Ketika
Politikus, Pengusaha, dan Media Bersatu
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 30 Desember 2011
Pekan lalu, Program Pascasarjana Komunikasi
FISIP, Universitas Indonesia, meluncurkan buku Dedy N Hidayat
Self-Originated Being, untuk mengenang almarhum Prof Dr Dedy Nur Hidayat,
salah seorang guru besar di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, yang wafat 9
November 2010.
Buku yang diluncurkan tersebut berisikan
sebagian intellectual exercise almarhum dalam menganalisis dan
mengkritik berbagai perkembangan situasi sosial, politik, dan media selama
kurun 20 tahun, khusus yang dimuat di harian Kompas.
Sikap kritisnya dapat dibaca misalnya dalam
artikel berjudul "Robohnya Rasionalitas dan Moralitas Politik Kami"
(hal 101-106, dimuat pada 19 Februari 2000).
Di situ dia menilai reformasi politik di
Indonesia telah membuka kotak pandora, yakni memunculkan kembali beragam
keyakinan, ide, serta tingkah laku yang justru bertentangan dengan hakikat
rasionalitas dan moralitas gerakan reformasi itu sendiri.
Penilaiannya itu relevan, sebab suka atau
tidak suka, haruslah diakui apa yang diagung-agungkan Indonesia sebagai
demokrasi keempat terbesar di dunia hanya "seolah-olah" menghasilkan
kehidupan politik yang lebih demokratis dan didasarkan rasionalitas.
Namun kenyataannya, yang lebih berkembang
malah (mengambil istilah Mas Dedy) “democrazy”, buah dari unjuk kekuatan massa
(fisik) dan politik uang di hampir semua level pemilu.
Karena artikel itu ditulis tahun 2000, dia
memberi contoh konflik di Maluku sebagai wujud irasionalitas itu. Namun hari
ini, kekerasan dan konflik menjadi bahasa di mana-mana, yang terbaru adalah
bentrok di Bima, NTB.
Irasionalitas muncul karena tidak terjadi
optimalisasi sekurangnya atas tiga hal, yakni: (1) pilihan politik yang diambil
bukanlah yang terbaik dalam upaya mencapai tujuan bersama; (2) pilihan itu
diambil bukan dari sejumlah opsi dan tanpa dasar argumen yang kuat; (3) dalam
konsep politik itu tidak terjadi konsistensi internal (tanpa bukti-bukti dan
argumen yang memadai, serta tidak selektif atau cenderung manipulatif), atau
satunya kata dengan perbuatan.
Karena itu, kalau 13 tahun setelah reformasi
kita tetap mengeluh situasi di banyak bidang tidak membaik bahkan memburuk
(misalnya pemerataan korupsi, kesenjangan yang semakin lebar, pemekaran wilayah
berbasis etnis atau agama), itu juga buah dari berbagai irasionalitas kita
dalam berdemokrasi.
Sirkuit M-P-M
Dalam artikelnya yang lain, "Sirkuit
Akumulasi Modal dan Kuasa" (dimuat 23 Maret 2005, hal 9-12), Dedy mencemaskan
kondisi yang secara sistemik menempatkan negara lebih sebagai instrumen sirkuit
akumulasi modal dan kekuasaan, dengan pertanyaan besar: apakah loyalitas pada
perusahaan berakhir setelah seseorang menjadi pejabat negara?
Sirkuit akumulasi modal dan kekuasaan itu
formulasinya M-P-M (Money-Power-More money). Karena uangnya, pemilik
modal/politikus mendapatkan kekuasaan politik, dan kekuasan itu dimanfaatkan
untuk menghimpun lebih banyak modal, yang nantinya juga digunakan lagi untuk
menumpuk kekuasaan politik yang lebih besar dan seterusnya.
Dampak sirkuit itu adalah negara mengalami
krisis representasi, karena pilihan politik yang dimiliki publik terbatas pada
apa yang disodorkan kekuatan ekonomi dan kampanye politik. Bergabungnya para
pemilik modal dalam politik makin memperbesar peluang mereka dapat langsung
mengatur negara.
Dari analisisnya, kita terpaksa berpikir
apakah demokrasi kita kini sedang menuju ke sebuah oligarki besar. Berbagai
fakta dan indikasi menunjukkan sekelompok kecil elite politik dan pemilik modal
kini mulai menggalang kekuatan mereka untuk mempersiapkan diri merebut
kekuasaan pada 2014.
Sekadar "Sound Bites"
Bila kita meninjau dari sudut ekonomi
politik, fenomena Sirkuit M-P-M itu sedang terjadi secara kasat mata dan makin
mengkristal. Mereka mewakili gabungan tiga kekuatan, politik, bisnis, dan
media.
Misalnya, belum lama ini pengusaha Harry
Tanoesoedibjo, pemilik kelompok Media Nusantara Citra (MNC) yang juga menguasai
sejumlah jaringan stasiun televisi, radio, surat kabar maupun portal internet
dalam skala nasional, bergabung dengan Surya Paloh, mantan politikus Partai
Golkar yang mendirikan Partai Nasional Demokrat dan pemilik Media Group. Dari
kubu lain, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie juga memiliki ketiga
kekuatan itu dalam satu tangannya.
Cepat atau lambat segera menyusul
penggabungan kekuatan politik, uang, dan media dari kelompok-kelompok politik
dan bisnis yang lain, di luar dua kubu yang disebut terdahulu itu.
Misalnya kedekatan Chairul Tanjung (CT Corp
yang menaungi Trans TV, Trans-7, dan detik.com) dengan Hatta
Rajasa (ketua umum PAN dan besan Presiden SBY), dan mungkin akan bergabung lagi
sejumlah kelompok bisnis lainnya.
Dalam pemikiran Dedy, seharusnya media massa
menjadi salah satu unsur yang mampu mengembangkan rasionalitas dan moralitas
politik dalam proses reformasi di Tanah Air, karena para wartawan diharapkan
menjadi kekuatan profesional yang independen, tidak berpihak kepada
kelompok-kelompok tertentu, dan mampu mengembangkan diskursus yang sehat melalui
public sphere.
Namun, kalau melihat tren penggabungan
politik, bisnis, dan media seperti itu, apakah harapannya itu dapat terwujud?
Pertanyaan kita: besarkah peluang masyarakat mendapat informasi politik yang
rasional dan independen dalam proses politik menuju 2014? Ke mana demokrasi
kita akan bermuara?
Saya pun khawatir masyarakat pada akhirnya
tidak mendapatkan informasi yang cukup baik sehingga mereka bisa membuat
keputusan politik yang rasional pada pemilu mendatang.
Sebagai bandingan, di Amerika, muncul
berbagai persoalan etika komunikasi politik sebagai akibat perkembangan teledemocracy
melalui televisi, yang terbukti telah mengubah format politik di sana.
Di tangan para konsultan politik, para
kandidat, atau pun partai tak lebih dari sekadar brand, image,
dan sama sekali tidak memunculkan diskursus yang hidup, sehat, dan mendalam
mengenai program, arah politik, atau latar belakang kandidat, misalnya, namun
hanya memunculkan sound bites yang sudah terduga (Robert E Danton, Jr,
dalam Political Communication Ethics An Oxymoron?, 2000).
Di Indonesia kita sudah merasakan buah
perkembangan itu. Calon yang dipilih terbukti hanya bagus di kemasan, namun
melempem isinya. Hal itu terjadi di berbagai level pemilu atau pilkada.
Karena itu, menghadapi perkembangan seperti
itu, kalangan civil society harus segera bergerak mengadakan civic
education agar pemilu kita ke depan lebih berkualitas. Tugas kita semua
membangun multiples sources untuk pendidikan politik warga agar tidak
mengulang kesalahan memilih pemimpin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar