Senin, 06 Agustus 2012

Dukungan Koalisi yang Masih Ampuh

Dukungan Koalisi yang Masih Ampuh
Dwi Erianto ; Litbang Kompas
KOMPAS, 30 Jul2012


Kemenangan pasangan Joko Widodo-Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI Jakarta banyak disebut sebagai hasil dari daya tarik figur. Faktor partai politik banyak disebut semakin ”hilang” dari pertimbangan publik saat memilih pada Pilkada DKI Jakarta. 

Namun, kasus pilkada DKI Jakarta boleh jadi hanya anomali dari pola umum yang terjadi.
Hasil pilkada tiga tahun terakhir menunjukkan, partai politik masih berperan penting. Dalam kurun waktu itu, tercatat sedikitnya dilangsungkan 271 pilkada dengan mayoritas kemenangan adalah yang didukung partai-partai berkoalisi. Hanya 45 pilkada (16,6 persen) yang dimenangkan kandidat yang diusung parpol tunggal. Sementara yang menang dari jalur nonparpol (independen) tercatat hanya di tiga pilkada: Kabupaten Rejang Lebong; Lampung Timur, dan Bone Bolango.

Dari ratusan koalisi parpol itu ada pola koalisi yang tampak. Paling tidak muncul koalisi karena kesamaan ideologi dan koalisi bernuansa pragmatis. Ambil contoh Pilkada DKI pada 11 Juli 2012 yang tampak ada kecenderungan koalisi ideologis antara PDI-P dan Gerindra. Sementara di Pilkada Tasikmalaya pada 9 Juli tampak pengelompokan partai berbasis massa Islam (PPP, PBR, PKS, PKB, PBB) yang berkoalisi dengan Demokrat.

Betapapun koalisi yang cenderung pragmatis jauh lebih besar. Kebanyakan kerja sama partai dilakukan dengan asas sama, yakni sejauh bisa memenangkan kontestasi pilkada tanpa melihat kesamaan ideologis, platform, apalagi program. Sebagai contoh, koalisi di Pilkada Cilacap, Jawa Tengah. Partai Demokrat yang sebelumnya bersepakat dengan Partai Golkar mengusung petahana Tatto Suwarto Pamuji, akhirnya berkoalisi dengan PDI-P karena tidak sepakat soal calon wakil bupatinya.

Koalisi parpol memang dibutuhkan sebagai perahu bagi calon kepala daerah dalam menjaring konstituen parpol. Sementara parpol banyak dicurigai mendapat ”uang perahu” dari kandidat yang diusungnya. Meski sulit dibuktikan, politik uang dalam pilkada ditengarai sudah ada sejak proses penentuan calon kepala daerah yang diusung parpol melalui pendekatan dan pembayaran ”mahar politik”.

Tak maksimalnya peran parpol atau koalisi parpol sebagai penentu kemenangan calon kepala daerah salah satunya disebabkan basis ideologi parpol di akar rumput belum terbangun. Hal itu seperti terlihat dari hasil Pilkada DKI Jakarta, pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono yang diusung Golkar dan koalisinya hanya meraih 4,67 persen. Padahal, parpol pengusungnya meraih 19,4 persen suara pada Pemilu 2009.

Figur dan Tokoh

Dengan semakin meningkatnya daya tawar dan pengetahuan pemilih terhadap kandidat pilkada, aspek figur dan ketokohan memang tampak semakin dominan. Namun di sisi lain, daya tarik partai dengan ”jualan” ideologi dan sosok kepartaian tampaknya juga belum bisa dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dalam menarik pemilih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar