Jumat, 03 Agustus 2012

Revitalisasi Ideologi Partai


Revitalisasi Ideologi Partai
Israr Iskandar ; Dosen Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
REPUBLIKA, 02 Agustus 2012

Gejala perpindahan politikus dari satu partai ke partai lainnya kembali mewarnai proses politik Indonesia menjelang Pemilu 2014. Politikus lompat pagar tak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi juga sampai ke daerah-daerah.

Fenomena migrasi politik ini cukup merisaukan di tengah upaya penguatan kelembagaan demokrasi di mana partai menjadi pilar utamanya. Kelembagan partai dan demokrasi tak pernah terbangun secara matang manakala partai-partai politik kita dilakoni politikus tipikal `kutu loncat'.

Jika politikus bermigrasi ke partai yang platformnya `segaris', katakanlah sesama `partai tengah' atau sesama partai berasaskan agama, kenyataan itu tidak terlalu mengherankan. Namun, agak aneh ketika seorang politikus dari partai politik yang AD/ART jelas-jelas berasaskan nilai-nilai agama, justru berpindah perahu ke partai politik bercorak nasionalis sekuler.

Secara umum, latar belakang atau motivasi politikus melakukan migrasi politik karena partai lama dianggap tidak lagi menjanjikan (kekuasaan) sedangkan partai baru tengah menawarkan harapan-harapan. Partai politik yang banyak menjadi sasaran lompat pagar biasanya adalah partai yang popularitas dan elektabilitasnya tengah menanjak.

Minus Ideologi

Gejala lompat pagar politikus jelas mengindikasikan makin tergerusnya ideologi partai-partai politik di Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, batas-batas ideologi partai politik di Tanah Air kian kabur. Ideologi politik hanya tinggal dalam cetak biru partai, katakanlah dalam AD/ART, namun dalam pelaksanaannya justru kian pudar atau bahkan tidak tecermin sama sekali.

Tak mengherankan, absurdnya muatan ideologis pada partai-partai saat ini membuat arah perjuangan partai dan politikus hanya pada kepentingan pragmatis dan jangka pendek belaka.

Kenyataan ini, pada batas tertentu, juga berkorelasi dan berdampak pada perilaku politik masyarakat. Publik tidak lagi melihat perbedaan esensial (ideologis) dari partai-partai yang ada. Sebaliknya, publik justru melihat bahwa partai-partai hanya berjuang untuk diri dan kelompok mereka sendiri.

Tendensi ini agak berbeda dengan eksistensi partai-partai politik di negara-negara demokrasi lain, seperti Amerika Serikat atau Australia, yang justru memiliki basis ideologis cukup kuat. Perbedaan ideologi di antara partai-partai yang ada menjadi basis pilihan politik masyarakat. Karena itu, tidak mudah bagi seorang warga mengubah pilihan politiknya hanya karena alasan-alasan pragmatis.

Tak hanya itu, merujuk sejarah politik Indonesia sendiri, khususnya pada Pemilu 1955, ideologi kepartaian di Indonesia cukup jelas dan tegas. Celakanya, kemudian, pada masa Orde Baru, ideologi politik yang sebelumnya tecermin pada partai-partai ‘dimatikan’.
Pada Pemilu 1999, sebagai pemilu pertama pada era Reformasi, partai-partai memang muncul dengan ideologi berbeda-beda. Pilihan politik masyarakat pun untuk sebagian didasarkan pada ideologi partai-partai itu. Namun kemudian, di tingkat elite, model ‘politik aliran’ itu justru memudar.

Revitalisasi

Pupusnya ideologi tak sepenuhnya menjadi dampak residu sejarah, tapi juga karena banyaknya politikus tidak kredibel dan kapabel yang tampil di panggung politik era Reformasi di pusat hingga daerah. Bagi mereka, politik bukan arena pengabdian kepada rakyat dan negara, melainkan justru lahan pekerjaan atau mencari peruntungan ekonomi.

Partai bahkan tak ubahnya seperti perusahaan, tempat memupuk keuntungan. Siapa memiliki saham terbesar, dialah penguasa partai bersangkutan. Tidak heran, ragam proses politik tak lagi menegosiasikan dan meneguhkan visi, tapi justru arena transaksi bernuansa ekonomi politik tertentu. Betapa sulitnya mengharapkan lahirnya politikus tipikal negarawan dari rahim partai semacam itu.

Padahal, sebagai sarana perjuangan politik, partai membutuhkan ideologi yang kuat. Ideologi partai dimaksudkan di sini adalah visi atau cita-cita politik suatu partai, tapi tetap dalam kerangka perwujudan cita-cita nasional. Tanpa ideologi yang jelas, perjuangan politik partai menjadi tanpa arah. Partai minus muatan ideologis inilah yang kerap terjebak pada pragmatisme.

Partai pragmatis ini bahkan hanya mengandalkan pada pencitraan absurd. Seolah-olah, nasionalis kerakyatan atau nasionalis religius, tapi sesungguhnya pragmatis oportunis. Tanpa kekuatan ideologis, partai pun gagal melakukan tugas pokoknya, yakni kaderisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Pengelola partai tidak 100 persen kader murni partai bersangkutan. Mereka bisa datang dan pergi begitu saja.

Reformasi kepartaian harus ditujukan untuk membangun sistem kepartaian yang kuat dan stabil. Hal itu bisa terjadi, antara lain, jika partai-partai yang ada memperkuat dirinya dengan mempertegas basis ideologi yang dianut, setidaknya untuk membedakan arah perjuangan antara satu partai dan partai lainnya. Ideologi yang dimaksud tentu bukan sekadar pemanis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar