Jumat, 24 Agustus 2012

Isu SARA dan Politik


Isu SARA dan Politik
Firman Noor ;  PhD dari University of Exeter, Inggris;
 Bekerja pada Pusat Penelitian Politik, LIPI dan Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SINDO, 24 Agustus 2012


Akhir-akhir ini jagat politik nasional diguncang kembali dengan persoalan isu SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) dalam politik.

Hal itu terutama terkait dengan Pilkada DKI, yang konon merupakan barometer politik nasional. Menjelang putaran kedua di beberapa kesempatan para pendukung para kandidat kerap menggunakan isu SARA untuk melakukan upaya pembunuhan karakter sebagai salah satu strategi pemenangan. Hal ini sebenarnya paradoks, mengingat wilayah seperti DKI yang kerap disebut melting pot atau sebagian mungkin lebih suka menyebutnya sebagai salad bowl tempat bernaungnya beragam gugus primordial, dengan tingkat pendidikan yang cukup baik dibandingkan daerah lainnya, seharusnya bebas dari soal isu SARA.

Namun, isu SARA memang tidak dapat dengan mudah dipisahkan dalam dunia politik. Sebagai sebuah konten dalam komunikasi politik dan bahan untuk melakukan “pendekatan” atau “penyerangan”, isu SARA kerap diselipkan. Meski setiap kandidat di permukaan akan berupaya terlihat menentangnya, dalam pratiknya pengedepanan isu ini kerap tetap dilakukan, baik dengan atau tanpa sepengetahuannya. Situasi ini nampak seperti fenomena junk food, yang kerap dikritik namun dalam praktiknya tetap menjadi makanan yang digandrungi di berbagai belahan dunia.

Isu SARA hingga kini tetap menjadi komoditas politik bahkan di negara-negara yang konon adalah guru demokrasi seperti Amerika Serikat ataupun Prancis. Berkaca pada Pemilu 2008, seorang Obama kerap dicecar oleh lawan-lawan politiknya karena latar belakang primordial, yang diperparah dengan nama tengahnya “Hussein”.

Sementara di Prancis, adanya kekhawatiran berlebihan akan potensi kekuatan kaum imigran yang berpotensi meracuni keadiluhungan budaya dan jatidiri asli Prancis menyebabkan sebagian politisi menjadikan isu makanan halal, menara masjid, hingga masalah higienisitas pendatang Afrika, sebagai komoditas politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Front National pimpinan klan Le Pen.

Dalam konteks Indonesia, datangnya angin demokrasi tidak serta-merta menghapuskan sentimen SARA itu. Kajian Baladas Ghosal (2004) menunjukkan bahwa berlangsungnya demokratisasi justru seperti membuka kotak pandora di mana persoalan menguatnya sentimen primordialisme— yang dulu coba ditutup rapat dengan cara-cara opresif oleh rezim otoriter—terbuka kembali dan menimbulkan efek negatifnya. Pilkada belakangan menjadi salah satu bukti efek suram dari demokratisasi terkait dengan terangkatnya isu SARA.

Pada level akar rumput, sebagaimana yang diisyaratkan Feith (1957), para juru kampanye sayangnya tak jarang membahasakan isu yang berbau SARA dengan demikian mencolok dan cenderung dekat dengan fitnah ketimbang realitas, demi menarik perhatian khalayak. Dalam konteks Pilkada DKI, isu yang terkait dengan SARA sebenarnya telah berlangsung pada putaran pertama.

Penggunaan sentimen rasa keetnisan, penggunaan organisasi dan kelompok-kelompok etnis, pemanfaatan figur-figur terhormat yang mewakili etnis tertentu dan serangan atas praktik itu sekaligus juga tuduhan anti dalam menjalankan sebuah praktik keagamaan yang dianggap umum dan harus, telah mewarnai kontes pilgub kali ini. Pada hari H pemilihan isu SARA jelas terus bekerja dan menunjukkan pengaruhnya.

Kemenangan yang menyentuh kisaran 47% di wilayah Jakarta Barat dan Utara bagi pasangan Jokowi dan Ahok pada putaran pertama dapat diartikan banyak, namun peran demografi politik di mana etnis China merupakan sumber suara yang signifikan di daerah itu jelas tidak dapat diabaikan. Beberapa kalangan yang lama tinggal di beberapa wilayah Jakarta Barat, misalnya, mengaku saat ini dirinya menjadi minoritas di hadapan mereka yang beretnis China hampir.

Dan itu bukan merupakan hal yang aneh, masuklah misalnya ke wilayah Grogol atau Jelambar, untuk menyebutkan contoh daerah di wilayah Jakarta Barat, akan anda dapati sebuah RT atau RW yang didominasi oleh etnis China. Dalam situasi sedemikian, apakah ada jaminan bahwa isu SARA untuk memenangkan kandidat dengan latar belakang primordial yang sama benar-benar bersih di wilayah seperti itu?

Bagi Amartya Sen, dalam bukunya Identity and Violence: the Illusion of Destiny (2006), situasi sedemikian adalah sebuah kewajaran. Hal ini karena perasaan keetnisan merupakan identitas yang secara internal menyebabkan para pemilik dan penganutnya merasa at home. Identitas ini juga dengan sendirinya membawa perasaan senasib-sepenanggungan yang menguatkan rasa ke-kami-an.

Dalam dunia politik, identitas sedemikian memupuk solidaritas yang membimbing pilihan seseorang pada hari pemilihan. Namun di sisi lain, bak pedang bermata dua, isu etnisitas dalam konteks keluar kerap dapat meruncingkan perbedaan dan mengarah pada persaingan kekanak-kanakan, bahkan kekerasan. Potensi macam inilah yang harusnya sejak dini direspons secara tepat oleh semua pihak. Pada situasi di mana persoalan SARA tidak dapat dielakkan, persoalan yang terpenting adalah bagaimana menunggangi SARA itu hingga dapat dikendalikan.

Isu SARA dapat diterima dan sah sejauh untuk memotivasi seseorang dalam memantapkan pilihan rasionalnya dan bukan ditujukan untuk memperlebar perbedaan apalagi untuk menyerang kelompok lain. Isu SARA juga hendaknya tidak dibumbui oleh kebohongan dan manipulasi serta sikap pukul rata. Lebih dari itu, isu SARA seharusnya dapat pula menjadi salah satu bimbingan bagi para setiap kandidat calon pimpinan agar lebih sensitif dan peduli bahwa kehadirannya harus melayani, menjadi pelindung dan pemersatu semua warganya.

Di sisi lain, penekanan isu SARA yang tidak pada tempatnya, vulgar, dan menyinggung mengindikasikan bahwa pelakunya tengah dihadapi sebuah kekhawatiran yang berlebihan dan memperlihatkan ketidakpercayaan diri akan program-program kerja yang dimilikinya. Pengedepanan isu SARA yang tidak pada tempatnya juga membuktikan bahwa pelaku masih memandang rendah akal sehat dan kalkulasi politik masyarakat banyak. Tidak itu saja, pelaku secara tidak langsung juga tengah memelihara konten komunikasi politik usang yang harusnya mulai makin ditinggalkan.

1 komentar:

  1. Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
    pinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
    bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
    saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
    menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
    yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
    belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
    smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
    keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
    harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
    pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
    telah diselesaikan, sekarang saya memiliki nilai yang sangat besar dan
    usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
    diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
    hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
    francasmithloancompany@gmail.com)

    BalasHapus