Rabu, 08 Agustus 2012

Kekaisaran Militer AS, Bagaimana Indonesia Bersikap?


Kekaisaran Militer AS,
Bagaimana Indonesia Bersikap?
Connie Rahakundini Bakrie ; Direktur Eksekutif IODAS-CASS Stratcore,
Peneliti Pertahanan dan Kekuatan Negara
SINDO, 08 Agustus 2012


Alkisah, melacak jejak penyebaran imperialisme dengan mudah dapat dihitung dari berapa banyak jumlah koloni yang diduduki. Namun, pada Abad ke-21 ini, koloni terjelma dalam berbagai gaya, salah satunya melalui pangkalan militer.

Dengan cara ini, koloni baru menyebar dan melahirkan “kekaisaran militer”. Pada perspektif dinamika politik global, bisa disimak bagaimana kekaisaran militer AS tumbuh dan berproses sejak Bush Jr menetapkannya pada 14 Januari 2004. Kebanyakan dari kita—atau bangsa AS sendiri—enggan mengakui bahwa, faktanya,AS telah mendominasi dunia melalui kekuasaan militernya.Dengan alasan kerahasiaan negara, pendudukan pasukan-pasukan AS sesungguhnya telah mengepung planet bumi ini.Bukan hanya di darat,kekaisaran militer AS juga mendominasi angkasa hingga samudra.

Mereka membangun kekuatan AL yang hebat dengan mencantumkan nama pemimpin mereka pada kapal induknya seperti: John F Kennedy, Dwight D Eisenhower, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, Harry S Truman, dan Ronald Reagan. Mereka juga membangun begitu banyak pangkalan rahasia yang difungsikan sekadar untuk memonitor apa yang dikerjakan masyarakat dunia. Chalmers Johnson’s dalam buku terakhinya The Sorrows of Empire: Militarism, Secrecy, and the End of the Republic dan Blowback: The Costs and Consequences of American Empire mencantumkan bahwa di Okinawa, ujung selatan Jepang yang menjadi koloni militer AS selama 58 tahun, terdapat 10 pangkalan korps marinir dan stasiun udara seluas 1,186 ha di pusat kota (Manhattan’s Central Park hanya 843 ha).

Selain itu, di Inggris terdapat instalasi militer dan mata-mata AS senilai USD5 miliar yang disamarkan sebagai pangkalan Royal Air Force. Kalau ada sebuah hitungan secara jujur akan berapa besaran “Kekaisaran Militer AS”, diyakini jumlahnya telah mencapai lebih dari 1.000 pangkalan di negara berbeda. Gambaran ini membawa kita pada kesadaran bahwa hanya sedikit sekali ruang yang ditinggalkan di planet bumi ini yang tidak terisi oleh kekuatan militer AS. Dan ruang kosong itu adalah kawasan kita, terus ke bawah menuju Samudra Hindia dan Antartika.

Data resmi dari US Departement of Defence (DoD) pada 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Setidaknya dibutuhkan USD113,2-591,5 miliar untuk menggeser 1 pangkalan tersebut. Pada pangkalannya di luar AS, jumlah tentara tak berseragam mencapai 253.288 personel dan 4.446 orang lainnya sebagai staf tambahan lokal sewaan. Pentagon mengklaim, pangkalannya mencakup 44.870 barak, hanggar, rumah sakit, dan lainnya sebanyak +4.844 bangunan.

Reformasi TNI 1998

Sejak Reformasi 1998, pembangunan profesionalisme militer Indonesia menemui banyak hambatan. Tekad kuat TNI untuk menjadi militer profesional sebagai alat pertahanan negara tidak serta-merta bisa diwujudkan. Karena memprofesionalkan militer bagaimanapun menimbulkan konsekuensi yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Utamanya, militer membutuhkan dukungan sipil atas persoalan alokasi “anggaran panjang dan terikat”. Sehingga kabinet bisa saja silih berganti, tetapi road map pertahanan tetap jalan.

Bila kita realistis, ketidaksepakatan di kalangan pemimpin sipil mengenai beberapa konsep kebijakan pertahanan negara menjadi sebab dari inkonsistensi dan terhambatnya regulasi yang diperlukan. Bertambah kompleks ketika munculnya wacana bahwa demokrasi dan militer adalah dua hal yang tak dapat disatukan. Virus berpikir seperti ini secara sistematis disebarkan dan membuat sipil semakin tidak memahami fungsi militernya sendiri.Seakan militer tidak dibutuhkan lagi dalam negara berdemokrasi. Padahal, demokrasi yang mengakomodasi perbedaan akan melahirkan banyak kepentingan yang perlu dikelola dengan tepat dan membutuhkan “pengawal”.

Karenanya, peran militer dalam menjaga demokrasi sangatlah penting. Terlihat nyata, AS sebagai negara yang paling berdemokrasi di muka bumi memiliki sekaligus militer yang paling kuat di dunia. Militer mereka hadir sebagai komponen inti menjaga kedaulatan dan memelihara keberlangsungan kepentingan nasional AS dan karenanya tumbuh berkembang menjadi koloni di berbagai belahan bumi.

Mengapa Bisa Terjadi?

Patut dipahami, untuk memenangkan kepentingan nasionalnya, baik melalui Senat atau diwujudkan dalam politik luar negerinya, AS gemar mendakwa militer dan pemimpin negara lain sebagai pelanggar HAM atau pelaku tirani kepemimpinan. Itulah mengapa Presiden Soeharto, Khadafi, Mubarak, serta pemimpin lain mulai dari Yaman sampai ke Iran dengan mudah dikualifikasikan AS sebagai tiran. Ironisnya, baik PPB ataupun negara lainnya “kelu” untuk menyebut— apalagi menggiring opini—bahwa Bush—atau sekarang Obama—serta personel militer AS sebagai tiran atau pelanggar HAM. Kenapa?

Ini dikarenakan instalasi pangkalan militernya membawa keuntungan tak terkirakan untuk kemajuan ekonomi AS. Mulai dari pembuatan senjata, pakaian seragam, stok makanan, fasilitas pendidikan hingga liburan. Keseluruhan dari sektor ekonomi AS sebenarnya mengandalkan militer untuk target penjualannya. Para tentara AS dilayani sedemikian rupa oleh negaranya. Bahkan sepertiga dari dana ekstra USD30 miliar yang dianggarkan untuk perang Irak habis untuk servis layanan bagi kenyamanan tentara AS.

Bisa dibayangkan betapa jauhnya dengan cara kita memperlakukan personel militer yang untuk bertugas pun kadang harus berutang obat nyamuk di warung setempat, terdampar di pulau terluar menjaga perbatasan dengan segala fasilitas basic yang sangat terbatas dan minim dan harus siap sedia dituduh selalu sebagai pelanggar HAM. Perkembangan terkini kekaisaran militer ini dapat disimak dari pernyataan Panetta yang menyatakan bahwa 60% kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.

Reposisi pangkalan ini ada di bawah kendali Andy Hoehn, Wakil Menhan AS bidang strategi yang mengatur tahapan implementasi akan apa yang disebut sebagai strategi perang pencegahan terhadap “persatuan negara merah dan manusia jahat”. Negara-negara yang diidentifikasikan sebagai “busur ketidakstabilan” ini tersebar dari mulai Andes di Kolombia terus ke Afrika Utara dan menyapu negeri-negeri seberang Timur Tengah, hingga Filipina dan Indonesia.

Dalam rangka menempatkan pasukan AS di ‘’busur ketidakstabilan” ini, Pentagon mengusulkan apa yang disebut “repositioning” pangkalan militer sebagai string of bases. Tersebar dari Teluk Persia, melebar hingga ke daerah autokrasi seperti Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab. Di Eropa: Rumania, Polandia, dan Bulgaria, sementara di Asia adalah Pakistan, India, Australia, Singapura, Malaysia, Filipina, bahkan Vietnam, lalu di Afrika Utara tersebar dari Maroko,Tunisia hingga Aljazair.

Jelaslah, perang terhadap terorisme adalah sebagian kecil dari alasan untuk semua strategisasi militer AS di berbagai belahan dunia. Alasan sebenarnya adalah untuk membangun cincin baru dari pangkalan AS hingga sepanjang khatulistiwa guna memperluas kekaisaran militernya dalam mendominasi dunia.

Tak Banyak Waktu

Arah kebijakan pertahanan negara Indonesia saat ini telah berubah dari threat based planing ke capabilities based planning. Itu sudah ditetapkan. Akan tetapi, apakah kita sudah sepakat untuk menyadari dan memahami persepsi ancaman yang sebenarnya sedang dihadapi dalam waktu 8 tahun mendatang, yakni dampak tersebarnya 60% kekuatan militer AS ke kawasan? Persis sama seperti saat Irak akan digempur melalui persiapan Operation of Enduring Freedom, sesungguhnya hari ini Indonesia sudah terkurung oleh pangkalan AS sejak titik di Diego Garcia, ChristmasIsland, CocoIsland,Darwin, Guam, Filipina, Thailand, terus hingga ke Malaysia, Singapura, Vietnam sampai kepulauan Andaman dan Nicobar.

Jelaslah, tidak tersedia waktu banyak bagi elite untuk segera mereposisi arah kebijakan luar negeri dan pertahanan Indonesia yang lebih tegas dan strategis. Itu artinya, kita juga harus memiliki komitmen memperkuat TNI sebagai aktor pertahanan. Kebijakan luar negeri Indonesia harus di reshaping mengikuti kebijakan pertahanannya dalam cita-cita kita membangun keseimbangan regional.

Semakin cepat terjawab, semakin baik. Jelaslah “kekaisaran TNI” yang kita cintai harus dibangun sebagai postur militer yang kuat, berwibawa, dan mumpuni. Karena pepatah mengatakan, ubi nihil timetur, quod timeatur nascitur. Ketika tidak ada lagi yang kita takuti, maka sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar