Selasa, 07 Agustus 2012

KPK vs Polri : Kembali ke Akal Sehat

KPK vs Polri : Kembali ke Akal Sehat
Samsul Wahidin ; Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unmer Malang 
JAWA POS, 07 Agustus 2012


PERSENGKETAAN antara Polri versus KPK, tampaknya, masih akan panjang, bahkan semakin runyam. Permasalahan hukum yang bisa dibutiri juga makin meluas. Tidak saja berupa komentar dari elemen masyarakat yang secara luas memberikan tanggapan. Bahkan sudah melibatkan pihak luar, yang mengajukan gugatan uji materi ke MK tentang kewenangan KPK. Pasal yang diuji adalah ketentuan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Serikat Pengacara Rakyat (SPR) Senin kemarin mengajukan uji materi terhadap ketentuan pasal 50 ayat (3) UU tersebut. Isinya bahwa dalam hal Komisi Pemerantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. 

Ketentuan itu yang dinilai bertentangan dengan konstitusi tentang kewenangan lembaga negara. Untuk itu diminta agar ketentuan tersebut dihapus. Konsekuensinya yang mempunyai kewenangan sepenuhnya adalah KPK. Hal ini juga akan memberikan kewenangan yang lebih lengkap kepada KPK untuk menangani perkara korupsi.

Menurut ketentuan, putusan MK itu tidak berlaku surut. Artinya, tidak berlaku pada kasus yang sekarang sedang sangat ramai itu. Sehingga solusi untuk menjadi acuan siapa yang paling berwenang atas kasus simulasi SIM itu tetap masih harus ditemukan. Apakah pertemuan kedua lembaga yang disepakati pelaksanaannya pekan ini akan menghasilkan solisi yang bisa diterima dua pihak? Tanpa berspekulasi, tampaknya itu sulit diwujudkan. 

Untuk kasus ini, yang paling berwenang menjadi juru penengah adalah presiden. Pertanyaan yang mengandung keraguan dari para pihak adalah apakah presiden punya kewenangan untuk itu? Beberapa klarifikasi berikut kiranya dapat dijadikan sebagai acuan untuk menenepis keraguan tentang berwenang atau tidaknya presiden menyelesaikan persengketaan antara dua lembaga penegak hukum tersebut.

Pertama, terjemahan dari ketentuan normatif dalam hal dilarangnya campur tangan presiden itu adalah dalam operasionalisasi lembaga yudikatif. Dalam tataran teori, bentuk kewenangan yang boleh disebut campur tangan itu harus ditentukan dalam UUD. Misalnya adalah dalam hal pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Itu semua merupakan pengecualian campur tangan presiden dalam proses peradilan. Namun, harus ditekankan bahwa itu semuanya adalah setelah perkara itu melalui dan berada di proses pengadilan dalam sistem peradilan (due process).

Secara substantif, pelaksanaan kewenangan itu juga tidak boleh sewenang-wenang. Pemberian grasi pada kasus Corby dalah contoh. Presiden dinilai terlalu obral sehingga menuai gugatan. Dalam administrasi, pemberian obral grasi itu merupakan pelaksanaan kewenangan yang sewenang-wenang. 

Dalam hal penanganan kasus ini, masih dalam proses penegakan hukum dan belum masuk ranah pengadilan. Interpretasi terhadap dasar hukum yang menjadi kewenangan masing-masing bisa bersifat multi. Untuk itu, presiden seharusnya tidak ragu dan cepat mengambil peran untuk menyelesaikannya. Dalam bahasa hukum, meskipun sudah ada bukti kuat, tetapi masih diduga. Seseorang yang diduga itu masih dalam proses tersangka, belum terdakwa. Itu masih proses di ranah eksekutif. Presiden punya kewenangan untuk meluruskan ketika terjadi hal yang tidak lurus di sini.

Dalam pembagian kekuasaan (distribution of power) jelas bahwa KPK dan Polri adalah organ eksekutif, setidaknya bukan sebagai organ yudikatif apalagi organ legislatif yang bisa menentukan sebuah dugaan tindak pidana benar atau salah. Jadi, jika dalam proses demikian, presiden tetap sah-sah saja untuk menjadi penengah,. Bahkan memutuskan siapa yang benar dalam arti punya kewenangan melakukan penanganan terhadap persengketaan itu merupakan keharusan. Tidak ada lembaga berwenang di atas Polri dan KPK, selain presiden.

Jalur hukum itu akan memutus interpretasi normatif yang niscaya tidak akan tercapai titik temu jika diurai. Masing-masing pihak akan berpegang pada kewenangan yang didasarkan pada interpretasi yang menguntungkan. Polri akan tetap bersikukuh bahwa dirinya paling berwenang, demikian sebaliknya. Ini tidak produktif dan tidak akan ada habisnya. Jika dibawa ke pengadilan, sekali lagi hanya berlaku untuk kasus yang akan datang dan tidak berlaku untuk kasus ini.

Kewenangan presiden untuk segera menjadi wasit kasus ini didasarkan pada pertimbangan akal sehat. Misalnya, bahwa sebuah indikasi penyimpangan (apalagi yang besar dan memperoleh perhatian publik) tidak akan obyektif jika itu ditangani secara internal. Dipastika akan penuh dengan upaya yang arahnya adalah untuk menutupi, paling tidak meringankan atau membuat kabur. Hal ini juga akan sama dengan jeruk minum jeruk. Ini bukan prejudice. Tetapi dari banyak kasus, selalu begitu.

Akal sehat berikutnya adalah pada terjemahan yang tidak interpretatif bahwa korupsi dengan nilai begitu besar, sudah selayaknya diurus KPK di institusi mana pun. Oknum kejaksaan yang korupsi pun dengan sukarela dibiarkan oleh institusinya ditangani KPK. Lembaga ini yang memang dispesialisasikan menangani korupsi tentu sangat pas untuk itu.

Akal sehat berikutnya adalah pada dimensi penegakan hukum yang didasarkan pada kredibilitas kelembagaan. KPK selama ini sudah teruji sebagai lembaga yang memang sangat kredibel. Tidak da pemelintiran dan pembelokan kasus sehingga tidak ada yang lepas dari hukuman ketika seorang tersangka disidangkan setelah melalui penyidikan KPK.

Untuk itu, harusnya presiden minta agar Polri legawa melepas kasus ini dan Polri tidak perlu merasa turun kredibilitasnya ketika hal itu disampaikan presiden. Polri tetap sebagai lembaga tepercaya dan kredibel sesuai dengan kewenangannya. Termasuk jika pada satu waktu ada indikasi korupsi atau tindak pidana lain yang terjadi di KPK, dipastikan Polri punya kewenangan untuk melakukan pengusutan. Kiranya, hal ini lebih adil dan beradab.

Kasus ini berbeda dengan cicak buaya tahun 2009. Waktu itu Presiden SBY juga sempat menyampaikan klarifikasi tentang persengketaan antara KPK v Polri. Kata presiden saat itu bahwa masalah itu menyangkut perkara biasa. Hanya kebetulan subjeknya seorang petinggi lembaga penegak hukum (KPK). Masih banyak petinggi lain yang juga tersandung masalah hukum dan semuanya hendaknya dikembalikan ke koridor hukum.

Dari mencuatnya kasus ini, yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan adalah urgensinya mempertegas lembaga yang secara permanen menjadi semacam wasit. Lembaga ini dibutuhkan untuk menjadi penengah ketika terjadi silang sengketa antarlembaga teknis yang sedang menghadapi permasalahan. Untuk organ eksekutif, jelas, yaitu presiden.

Untuk kasus ini, harusnya antara KPK dan Polri tidak semestinya saling curiga. Apalagi ditindaklanjuti saling tarik ke ranah hukum. Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah dan menjadi pembelajaran hukum yang tidak baik bagi masyarakat. Harusnya kedua institusi itu tetap saling dukung dan bersinergi sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam memberantas koruptor yang sekarang menikmati tontonan persengketaan dua lembaga itu.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar