Rabu, 08 Agustus 2012

Mengelola Kerentanan Konflik


Mengelola Kerentanan Konflik
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina, Anggota Komite Khusus Pertukaran Akademis Indonesia-Korea
di Korean Political Science Association
SINDO, 08 Agustus 2012


Asia Tenggara dan Asia Timur adalah kawasan rentan konflik. Sejarah kelam berupa kolonialisme, perbedaan ideologi, bahkan bentrokan berdarah yang terjadi antarnegara di kawasan ini menciptakan “jarak” dalam hubungan kerja sama.

Ada yang tidak mau terlalu akrab dalam berhubungan meskipun tidak ingin terlalu “jauh”.Dalam perkembangan kompetisi ekonomi, termasuk perebutan sumber daya alam dan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi lainnya, muncul kekhawatiran bahwa rasa saling curiga dan keinginan ofensif adalah naluri yang membesar di kawasan ini. Ketegangan yang disoroti dunia antara lain konflik pengelolaan laut dan kepemilikan pulau di Laut China Selatan.

Ada juga Korea Utara yang meluncurkan uji coba nuklir, Korea Selatan yang ingin segera menghentikan “kegilaan” Korea Utara dengan mempercepat penyatuan Korea, China yang menembaki kapal nelayan Vietnam dan Indonesia, peningkatan postur angkatan laut dan militer China, dan penempatan pasukan militer AS di Darwin, Australia,untuk menjamin rasa aman negara-negara yang berharap pada lindungan AS. Robert Kaplan, guru besar ilmu hubungan internasional dari AS, mengatakan di Foreign Policy bahwa masa depan konflik dunia adalah di laut di kawasan Asia.

Ia menyoroti potensi konflik besar di Laut China Selatan yang dapat menyeret dukungan atau bentrokan antarnegara lain di luar kawasan itu. Jika tidak ditangani dengan baik, tidak mustahil perang dunia bisa dimulai dari kawasan ini. Paul Wolfowitz, mantan Duta Besar AS untuk Indonesia yang pernah menjadi orang kedua di Pentagon AS, mengatakan dalam momen ulang tahun ASEAN beberapa tahun lalu, kalau lembaga kerja sama ASEAN tidak ada, bentrokan antarnegara di kawasan ini akan lebih mengerikan dibandingkan ketegangan-ketegangan yang selama ini muncul.

Dalam studi hubungan internasional, konflik adalah hal yang diakui selalu ada dalam hubungan antarnegara.Tidak semua konflik buruk dan perlu dihindari karena ada konflik yang justru menumbuhkan perbaikan hubungan. Misalnya saja persaingan ekonomi yang disinyalir mempertinggi kemiskinan di negara yang “kalah” yang sebenarnya dapat diarahkan untuk memacu munculnya kerangka kerja sama dengan mitra dari negara lain atau malah menjadi alasan untuk membuka kerja sama ekonomi yang saling melengkapi dengan negara pesaing.

Simon Fisher et al (2000) menggambarkan konflik itu seperti layaknya pohon. Dalam konflik, ada penyebab-penyebab yang sifatnya laten dan biasanya menyangkut keinginan domestik negara-negara yang bertikai. Jadi belum tentu penyebab konflik itu dari hubungan antarnegara. Misalnya, ada negara yang pemimpinnya ingin menunjukkan sifat tegasnya karena selama ini ia dituding lemah, ada negara yang ingin mandiri dan punya jati diri baru, ada negara yang sedang mencari solusi dari pembangunan ekonominya yang tidak berimbang di dalam negeri, dan lain-lain.

Ini ibarat akar dari konflik. Penting tetapi sulit dijangkau oleh politik luar negeri, apalagi ranah ini terhitung merupakan prerogatif negara lain yang secara de jure dilarang untuk diintervensi. Kemudian, ada pokok konflik, ibaratnya batang dari pohon konflik. Inilah jantung konflik yang bisa diolah dengan cara-cara diplomatik. Misalnya, perebutan wilayah pengelolaan laut atau keinginan untuk menguasai negara lain atau menjadi penguasa yang berpengaruh di suatu kawasan.

Keinginan-keinginan ini yang perlu diarahkan agar tidak menimbulkan “cabang-cabang” konflik yang meresahkan. Misalnya, jangan sampai jantung konflik tadi menumbuhkan perlombaan (proliferasi) senjata,menantang negara lain untuk memperkuat kemampuan senjata nuklirnya, atau memicu negara lain untuk melakukan serangan pertama yang membahayakan masyarakat sipil. Pada akhirnya, tiap negara seperti layaknya tubuh manusia. Masing-masing punya mekanisme kerja yang berbeda, cara pikir dan bereproduksi yang berbeda-beda.

Ada negara yang dipicu sedikit saja dengan mudahnya memuntahkan rasa marah dalam bentuk agresi senjata. Sementara ada negara lain yang berulang kali ditekan pun lebih memilih untukbernegosiasi dan berdialog. Ada faktor ego, sejarah, bahkan kekhasan kepribadian pucuk pimpinan negara yang ikut memengaruhi respons negara dalam menghadapi perkembangan di sekelilingnya. Hanya ada suatu garis tipis antara menggunakan kekuatan senjata (force) dengan menggunakan kekuatan diplomasi.

Keduanya menggarisbawahi penggunaan power untuk berhadapan dengan “lawan”, yakni menggunakan kemampuan membuat pihak lawan menyerah dan melakukan yang kita kehendaki. Power boleh dipupuk agar negara lain segan kepada kita, memang demikian naluri dalam hubungan internasional. Kepemilikan senjata membantu agar negara lain berpikir seratus kali lipat untuk “sembarangan” pada kita.

Hanya saja, penggunaan power dalam bentuk senjata memerlukan kebijaksanaan untuk memilah tahapan-tahapan penggunaan senjata. Robert Art (2005) membedakan antara penggunaan senjata untuk defense (pertahanan, pembelaan), deterrence (penangkalan, penggentaran), compellence (memaksa agar tidak terjadi hal yang lebih buruk), dan swaggering (menyombongkan diri/kekuatan). Jika untuk defense, tujuannya adalah untuk menghalau serangan dan mengurangi kerusakan pada diri sendiri jika sampai diserang; kekuatan senjata diarahkan kepada si penyerang, bukan kepada populasi tak bersenjata.

Dalam postur defensive ini, bisa saja negara melakukan penyerangan pertama (first strike), tetapi hanya bila kemungkinan serangannya tinggi. Dalam posisi deterrence, power digunakan secara pasif untuk mengancam adanya pembalasan yang lebih kejam bila sampai negara lain berani melakukan first strike. Compellence adalah penggunaan power secara aktif melalui pengerahan senjata, “turun” ke medan laga demi menghentikan lawan atau mencegah lawan melakukan hal yang lebih buruk.

Compellence ini rumit karena kalau lawan salah paham, yang terjadi justru perang terbuka yang lebih besar dan bukannya keinginan lawan untuk menahan diri. Sementara itu swaggering biasanya dipilih oleh pemimpin negara-negara yang mengutamakan ego pribadi dan kurang berpikir panjang. Dalam konteks yang tepat, swaggering membuat negara lain kagum, tetapi dalam konteks yang salah, swaggering membuat negara lain salah paham. Dalam konteks Asia Tenggara dan Asia Timur, naluri curiga dan naluri untuk menggunakan senjata tersebut diberi rem.

ASEAN terus mempromosikan ada cara-cara lain untuk membuat negara lain “berubah”; ada wujud power yang tidak melulu soal senjata. Dalam penggunaan senjata secara terbuka, ang mengemuka adalah brute force alias penggunaan senjata secara telanjang dan kasar. Di sini yang dibidik adalah kekuatan lawan (enemy’s strength). Padahal lebih menguntungkan bila kita mengedepankan cara-cara mengelola kepentingan lawan (enemy’s interest) sehingga bukan adu senjata yang menjadi risiko terburuk dari benturan yang ada.

ASEAN menjembatani ini dengan membentuk ASEAN Political Security Community di mana anggota komunitas, termasuk juga anggota ASEAN Plus Three (China, Jepang, dan Korea Selatan) serta para penanda tangan Treaty of Amity and Cooperation (sudah lebih dari 25 negara, termasuk AS, Brasil, China, India, Australia, dan baru-baru ini Uni Eropa), berjanji untuk mengedepankan nilai dan norma bersama yang menjaga kekompakan, perdamaian, kestabilan, dan kerja sama baik di kawasan Asia.

Dengan Piagam ASEAN, ada ruang kelembagaan yang memperkuat janji-janji tersebut agar bisa lebih kokoh dan mengikat.Selain itu, ada deklarasi perilaku dan sejumlah upaya membangun kesepakatan dalam tiap pertemuan tingkat menteri maupun kepala negara untuk mengingatkan dan mencari langkah konkret yang bisa diterima semua negara demi perdamaian di kawasan ini. Praktik ini memang bukan praktik yang pernah ditemukan di kawasan lain di dunia.

Biasanya, ketidaksepakatan antarnegara berujung pada pembentukan aliansi atau kegiatan kontraintelijen yang bergerak untuk melakukan pengeroposan dari dalam. Di sinilah tantangan besar bagi ASEAN karena mitra-mitra penandatangan kerja sama keamanan dan politik di kawasan ini sebenarnya belum punya kerangka pikir konsensus yang berani mengambil risiko untuk tidak mengangkat senjata untuk menjaga kehormatan bangsanya.

Kembali pada metafora “pohon konflik” tadi, negara lain perlu diajak untuk dapat memilah konflik dan melihat risiko dari penggunaan senjata.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar