Kamis, 09 Agustus 2012

‘Bahasa Keputusan’ Polisi


‘Bahasa Keputusan’ Polisi
Agus Dermawan T ; Kritikus Seni, Penulis Buku Berbasis Kebudayaan
KORAN TEMPO, 09 Agustus 2012


Setelah dongeng fabel "cicak lawan buaya" yang melibatkan perwira tinggi polisi Susno Duadji, kini muncul cerita simsalabim simulator SIM. Dongeng ini memunculkan tokoh utama Inspektur Jenderal Polisi DS, mantan Kepala Korps Lalu Lintas, dan Gubernur Akademi Kepolisian. Pentolan polisi ini diduga menjadi salah satu pengkorupsi uang pengadaan simulator senilai Rp 196,87 miliar.

Masyarakat yang apatis terhadap tindakan korupsi di Indonesia akan berkata bahwa korupsi di tubuh kepolisian itu sangatlah biasa. Namun apatisme menjadi cair setelah melihat kenyataan, ternyata pihak kepolisian menolak keterlibatan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menangani kasus ini. Polisi ingin menanganinya sendiri. Adapun KPK khawatir, apabila pihak polisi menangani kasus di tubuhnya sendiri, pastilah persoalan tidak tuntas. Lantas KPK dan polisi pun berebut kasus. Muncullah dongeng baru "cicak versus buaya jilid dua".

Pertempuran cicak KPK lawan buaya polisi pun berlangsung lagi. KPK mengikuti "bahasa logika dan perasaan" yang mengatakan bahwa penanganan perkara akan obyektif bila ditangani oleh pihak yang terpisah dengan perkara. Sementara polisi menggunakan "bahasa keputusan", dengan mengatakan bahwa perkara ini terjadi di tubuh polisi, jadi harus diselesaikan oleh polisi. Apalagi polisi merasa menemukan kasus itu lebih dulu, sehingga merasa memiliki kasus tersebut sepenuhnya. Ini persis "bahasa keputusan" dunia dolanan anak-anak di Jawa. Di sana ada hukum "mupek", singkatan dari "sing nemu disik, sing ngepek". Artinya, yang menemukan duluan, yang berhak memiliki.

Ihwal "bahasa keputusan" polisi ini bisa menjadi polemik menarik ketika bersangkut-paut dengan masalah besar. Namun akan tetap langgeng menindas ketika berpusing secara laten di tengah aneka perkara yang menimpa rakyat biasa. Kejadian nyata di bawah ini adalah setitik contohnya.

Polisi Lawan Rakyat

Lima tahun yang lalu teman saya kehilangan mobil yang diparkir di depan rumah yang sedang dikunjunginya di Jakarta Utara. Atas kehilangan itu, ia melapor ke polisi, dan saya ikut mendampingi. Dari kantor polisi, kami diajak ke TKP (tempat kejadian perkara). 
Setelah dientak berbagai pertanyaan menekan, seperti "Kenapa tidak pakai kunci setir!?", "Mengapa kamu bertamu begitu lama!?", kami kembali lagi ke kantor polisi. Lalu, seusai diproses lebih dari 2 jam, polisi meminta surat tanda nomor kendaraan (STNK) asli. Teman saya menolak memberikannya, karena STNK asli itu (bukan fotokopi) adalah salah satu bukti bahwa dialah yang memiliki mobil itu. Tapi polisi mengatakan: Harus!
Setelah STNK diberikan, polisi lalu membuat berita acara penyitaan barang bukti (BAPBB) di atas kertas berkop Polri Resor Metropolitan Jakarta. Apa barang bukti yang disita? Ya, STNK itu. Surat formal BAPBB yang berbahasa baku (berarti dipakai secara resmi untuk setiap surat) itu berbunyi begini:

"Pada hari ini Sabtu tanggal xx Juni tahun 2007 (dua ribu tujuh) sekitar jam 10.00, saya: Supolri, pangkat AIPTU NRP 987654321, Jabatan Penyidik dari Kantor Kepolisian tersebut di atas, telah melakukan penyitaan barang berupa : 1 (satu) buah STNK mobil Toyota No. Polisi B. 9999 AD". (Catatan: nama orang dan nomor-nomor di sini adalah fiktif, adt).

Atas kata "penyitaan" itu, saya terperangah, heran, dan lantas memprotes kepada polisi. Saya berani memprotes karena kata "sita" di situ sungguh tidak tepat pemakaiannya. "Sita" dalam kamus bahasa Indonesia mana pun diartikan sebagai "merampas", atau "mengambil dengan paksa", karena pihak yang disita barangnya dianggap memiliki kesalahan. Tapi, kenapa teman saya yang kecurian mobil malah STNK-nya disita?

Untuk mengusut kata "sita" itu, mari kita simak Kamus Dwibahasa Oxford-Erlangga (KDOE), susunan Joyce M. Hawkins (Erlangga, 1996). Kata "sita, menyita", dalam bahasa Inggris disebut confiscate (merampas), atau take or seize by authority (merampas berdasarkan wewenang). Perhatikan pula Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia-Inggris (KUBII), susunan Hadi Podo dan Joseph J. Sullivan (Gramedia, 1988). Kata "sita" diartikan sebagai to seize (merampas). Di situ dicontohkan: "Polisi itu merampas senjata". 

Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (KBIK) susunan Drs Peter Salim, MA, dan Yenny Salim, B.Sc (Modern English Press, Jakarta, 1995), "menyita" artinya membeslah; mengambil dan menahan barang-barang oleh alat negara atau berdasarkan keputusan hukum. Contohnya: "Polisi menyita barang-barang yang dapat dijadikan bukti atas kesalahan terdakwa." 

Penafsiran kata "sita" dalam BAPBB dibanding pengertian kata "sita" dalam KDOE dan KUBII sungguhlah berbeda dan bertolak belakang. Atas penafsiran yang ganjil itu, sebuah tanda tanya pun segera hadir. Adakah polisi memang tidak mengerti bahasa Indonesia. Atau polisi memang memanfaatkan wewenangnya untuk merampas milik orang lain, yang justru seharusnya ditolong? Atau, jangan-jangan polisi memang punya kamus bahasa sendiri, yang mengartikan kata "sita" dengan "mengambil apa saja yang diperlukan oleh polisi"? 

Sedangkan bila diambil konteksnya dengan penjelasan KBIK, kita bisa bertanya: siapakah yang jadi terdakwa? Bukankah menyita STNK mobil milik orang yang kecurian sama artinya dengan menyebut orang yang kecurian itu sebagai terdakwa? Padahal, bukankah yang seharusnya menjadi terdakwa adalah orang yang mencuri mobil itu?

Ahli Bahasa

Kita semua sangat memerlukan polisi dan harus menghormati polisi. Karena itu, saya termasuk yang sangat tidak berkenan dengan ungkapan sinistik masyarakat, yang berkait dengan kasus kehilangan, kecurian, kecopetan, yang ditangani polisi. Ungkapan itu berbunyi, "Lapor kecurian kambing ke polisi, kita akan kehilangan sapi." Maknanya: melaporkan suatu kasus kepada polisi, bukannya akan mendapat penyelesaian, tapi justru akan dapat perkara tambahan.

Namun, khusus berkait dengan masalah bahasa dalam BAPBB ini, sesungguhnya mudah diluruskan apabila pihak kepolisian mau berkonsultasi dengan ahli bahasa. Bukankah para polisi adalah orang-orang akademis? Bukankah semua perkara itu hanya berangkat dari perbedaan atas penafsiran satu kata sederhana: "sita"? Lima tahun lalu saya masih berharap adanya koreksi atas pemakaian kata itu. Namun, setelah sekarang menyaksikan usaha polisi "merampas" kasus korupsi simulator jenderal polisi dari KPK, harapan itu bagai asap di hamparan lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar