Korupsi
dari Sama Enaknya
M. Sih Setija Utami, DOSEN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIKA
SOEGIJAPRANATA SEMARANG
Sumber
: SUARA MERDEKA, 5 Desember 2011
”Murid dari negara korup lebih
cenderung menerima perilaku suap karena menganggap norma sosial mereka
membolehkan”
Ingar-bingar
pemilihan pimpinan KPK baru saja kita lalui. Abraham Samad resmi terpilih
sebagai ketua lembaga itu. Kini KPK makin disibukkan dengan perang melawan
korupsi yang juga makin menggurita. Sejatinya, di negara kita korupsi bukan
lagi milik politikus dan penguasa melainkan juga milik rakyat, termasuk dunia
akademisi.
Pada
pelatihan dosen misalnya, sering ada pengumuman bahwa pelatihan yang sedianya
enam hari diperpendek menjadi lima hari dengan alasan efisiensi waktu, uang,
dan tenaga.
Panitia
kadang menambahkan,” Sama enaknya kan?” Panitia tidak capai, Bapak dan Ibu juga
bisa segera bertemu keluarga.” Ya sama enaknya, siapa yang dirugikan?
Mengapa
korupsi dipermasalahkan. Bukankah sama-sama enak dan nyaman? Hasil
penelitian Nekane Basabe dan Maria Ross (2005) ataupun Shu Li dan kawan-kawan
(2006) menemukan bahwa budaya kolektivistik berkorelasi tinggi dengan perilaku
korup. Pada budaya kolektivistik, orang cenderung melakukan nepotisme karena
berprinsip sama-sama enak dan tahu sama tahu.
Korupsi
dimulai dari sesuatu yang ”mulia”, ingin ”membantu” orang lain. Seorang pegawai
perusahaan merasa sangat tidak nyaman saat tetangganya menitipkan anaknya untuk
bekerja di tempatnya. Seorang anak buah merasa tidak nyaman saat pemimpinnya
memberi uang hasil sisa proyek. Mau melapor? Kasihan pimpinan, aku toh tidak
lebih suci ketimbang dia, aku toh tidak dirugikan, dan seterusnya.
Harmoni
dalam budaya kolektivistik membuat orang lebih memikirkan bagaimana kelompoknya
dipandang bagus oleh kelompok lain walaupun itu berarti mengorbankan
kepentingan diri tiap anggotanya. Harmoni kelompok membentuk identitas kelompok
lebih kuat ketimbang identitas pribadi.
Dengan
ritualitas keagamaan yang tinggi, orang Indonesia tahu persis bahwa korupsi
tidak baik. Tapi banyak orang Indonesia tetap korupsi karena ketika bersama
dengan orang lain, keyakinan dirinya luntur, dikalahkan oleh kepentingan
kelompok. Kesamaan dengan orang lain lebih penting ketimbang keyakinan pribadi.
Hal
ini juga didukung sebuah model berpikir dari teori psikologi sosial. The Theory
of Reasoned Action yang dikembangkan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein
menunjukkan bahwa perilaku ditentukan oleh niat, sedangkan niat ditentukan oleh
sikap terhadap perilaku dan norma subjektif.
Hasil
penelitian Cameron dan kawan-kawan tahun 2005 terhadap 2.000 murid di
Indonesia, Australia, India, dan Singapura menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan sikap para murid itu terhadap perilaku suap. Hal ini menunjukkan
bahwa secara pribadi murid di negara itu sejatinya tidak menyetujui perilaku
suap.
Nilai Kebenaran
Namun
penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Barr dan kawan-kawan tahun 2006,
berupa permainan untuk mengungkap perilaku suap mengungkap bahwa murid dari
negara-negara korup lebih cenderung menerima perilaku suap karena menganggap
norma sosial mereka membolehkan perilaku suap. Hasil dua penelitian ini
menunjukkan bahwa generasi muda yang tidak setuju korupsi pun cenderung
membiarkan korupsi saat mereka menganggap kelompok sosial mereka mengehendaki
atau membiarkan korupsi terjadi.
Budaya
kolektivistik bukanlah budaya yang buruk karena membuat kita selalu eling lawan
waspada terhadap lingkungan, serta mengajari untuk tidak adigang, adigung, lan
adiguna. Namun, saat kita selalu membiarkan identitas diri tertutupi oleh
kehendak kelompok maka kita akan mengalami disintegrasi moral. Kita tahu bahwa
korupsi tidak baik, tetapi tetap melakukannya. Lantas apa yang bisa kita
lakukan?
Untuk
membuat berani menyuarakan apa yang ada di dalam hati, kita harus berani
menjadi pemimpin, minimal bagi dirinya. Hal ini bisa kita latihkan pada
anak-anak sejak dini. Sejak kecil mereka kita ajarkan bahwa manusia tak
selalu seragam, ada yang pandai dan ada yang kurang pandai, ada yang kaya dan
ada yang kurang kaya.
Tetapi
apa pun kondisi orang itu, tiap individu berhak memiliki pikiran dan keyakinan
berbeda. Apa yang kita yakini benar perlu diungkapkan. Orang lain tidak harus
selalu menerima ide kita tetapi kita pun harus menghormati perbedaan.
Keberanian mengungkapkan kebenaran yang diyakini sejak dini akan menjadi
benteng masing-masing individu untuk tidak ikut dalam gelombang besar
kesesatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar