Revitalisasi
Ideologi Partai
Israr Iskandar ; Dosen Sejarah Politik
Universitas Andalas Padang
REPUBLIKA,
02 Agustus 2012
Gejala perpindahan politikus dari satu partai ke partai lainnya
kembali mewarnai proses politik Indonesia menjelang Pemilu 2014. Politikus
lompat pagar tak hanya terjadi di tingkat pusat, tapi juga sampai ke
daerah-daerah.
Fenomena migrasi politik ini cukup merisaukan di tengah upaya
penguatan kelembagaan demokrasi di mana partai menjadi pilar utamanya.
Kelembagan partai dan demokrasi tak pernah terbangun secara matang manakala
partai-partai politik kita dilakoni politikus tipikal `kutu loncat'.
Jika politikus bermigrasi ke partai yang platformnya `segaris',
katakanlah sesama `partai tengah' atau sesama partai berasaskan agama, kenyataan
itu tidak terlalu mengherankan. Namun, agak aneh ketika seorang politikus dari
partai politik yang AD/ART jelas-jelas berasaskan nilai-nilai agama, justru
berpindah perahu ke partai politik bercorak nasionalis sekuler.
Secara umum, latar belakang atau motivasi politikus melakukan
migrasi politik karena partai lama dianggap tidak lagi menjanjikan (kekuasaan)
sedangkan partai baru tengah menawarkan harapan-harapan. Partai politik yang
banyak menjadi sasaran lompat pagar biasanya adalah partai yang popularitas dan
elektabilitasnya tengah menanjak.
Minus Ideologi
Gejala lompat pagar politikus jelas mengindikasikan makin
tergerusnya ideologi partai-partai politik di Indonesia. Dalam 10 tahun
terakhir, batas-batas ideologi partai politik di Tanah Air kian kabur. Ideologi
politik hanya tinggal dalam cetak biru partai, katakanlah dalam AD/ART, namun
dalam pelaksanaannya justru kian pudar atau bahkan tidak tecermin sama sekali.
Tak mengherankan, absurdnya muatan ideologis pada partai-partai
saat ini membuat arah perjuangan partai dan politikus hanya pada kepentingan
pragmatis dan jangka pendek belaka.
Kenyataan ini, pada batas tertentu, juga berkorelasi dan berdampak
pada perilaku politik masyarakat. Publik tidak lagi melihat perbedaan esensial
(ideologis) dari partai-partai yang ada. Sebaliknya, publik justru melihat
bahwa partai-partai hanya berjuang untuk diri dan kelompok mereka sendiri.
Tendensi ini agak berbeda dengan eksistensi partai-partai politik
di negara-negara demokrasi lain, seperti Amerika Serikat atau Australia, yang
justru memiliki basis ideologis cukup kuat. Perbedaan ideologi di antara partai-partai
yang ada menjadi basis pilihan politik masyarakat. Karena itu, tidak mudah bagi
seorang warga mengubah pilihan politiknya hanya karena alasan-alasan pragmatis.
Tak hanya itu, merujuk sejarah politik Indonesia sendiri,
khususnya pada Pemilu 1955, ideologi kepartaian di Indonesia cukup jelas dan
tegas. Celakanya, kemudian, pada masa Orde Baru, ideologi politik yang
sebelumnya tecermin pada partai-partai ‘dimatikan’.
Pada Pemilu 1999, sebagai pemilu pertama pada era Reformasi,
partai-partai memang muncul dengan ideologi berbeda-beda. Pilihan politik
masyarakat pun untuk sebagian didasarkan pada ideologi partai-partai itu. Namun
kemudian, di tingkat elite, model ‘politik aliran’ itu justru memudar.
Revitalisasi
Pupusnya ideologi tak sepenuhnya menjadi dampak residu
sejarah, tapi juga karena banyaknya politikus tidak kredibel dan kapabel yang
tampil di panggung politik era Reformasi di pusat hingga daerah. Bagi mereka, politik
bukan arena pengabdian kepada rakyat dan negara, melainkan justru lahan
pekerjaan atau mencari peruntungan ekonomi.
Partai bahkan tak ubahnya seperti perusahaan, tempat memupuk
keuntungan. Siapa memiliki saham terbesar, dialah penguasa partai bersangkutan.
Tidak heran, ragam proses politik tak lagi menegosiasikan dan meneguhkan visi,
tapi justru arena transaksi bernuansa ekonomi politik tertentu. Betapa sulitnya
mengharapkan lahirnya politikus tipikal negarawan dari rahim partai semacam
itu.
Padahal, sebagai sarana perjuangan politik, partai membutuhkan
ideologi yang kuat. Ideologi partai dimaksudkan di sini adalah visi atau
cita-cita politik suatu partai, tapi tetap dalam kerangka perwujudan cita-cita
nasional. Tanpa ideologi yang jelas, perjuangan politik partai menjadi tanpa
arah. Partai minus muatan ideologis inilah yang kerap terjebak pada
pragmatisme.
Partai pragmatis ini bahkan hanya mengandalkan pada pencitraan
absurd. Seolah-olah, nasionalis kerakyatan atau nasionalis religius, tapi
sesungguhnya pragmatis oportunis. Tanpa kekuatan ideologis, partai pun gagal
melakukan tugas pokoknya, yakni kaderisasi dan pendidikan politik kepada
masyarakat. Pengelola partai tidak 100 persen kader murni partai bersangkutan.
Mereka bisa datang dan pergi begitu saja.
Reformasi kepartaian harus ditujukan untuk membangun sistem
kepartaian yang kuat dan stabil. Hal itu bisa terjadi, antara lain, jika
partai-partai yang ada memperkuat dirinya dengan mempertegas basis ideologi
yang dianut, setidaknya untuk membedakan arah perjuangan antara satu partai dan
partai lainnya. Ideologi yang dimaksud tentu bukan sekadar pemanis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar