Dilema
Bhayangkara Negara
Irjen
Budi Gunawan ; Kapolda
Bali
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2012
“SUDAH banyak cercaan yang di tujukan kepada
institusi kami, mulai dari yang sedikit seram sampai yang sangat seram, caci
maki, sumpah serapah, seakan kami tidak ada gunanya....“
Ucapan
tersebut seakan ungkapan yang merayap keluar dari insan kepolisian, tetapi tak
hendak menggapai uluran tangan. Curahan perasaan yang tertuang di situs
Kompasiana itu memang sekadar senandung lirih, tak berharap bergema jadi warta,
tak mengharap ada pintu yang terketuk oleh desahan tersebut.
Ia
sadar akan batas--sebagaimana ditulisnya seakan kami polisi selalu salah--tak
akan ada yang mau mendengar dan peduli.
Tentu
tak seutuhnya benar jika tak ada yang peduli dengan rintihan tersebut. Namun,
juga tak sepenuhnya keliru jika harapan akan empati seolah pupus di tengah
berbagai deraan cerca yang datang terus-menerus. Selama polisi masih dibutuhkan
masyarakat, itu pertanda masih banyak yang peduli.
Sebuah
stigma kerap lahir dari cermin yang buram sehingga orang tak dapat memandang
dengan jernih. Polisi lalu lintas selalu dilabel dengan istilah prit jigo bahwa polantas selalu menjebak
pengendara yang salah masuk rambu larangan. Pada saat kami mau menilang, selalu
dirayu dengan mohon kebijaksanaan. Kalau yang punya beking, mereka mengeluarkan
kartu nama atau menelepon kerabat. Padahal kami telah bertugas dari pagi buta.
Orang kerap menggeneralisasi penyimpangan dan dari situlah sebuah stigma
bermula.
Memang
tak mudah menjadi polisi. Berbagai dilema selalu mewarnai tugas kepolisian. Oleh
karena itulah para pakar kepolisian, seperti Herman Goldstein dan David Bayley,
selalu mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peran polisi karena
begitu rumit. Suatu kerumitan yang tidak direncanakan, tetapi tercipta dan
hadir dengan sendirinya.
Bagi
polisi, menjalankan kompleksitas peran yang diemban memang tak mudah. Selain
rumit, tugas polisi dipenuhi kontradiksi. Sebagai contoh, ketika mengawal demo,
di satu sisi polisi harus menghormati hak para pendemo. Di sisi lain, polisi
harus menjaga ketertiban dan melindungi hak serta keselamatan masyarakat
lainnya. Hal yang tak kalah penting, polisi harus melindungi keselamatan
dirinya sendiri.
Namun
ironisnya, setiap a anarkisme yang terjadi dari ekspresi demo tersebut,
polisilah yang selalu dituding sebagai pemantik. Itulah dilema polisi. Pada
akhirnya, semua pihak memang harus belajar memahami kompleksitas tugas dan
tanggung jawab kepolisian. Kurangnya pemahaman hanya akan mereduksi
kompleksitas tersebut dan membuat orang bersikap sinis kepada polisi.
Ada
sebuah contoh lain dari seorang kriminolog ternama, George Kirkham. Menurut
profesor pada Florida State University tersebut, polisi ialah kumpulan manusia
biasa yang luar biasa. Kesimpulan Kirkham tersebut tidak datang begitu saja,
tetapi melalui sebuah pengalaman fenomenal. Sebelumnya, pandangan Kirkham
terhadap kepolisian tak kurang sinis. Namun, perubahan drastis terjadi ketika
ia memutuskan untuk menjadi polisi dalam arti sebenarnya. Pengalaman langsung
terjun sebagai polisi di jalanan Jaksonville yang keras membuat Kirkham melihat
dan merasakan pengorbanan luar biasa aparat kepolisian.
Langkah
Kirkham memang fenomenal dan dapat menjadi inspirasi, sekaligus kritik bagi
kita yang gemar memandang sinis kepolisian. Karena tak puas sebagai ilmuwan
yang hanya menarik kesimpulan dari sebuah perspektif, ia mengambil cuti sebagai
dosen lalu mendaftarkan diri di akademi kepolisian dan diterima. Sebagai polisi
biasa, ia ditempatkan pada kawasan yang terkenal rawan. Kirkham berubah dan
menyadari betapa berat pengabdian kepolisian.
Dengan
latar belakang sebagai intelektual, semula sikapnya sangat akomodatif dalam
penanganan kejahatan. Namun, perjalanan waktu dan situasi yang dihadapi
mengajarkan sikap lunak dan akomodatif justru akan membahayakan dirinya dan
rekan kerjanya. Belakangan sikap Kirkham berubah, menjadi keras dan mudah
curiga terhadap setiap orang yang memiliki karakteristik penjahat.
Jika
dikaji lebih jauh, perubahan sikap yang dialami Kirkham mencerminkan situasi
dan kondisi yang juga dihadapi anggota kepolisian.
Selama
ini teori kriminologi hanya mengedepankan pendekatan sosiologis dan yuridis
dalam mengkaji berbagai perilaku penyimpangan oknum kepolisian. Akibatnya
masyarakat sulit untuk memahami mengapa misconduct
atau malapraktik kepolisian bisa terjadi. Secara sosiologis dan yuridis, polisi
merupakan penegak hukum yang seharusnya tunduk dan patuh hukum.
Pemahaman
terhadap tugas polisi dengan kacamata sosiologis dan yuridis saja akan
menyudutkan aparat. Berdasarkan pengalaman Kirkham, pendekatan ekologis
seharusnya digunakan untuk memahami penyebab terjadinya malapraktik kepolisian.
Dengan
pendekatan ekologis, kita dapat memahami bagaimana tajamnya pengaruh lingkungan
terhadap performa anggota kepolisian. Tugas sehari-hari yang selalu akrab
dengan dunia kejahatan dan penjahat-sebagaimana juga dialami Kirkham-akan
menyebabkan perilaku aparat berubah keras dan mewaspadai semua orang.
Dampak
negatif lingkungan itulah yang kerap luput dari pengamatan. Setidaknya ada tiga
pengaruh ekologis terhadap sikap aparat kepolisian. Pertama, sikap reaktif
terhadap lingkungan yang keras dan berbahaya. Hal itu menyebabkan sikap polisi
menjadi kurang lembut dan bersahabat. Kedua, sikap adaptif terhadap lingkungan
kejahatan dan para penjahat itu sendiri. Konteks adaptif di sini ialah
terinfeksi atau tertular oleh perilaku para kriminalis tersebut. Tak
mengherankan jika tak sedikit aparat yang menjadi pemakai narkoba atau
melakukan misconduct lainnya.
Ketiga,
sikap apatis terhadap lingkungan yang selalu sarat dengan cerca. Jika berbuat
baik pun tetap dicerca hanya karena stigma yang telah telanjur melekat, tentu
akan timbul demoralisasi.
Ketiga
pengaruh ekologis itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan karakter tersebut,
sebagaimana juga dialami Kirkham.
Kita
memiliki peluang untuk mengubah polisi sebagaimana yang kita inginkan jika
memahami tugas polisi dan menggunakan pendekatan kritis yang tepat. Kritik
terhadap kepoli sian memang diperlukan sebagai alat kontrol, tetapi sekali
waktu masyarakat pun perlu mendengar kritik dari kepolisian.
Di
Hari Bhayangkara ke-66 tentu tak perlu lagi terdengar ekspresi apatis dari
polisi Indonesia. Pertama, karena pengabdian bhayangkara negara sejati tak
mengenal batas. Selain itu, filosofi universal kepolisian ialah vigilat quiscant, yang bermakna polisi
bekerja sepanjang waktu agar masyarakat dapat melakukan aktivitas dengan aman
dan nyaman.
Kedua,
mayoritas anggota masyarakat masih mau mendengar dan peduli akan nasib
kepolisian. Masyarakat bahkan bangga memiliki kepolisian yang ingin menjadikan
anggotanya sebagai `rastrasewakottama'
abdi utama bangsa dan negara. Dirgahayu
Polri! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar