Jumat, 03 Agustus 2012

Responsibility to Protect


Responsibility to Protect
Mimin Dwi Hartono ; Aktivis HAM, Alumni Universitas Brandeis USA
REPUBLIKA, 02 Agustus 2012

Kekejaman terhadap etnis Rohingya seakan tiada berakhir. Dalam peristiwa pada Mei 2012, setidaknya lebih dari 60 orang etnis Rohingya dibunuh oleh kelompok mayoritas di Myanmar dan ratusan lainnya hilang, yang diduga dibantai oleh pasukan militer Myanmar. Etnis Rohingya yang menganut agama Islam hidup di perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh, tetapi kedua negara itu enggan mengakui mereka sebagai warganya.
Ribuan pengungsi Rohingya yang berusaha mencari penghidupan lebih baik di Australia banyak yang terdampar di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Sekretaris Jenderal ASEAN telah meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk memberikan penjelasan atas kasus tersebut dan menanganinya secara proporsional. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) telah mengirimkan tim investigasi untuk memeriksa pelanggaran HAM itu dan mengambil langkah-langkah untuk menuntut akuntabilitas Pemerintah Myanmar.

Sebagai bagian dari komunitas internasional yang mempunyai mandat untuk menjaga stabilitas kawasan dan perdamaian dunia, ASEAN dituntut untuk bisa mengimplementasikan konsep `Tanggung Jawab untuk Melindungi' (Responsibility to Protect) yang dicetuskan dalam pertemuan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005.

Konsep `Tanggung Jawab untuk Melindungi' menegaskan bahwa komunitas internasional mempunyai tanggung jawab untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan di suatu negara jika otoritas setempat tidak mampu dan tidak mau melindungi rakyatnya, atau bahkan menjadi pelaku atau terlibat dalam kejahatan (perpetrator). Lebih lanjut, prinsip dasar `Tanggung Jawab untuk Melindungi' adalah bahwa negara bersangkutan menjadi penanggung jawab utama untuk melindungi rakyatnya dari tindak kejahatan kemanusiaan, seperti genosida, kejahatan perang, dan pemusnahan etnis.

Kemudian, komunitas internasional bertanggung jawab untuk mendorong akuntabilitas negara yang bersangkutan dalam memenuhi kewajibannya. Komunitas internasional mempunyai tanggung jawab untuk mempergunakan mekanisme diplomasi, misi kemanusiaan, dan tindakan lainnya untuk membantu masyarakat terdampak atau korban. Jika negara yang bersangkutan gagal dalam mengemban kewajibannya, komunitas internasional harus mengambil tindakan kolektif untuk melindungi masyarakat sesuai dengan amanah yang termaktub dalam Piagam PBB (United Nations Charter).

‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ dilandasi oleh semangat untuk menciptakan perdamaian dunia dan menjunjung tinggi HAM yang bersifat universal dan nondiskriminasi. Hak asasi manusia harus berdiri di atas semua bangsa dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang melintasi batas negara, afiliasi politik, agama, dan kewarganegaraan.

Untuk itu, komunitas internasional mempunyai hak untuk mengintervensi dalam peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan jika negara yang bersangkutan gagal atau bahkan terlibat dalam kejahatan.

Hak asasi manusia di ASEAN memang menjadi hantu, terutama bagi negara-negara yang belum demokratis seperti Myanmar. Namun sejak 2009, terbentuk Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (ASEAN Intergovernmental Human Rights Commission) sebagai wujud komitmen dari negara-negara ASEAN untuk memperbaiki kepatuhan mereka terhadap norma, prinsip, dan standar HAM. Walaupun tidak mempunyai fungsi proteksi dan investigasi, kehadiran Komisi HAM ASEAN diharapkan akan memberi perbaikan situasi HAM di ASEAN, termasuk dalam menyikapi kasus Rohingya.

Selama ini, prinsip kedaulatan negara dan nonintervensi menjadi justifikasi bagi ASEAN untuk tidak bisa mencampuri urusan domestik negara anggotanya.

Namun, ‘sesat pikir’ tersebut harus segera diakhiri. Dalam era saat ini, pihak lain mempunyai hak untuk mengintervensi sebuah negara jika negara yang bersangkutan tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melindungi rakyatnya. Hal ini sesuai dengan prinsip ‘Tanggung Jawab untuk Melindungi’ yang menjadi semangat pergaulan internasional sejak era 2000-an.

Di samping negara yang mempunyai tanggung jawab melindungi etnis Rohingya, kelompok non-negara seperti lembaga swadaya masyarakat juga berperan sangat penting dan strategis.

Di saat negara yang sering kali terhambat oleh aturan diplomasi dan birokrasi sehingga memperlambat proses intervensi, lembaga swadaya masyarakat mempunyai fleksibilitas dan kecepatan dalam memberikan bantuan kemanusiaan.

Sayangnya, dalam kasus pembantaian dan tindakan sewenang-wenang terhadap etnis Rohingya, tidak banyak lembaga swadaya masyarakat, khususnya di bidang hak asasi manusia, yang terlibat dan bersuara kencang. Hal ini membuat masyarakat mempertanyakan imparsialitas lembaga-lembaga hak asasi manusia yang seakan tidak sigap dalam menanggapi kasus-kasus hak asasi manusia yang korbannya adalah masyarakat Muslim. Ini menjadi tantangan tersendiri kelompok advokasi HAM di Indonesia maupun di kawasan ASEAN untuk berdiri di atas semua korban dan independen dari donor asing.

Derita etnis Rohingya harus diatasi secara komprehensif anggota ASEAN dengan negara-negara lain, seperti Australia, dan dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat serta lembaga internasional. Jangan sampai kasus ‘pertukaran pengungsi’ antara Malaysia dan Australia terjadi lagi di mana Australia menukarkan sebanyak 800 etnis Rohingya yang terdampar di Australia dengan 4.000 pengungsi lain dari Malaysia. Cara yang tidak elok dan tidak manusiawi ini sungguh merendahkan martabat kemanusiaan.

Saatnya kita menunggu bagaimana aksi ASEAN dalam memperjuangkan HAM etnis Rohingya. Kita juga berharap ada terobosan dari Pemerintah Myanmar yang mulai melakukan reformasi, khususnya melalui kiprah ikon demokrasinya, Aung San Sun Kyi, untuk memperjuangkan etnis minoritas, termasuk etnis Rohingya. ASEAN harus mendorong anggotanya untuk meratifikasi konvensi tentang pengungsi 1951 sebagai langkah awal yang bagus untuk menangani kasus-kasus pengungsi seperti yang dialami oleh etnis Rohingya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar