Perang
Kritik Pamuksa
Rohmad
Hadiwijoyo ; Dalang dan CEO RMI Group
MEDIA INDONESIA, 30 Juni 2012
BEBERAPA
waktu lalu, perang kritik antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sempat
memanas. Pemicunya ialah terus turunnya elektabilitas partai tersebut dalam
berbagai survei.
SBY
lantang menyatakan siapa pun kader Demokrat yang tidak bisa berpolitik santun
dan bersih dipersilakan keluar dari Demokrat. Alasannya, praktik itulah yang
ditengarai sebagai penyebab kian tergerusnya pamor Demokrat di mata rakyat.
Adapun
Anas menyebut turunnya elektabilitas Demokrat tidak terpisah dari kinerja
pemerintah. Karena itu, untuk meningkatkan kembali kepercayaan rakyat,
pemerintah di bawah kepemimpinan SBY harus bekerja lebih keras lagi.
Kalau
tidak segera diakhiri, perseteruan tersebut tidak hanya akan merugikan Partai
Demokrat itu sendiri, tetapi juga negara dan bahkan masyarakat ikut terkena
dampaknya. Hal itu terkait dengan posisi SBY sebagai presiden.
Pada
bagian lain, fakta menunjukkan Indonesia masih dinilai sebagai negara gagal. Itu
disampaikan lembaga riset nirlaba The
Fund for Peace (FFP) dan majalah Foreign Policy. Menurut mereka, Indonesia
menduduki peringkat ke 63 dari 178 negara, alias masuk kategori in danger menuju negara gagal.
The Fund for Peace (FFP) mencatat adanya keberhasilan
Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi dan reformasi politik. Namun, masih banyak
masalah krusial yang mengancam, antara lain pengangguran, korupsi, kekerasan,
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Kearifan Lokal
Tidak
ada pilihan lain, SBY dan Anas harus legawa dan segera bersatu merapatkan
barisan serta menjauhkan ego masing-masing. Terimalah segala kritik membangun
untuk menyinergikan langkah ke depan, baik untuk Partai Demokrat maupun bangsa.
Tengoklah
kearifan lokal dalam perang tanding antara Prabu Pandu Dewanata dari Kerajaan
Astina dan Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgondani. Tidak ada yang
diuntungkan dalam perang tersebut kecuali Harya Suman dan para Kurawa sebagai
provokator.
Kocap kacarita, dalam sejarah wayang ada empat
perang besar, yakni perang Pamuksa, Guntarayana, Gojalisuta, dan Baratayuda.
Perang
Pamuksa ialah perang Pandu dengan Tremboko. Guntarayana perangnya Niwatakawaca
dengan Begawan Ciptaning. Perang Gojalisuta merupakan perang bapak melawan
anak, yakni antara Raja Dwarawati Prabu Kresna dan anaknya, Prabu Boma
Narakasura. Yang terakhir, Baratayuda ialah perangnya Pandawa melawan Kurawa.
Konflik
antara Pandu dan Tremboko sebetulnya hanya masalah persepsi dan salah paham
yang lumrah. Itu menjadi masalah besar karena berhasilnya para ambeg wadul atau
provokator, baik dari lawan politik Pandu maupun para oportunis seperti Suman
yang mengharapkan rusaknya hubungan kedua raja itu.
Hubungan
Pandu dan Tremboko pada awalnya hubungan antara guru dan murid yang sangat
harmonis. Tremboko yang berwujud raksasa mengakui keunggulan kesaktian Pandu.
Tremboko belajar dan berguru ilmu kanuragan dan kesaktian aji dari Pandu.
Konflik
berawal saat keduanya disibukkan masalah pribadi masing-masing. Pandu
direpotkan permintaan istrinya, Dewi Madrim, yang saat itu sedang hamil tua.
Madrim mengidam ingin menaiki lembu Andini milik Dewa Guru.
Karena itulah konsentrasi dan perhatian Pandu mengurus negara menjadi terpecah.
Hal
yang sama dialami Tremboko yang sedang menantikan kelahiran anak
kembarnya. Untuk
menghormati gurunya, Tremboko menyiapkan nama pemberian Pandu untuk calon anak
kembarnya itu, yakni Brajadenta dan Brajamusti.
Sebagai
kerajaan sekutu, Tremboko setiap bulan melakukan pisowanan kepada Pandu di
Astina. Namun karena kesibukan mengurus kelahiran putra kembarnya, Tremboko
tidak sowan ke Astina. Untuk itu Tremboko mengirim surat izin ke Pandu.
Namun
sebelum surat itu sampai ke tangan Pandu, isi redaksinya diubah Suman, paman
Kurawa. Isi surat yang semula minta izin diganti menjadi tantangan perang. Perbuatan
Suman itu dilatarbelakangi keinginannya menjadi patih Astina dan menggeser
Patih Gandamana.
Ketika
surat di tangan Pandu, raja Astina itu tidak sertamerta memercayai isi surat
tersebut. Karena itu, Pandu berkirim surat ke Tremboko yang isinya untuk
mengklarifikasi. Pejabat yang ditugasi membawa surat itu adalah Patih
Gandamana.
Suman
yang mengetahui rencana Pandu itu lalu mendahului berkirim surat palsu ke
Tremboko. Surat palsu itu isinya bahwa Pandu mengirim Patih Gandamana untuk
menghancurkan Pringgondani.
Suman
sangat rapi melakukan taktik adu domba itu. Ketika Gandamana menuju
Pringgondani, ia dihadang satu peleton serdadu anak buah Tremboko di
perbatasan.
Dengan
segala persiapan yang dilakukan Suman, Gandamana dijebak ke dalam sumur.
Setelah tercebur ke dasar sumur, bala tentara raksasa Pringgondani menguburnya
hidup-hidup dengan tanah dan batu serta benda keras lainnya. Suman menganggap
Gandamana mati.
Pandu
yang menunggununggu kabar dari Gandamana dari tugasnya ke Pringgondani menjadi
galau karena sudah beberapa hari tidak ada kabar dan tidak kembali ke Astina. Karena
itu, Pandu memutuskan diri untuk melawat ke Pringgondani.
Tahu
rencana Pandu itu, Suman mendahului ke Pringgondani dan memprovokasi Tremboko
bahwa Pandu akan menyerang. Karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Tremboko
untuk menghadapi raja Astina itu. Akhirnya, terjadilah perang tanding antara
guru dan murid. Perang dua raja besar itulah yang dinamakan Perang Pamuksa.
Keduanya jadi Korban
Dalam
adu kedigdayaan, keduanya seimbang. Pandu menghunuskan keris Pulanggeni,
sedangkan Tremboko menggenggam keris Kalanadah. Saat perang itulah pusaka
Pulanggeni menembus dada Tremboko dan ia tewas.
Namun,
saat Pandu mendekati dan ingin memastikan tewasnya Tremboko, kaki Pandu
menginjak Kalanadah yang masih dalam genggaman Tremboko. Racun pada keris
Kalanadah itulah yang mengakibatkan Pandu gugur.
Dudutan dari cerita itu jelas, dalam perang
apa pun tidak ada pemenang yang elegan. Baik dalam perang Pamuksa maupun perang
kritik antara SBY dan Anas, itu sama saja.
Masih
ada satu tahun setengah bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki internal partai
dari berbagai konflik. SBY dan Anas semestinya bisa bersinergi untuk
memperbaiki komunikasi yang kurang kondusif saat ini.
Saat
inilah waktu yang tepat bagi keduanya untuk fokus dan bersungguhsungguh
memusatkan energi guna menyelamatkan partai dan Indonesia dari negara gagal.
Jika
kesungguhan itu real dan dapat
dirasakan masyarakat luas, rakyat pasti akan mendukung. Jangan seperti perang
Pamuksa yang dua duanya jadi korban dan yang diuntungkan hanya Suman dan
provokator. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar