Kamis, 09 Agustus 2012

Menata Kontrak Tambang

Menata Kontrak Tambang
Dewi Aryani ; Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan,
Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik UI
REPUBLIKA, 09 Agustus 2012

Renegosiasi kontrak karya terhadap perusahaan tambang wajib dilaksanakan sesuai amanat UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009. UU ini mengamanatkan bahwa seluruh kontrak karya pertambangan harus disesuaikan dengan isi dari UU tersebut, paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Renegosiasi juga berlaku kepada PT Freeport yang merupakan salah satu perusahaan tambang asing terbesar di Indonesia.

Saat ini, Pemerintah Indonesia mengajukan enam butir renegosiasi, yakni terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri. Dari keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya hanya sebesar satu persen setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi negara.

Tidak hanya Freeport, beberapa perusahaan secara prinsip belum menyetujui perihal pembatasan luas wilayah eksplorasi. Pembatasan luas wilayah eksplorasi menjadi maksimal 100 ribu hektare dan 50 ribu hektare, masing-masing untuk perusahaan kontrak karya dan PKP2B. Dan, area untuk operasi produksi dibatasi maksimal 25 ribu hektare dan 15 ribu hektare untuk perusahaan kontrak karya dan PKP2B tidak disetujui oleh beberapa perusahaan.

Setengah Hati

Meskipun begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, renegosiasi dengan Freeport menunjukkan perkembangan positif.
Freeport telah bersedia melaksanakan enam poin renegosiasi yang diajukan pemerintah. Namun, kesalahan dalam sistem royalti dan ketidaksetujuan Freeport untuk merenegosiasi butir-butir lain sebenarnya telah memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia rapuh dan lemah dalam posisi tawar-menawar.

Pemerintah seakan tidak memiliki niat yang kuat dan ketegasan dalam mem perbaiki kondisi pertambangan In do nesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Akibatnya, penjarahan sumber daya Indonesia yang dilegalkan oleh pemerintah semakin marak dan masyarakat Indonesia semakin ter jerembap dalam jurang kemiskinan di negerinya sendiri.

Langkah renegosiasi yang dilakukan pemerintah dengan Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor energi di Indonesia. Sektor energi di Indonesia sampai saat ini masih dirundung oleh ketidakjelasan orientasi pengelolaan. Pemerintah terkesan setengah-setengah menanam ke se riusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang seharusnya diprioritaskan.

Sikap pemerintah yang selama ini mengesampingkan kebijakan energi diban dingkan dengan kebijakan lainnya menuai hasil berupa kelangkaan energi yang disebabkan oleh salah tata kelola energi. Tidak hanya persoalan kelangkaan energi, pemerintah juga tidak mampu menjalankan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (2), yang menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan sumber daya alam, salah satunya tambang emas yang saat ini dikelola Freeport.

Langkah konkret yang dapat dilakukan pemerintah untuk mereposisi sektor energi menjadi lebih prioritas dan utama adalah dengan menciptakan kebijakan-kebijakan energi secara serius. Keseriusan pemerintah ini tidak cukup jika hanya ditunjukkan dengan banyaknya kebijakan tentang energi, namun juga harus diiringi dengan kua litas dan implementasi kebijakan yang sepadan.

Kebijakan yang diciptakan pemerintah harus mampu menjawab inti dari permasalahan energi yang ada saat ini. Pemerintah harus mampu memetakan akar permasalahan energi yang sebenarnya menjadi penyebab karut-marutnya pengelolaan energi Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harus memperjelas aturan main bagi para investor tambang dalam suatu kebijakan pemerintah yang kuat sehingga pada kemudian hari, Indonesia tidak lagi terombang-ambing di negeri sendiri oleh para investor asing.

Karena itu, kebijakan energi yang nantinya ada untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada harus menjadi inti dari berbagai kebijakan sektor lain dengan menempatkan energi sebagai driven policy pembuatan kebijakan pemerintah. Konsep energy driven policy adalah konsep yang menempatkan keberadaan sektor energi sebagai rujukan atau pertimbangan utama dalam menciptakan kebijakan sektor lainnya.

Konsep ini mengintegrasikan kebijakan sektor ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, otonomi, perumahan, pertahan an, keamanan, serta sektor-sektor kehidupan lainnya dalam suatu koridor pembuatan kebijakan yang tujuannya adalah meminimalisasi tumpang tindih dan pertentangan kebijakan. Dengan konsep ini, seluruh kebijakan yang ada akan terintegrasi dengan orientasi yang lebih jelas dan terukur.

Jika sejak awal telah disadari bahwa energi menjadi kunci bagi aktivitas pem bangunan dan menerapkan konsep energi driven policy ini dalam membuat kebijakan-kebijakan yang ada maka pe merintah akan sangat hati-hati dan serius dalam melakukan negosiasi berbagai kontrak tambang. Bukan hanya dengan Freeport, melainkan juga dengan investor asing yang memiliki izin usaha eksploitasi sumber daya alam, khususnya energi, di Indonesia. Hal ini karena kasus serupa berpotensi terjadi pada kontrak karya tambang yang lainnya.

Pada akhirnya, jika pemerintah mengaku serius untuk menangani berbagai permasalahan energi Indonesia maka langkah konkret yang dapat pemerintah tempuh adalah dengan sesegera mungkin mengubah kebijakan-kebijakan energi Indonesia yang saat ini tidak lagi relevan. Selanjutnya, pemerintah mengintegrasikan berbagai kebijakan melalui konsep energy driven policy. Jika kedua hal tersebut tidak dilakukan sesegera mungkin ma ka cita-cita pemerintah mereposisi sektor energi hanya akan menjadi angan-angan. Arogansi asing membuat pemerintah tidak berdaya, rakyat jua yang menanggung derita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar