Dukungan
Koalisi yang Masih Ampuh
Dwi Erianto ; Litbang Kompas
KOMPAS,
30 Jul2012
Kemenangan pasangan Joko
Widodo-Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI Jakarta banyak disebut sebagai
hasil dari daya tarik figur. Faktor partai politik banyak disebut semakin
”hilang” dari pertimbangan publik saat memilih pada Pilkada DKI Jakarta.
Namun,
kasus pilkada DKI Jakarta boleh jadi hanya anomali dari pola umum yang terjadi.
Hasil pilkada tiga tahun
terakhir menunjukkan, partai politik masih berperan penting. Dalam kurun waktu
itu, tercatat sedikitnya dilangsungkan 271 pilkada dengan mayoritas kemenangan
adalah yang didukung partai-partai berkoalisi. Hanya 45 pilkada (16,6 persen)
yang dimenangkan kandidat yang diusung parpol tunggal. Sementara yang menang
dari jalur nonparpol (independen) tercatat hanya di tiga pilkada: Kabupaten
Rejang Lebong; Lampung Timur, dan Bone Bolango.
Dari ratusan koalisi parpol
itu ada pola koalisi yang tampak. Paling tidak muncul koalisi karena kesamaan
ideologi dan koalisi bernuansa pragmatis. Ambil contoh Pilkada DKI pada 11 Juli
2012 yang tampak ada kecenderungan koalisi ideologis antara PDI-P dan Gerindra.
Sementara di Pilkada Tasikmalaya pada 9 Juli tampak pengelompokan partai
berbasis massa Islam (PPP, PBR, PKS, PKB, PBB) yang berkoalisi dengan Demokrat.
Betapapun koalisi yang
cenderung pragmatis jauh lebih besar. Kebanyakan kerja sama partai dilakukan
dengan asas sama, yakni sejauh bisa memenangkan kontestasi pilkada tanpa
melihat kesamaan ideologis, platform, apalagi program. Sebagai contoh, koalisi
di Pilkada Cilacap, Jawa Tengah. Partai Demokrat yang sebelumnya bersepakat
dengan Partai Golkar mengusung petahana Tatto Suwarto Pamuji, akhirnya
berkoalisi dengan PDI-P karena tidak sepakat soal calon wakil bupatinya.
Koalisi parpol memang
dibutuhkan sebagai perahu bagi calon kepala daerah dalam menjaring konstituen
parpol. Sementara parpol banyak dicurigai mendapat ”uang perahu” dari kandidat
yang diusungnya. Meski sulit dibuktikan, politik uang dalam pilkada ditengarai
sudah ada sejak proses penentuan calon kepala daerah yang diusung parpol
melalui pendekatan dan pembayaran ”mahar politik”.
Tak maksimalnya peran parpol
atau koalisi parpol sebagai penentu kemenangan calon kepala daerah salah
satunya disebabkan basis ideologi parpol di akar rumput belum terbangun. Hal
itu seperti terlihat dari hasil Pilkada DKI Jakarta, pasangan Alex Noerdin-Nono
Sampono yang diusung Golkar dan koalisinya hanya meraih 4,67 persen. Padahal,
parpol pengusungnya meraih 19,4 persen suara pada Pemilu 2009.
Figur dan Tokoh
Dengan semakin meningkatnya
daya tawar dan pengetahuan pemilih terhadap kandidat pilkada, aspek figur dan
ketokohan memang tampak semakin dominan. Namun di sisi lain, daya tarik partai
dengan ”jualan” ideologi dan sosok kepartaian tampaknya juga belum bisa
dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman dalam menarik pemilih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar