
Di luar itu, konflik-konflik komunal antar-agama
atau antar-etnis berawal dari kecemburuan ekonomi yang meningkat menjadi
konflik-konflik kekerasan akibat lemahnya pemerintah dalam mengelola
perbedaan. Ini juga yang kita saksikan belakangan ini di Lampung. Dus, kita
harus secara kategoris menolak dipindahkannya warga Bali di Lampung ke tempat
mana pun. Selain tidak akan menyelesaikan masalah, hal itu hanya akan
memancing munculnya masalah baru, seperti kemarahan masyarakat Bali terhadap
kaum pendatang.
Tak ada
seorang pun yang mau dipaksa berpindah dari tempat asal mereka. Ini sudah
tragedi. Tapi, jika nasi sudah menjadi bubur, sedikitnya kita bisa berbuat
sesuatu agar mereka tak menjadi korban dua kali. Dan karena kita bukan
keledai, mari belajar dari pengalaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar