Mempermalukan
Koruptor
Sunaryono Basuki Ks ; Sastrawan
|
KOMPAS,
24 Agustus 2012
Dalam hal menangani koruptor masa kini,
mungkin kita masih perlu mendengar nasihat Bung Karno yang berbunyi: ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”
Koruptor adalah maling. Akan tetapi, tidak
sama dengan maling ayam atau seseorang yang mengambil beberapa buah untuk
dimakan sendiri, termasuk mengambil buah cokelat yang tidak bisa langsung
dikonsumsi.
Sanksi Moral
Belajar dari sejarah yang saya maksudkan
adalah melihat di dalam sejarah kita sendiri tentang peristiwa ”mencuri”. Kita
mengenal di masa lampau, di bawah pemerintahan ratu yang sangat adil, rakyat
tak berani memungut sesuatu barang atau uang yang tercecer di jalan. Sebab,
hukumannya adalah potong tangan.
Adapun yang ingin saya ceritakan kembali
adalah sanksi moral yang dirasa cukup berat bagi orang Bali di abad lalu. Tak
begitu jauh ke belakang, belum lagi 90 tahun lewat, lebih baru dibandingkan
yang terjadi di kerajaan di Jawa yang membuat rakyatnya super-jujur.
Namun, untuk dapat meniru hal ini, ada syarat
yang harus dipenuhi, yakni rasa malu.
Orang Inggris bilang: Man is an animal that blushes, manusia
adalah binatang yang bisa merah muka. Binatang tidak bisa merah muka. Kucing
sehabis mencuri juga tidak merah muka, bahkan setelah dipukul malahan
melingkarkan tubuhnya seolah tak bersalah.
Ungkapan ”malu-malu
kucing” mungkin benar-benar dibuat setelah mengamati perilaku kucing.
Mungkin! Yang jelas, kucing tak tahu malu. Walau dia kita pelihara, menerima
jatah makan tetap, masih saja suka mencuri, dan setelah mencuri diam-diam tidur
dengan gaya tak bersalah.
Miguel Covarrubias di dalam bukunya yang
terkenal, Island of Bali (terjemahan
bahasa Indonesia oleh Sunaryono Basuki Ks, akan segera terbit), menceritakan
pengalamannya selama berkunjung ke Bali tahun 1930-an.
Pada suatu hari dia melewati Desa Silekarang,
bertemu dengan sebuah arak-arakan yang aneh. Seorang lelaki tua dengan memikul
dua ikat padi yang dihiasi bebungaan dan dedaunan diarak oleh sekitar 50
lelaki. Tubuhnya dilumuri cat putih, demikian pula wajahnya. Mereka, para
pengarak tersebut, memberi tahu khalayak bahwa lelaki itu telah mencuri seikat
padi.
Di akhir arak-arakan seseorang menemuinya dan
memberinya sirih untuk dikunyah. Waktu itu memang banyak orang Bali yang
mengunyah sirih dan buah pinang sampai seolah-olah mulutnya mengeluarkan darah
merah. Kalau sekarang, mungkin orang akan memberinya air mineral untuk melepas
dahaganya.
Dalam hal ini sanksi moral membawa beban yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan hukuman badan. Konon, ada orang yang
bersalah minta agar dihukum sesuai dengan hukum Pemerintah Belanda, yakni
dimasukkan ke dalam penjara. Dia merasa lebih nyaman berada di penjara, dapat
makan gratis dan tidak seorang pun yang tahu bahwa dia dihukum.
Di Desa Ubud terjadi tontonan yang lebih
”mengerikan”: seorang lelaki diarak berkeliling desa dengan dikalungi sepasang
sepatu bekas yang dicurinya.
Koruptor Kita
Terhadap koruptor kita, banyak yang
menyarankan agar mereka dimiskinkan agar tahu rasanya menjadi si miskin. Namun,
kita juga akan berhadapan dengan hukum yang berlaku. Memilah-milah harta hasil
korupsi dan hasil yang ”halal” pastilah dituntut, dan hanya hasil korupsi yang
dapat disita oleh negara. Menghadapi soal ini, para koruptor mampu menyewa para
ahli hukum untuk membela mereka agar hukuman atau sanksi apa pun yang akan
mereka terima bisa sekecil atau seringan mungkin atau bahkan tidak ada sama
sekali.
Mempermalukan koruptor seperti mempermalukan
maling di Bali abad lalu? Mungkinkah? Sampai sejauh ini, usul yang masuk baru
agar tersangka korupsi mengenakan seragam khusus yang didesain untuk koruptor.
Kalau sampai ada arak-arakan seperti yang
disaksikan Covarrubias di Bali dilaksanakan pada hari Ahad di Jalan MH Thamrin,
Jakarta, entah upaya apa yang akan ditempuh para koruptor yang sudah divonis
bersalah untuk membela harga dirinya. Entah undang-undang apa yang bisa
digunakan untuk melindungi dirinya. Sebab, belum sampai divonis saja wajah
sudah disembunyikan di balik kerudung. Yah, silakan dipertimbangkan, tetapi
bila tak punya rasa malu, arak-arakan jenis apa pun akan sia-sia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar