Senin 01 Juli 2019, 14:15 WIB
Perang Dagang dan Difusi Teknologi Pertanian
Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina telah memasuki babak baru. Perang yang ditandai saling balas pengenaan tarif barrier (TB) antarkedua negara. Bahkan, perang dagang ini sampai melebar menjadi non tarif barrier (NTB) dengan pencekalan penggunaan komponen produk Cina pada jaringan telekomunikasi di AS dan kemudian dibalas Cina dengan mengeluarkan daftar hitam perusahaan AS yang tidak boleh diajak bekerja sama oleh perusahaan Cina.
Sejatinya kebijakan kebijakan TB dan NTB selama ini berusaha dihapuskan oleh WTO karena dapat menciptakan sistem perdagangan yang tidak adil serta sangat merugikan produsen dan konsumen. Dampak nyata akibat perang dagang telah dirasakan petani AS yang tidak dapat menjual produknya ke Cina. Akibatnya pemerintah AS harus mengeluarkan subsidi sangat besar untuk mengganti kerugian petani maupun mencari pasar ekspor baru untuk produk pertanian AS. Sedangkan Cina mengalami kemunduran pertumbuhan ekonomi yakni hanya 6,6% pada 2018 atau yang terendah selama tiga dekade terakhir.
Perang dagang AS dengan Cina tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat sehingga menimbulkan kekhawatiran beberapa negara. Indonesia telah merasakan dampak perang dagang ini yang ditandai dengan neraca perdagangan nasional mengalami defisit karena perlambatan ekspor serta adanya peningkatan impor. Perang dagang ini sebenarnya dapat menjadi peluang dan ancaman bagi seluruh sektor nasional, termasuk pertanian.
Sektor pertanian nasional saat ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap perdagangan internasional. Ekspor produk perkebunan Indonesia mampu menguasai pasar dunia dan banyak pula yang dikirim ke Cina. Perang dagang dapat menjadi peluang bagi Indonesia karena mampu mensuplai kebutuhan AS dan Cina melalui ekspor.
Berdasarkan data GAPKI, ekspor minyak sawit Indonesia ke Cina pada Oktober 2018 meningkat 63% dibandingkan bulan sebelumnya. Minyak sawit Indonesia nantinya akan digunakan sebagai pengganti minyak nabati yang selama ini didatangkan Cina dari AS. Begitu pula produk perikanan Indonesia saat ini, seperti ikan tuna, memiliki daya saing cukup tinggi untuk menguasai pasar AS.
Namun begitu, perang dagang juga mengancam kontinuitas ekspor nasional karena negara tujuan ekspor kemungkinan besar mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan daya beli. Pada sisi lain, ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum dan kedelai dari AS maupun produk hortikultura dari Cina juga masih tinggi dan berpotensi menjadi ancaman bagi kepentingan nasional.
Berdasarkan data UN Comtrade, kuantitas impor kedelai Indonesia dari AS sebesar 2,65 juta ton pada 2018, sedangkan impor bawang putih dari Cina sebesar 533 ribu ton atau 97% dari kebutuhan nasional. Bukan tidak mungkin akibat perang dagang ini, pasar nasional akan dikuasi oleh produk pertanian impor dari AS dan Cina karena gencarnya kedua negara melakukan ekspansi pasar untuk produknya.
Melihat ketidakpastian perekonomian dunia, maka pertanian Indonesia harus segera berbenah melakukan langkah strategis dengan memanfaatkan peluang untuk menguatkan daya saing ekspor dan mengatasi tantangan untuk menyiapkan substitusi impor. Langkah strategis tersebut akan terbantu dengan menguatkan penggunaan teknologi pada seluruh subsistem pertanian, baik budidaya, panen, pengolahan maupun pemasaran.
Dampak penggunaan teknologi pertanian di beberapa negara telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen, menciptakan efisiensi usaha tani, meningkatkan pendapatan petani serta mendorong daya saing kompetitif produk pertanian.
Paket teknologi pertanian di Indonesia sebenarnya telah banyak ditemukan oleh lembaga litbang, perguruan tinggi, dan masyarakat. Namun, ada satu kelemahan dari berbagai lembaga inovasi tersebut yakni lambatnya difusi kepada pengguna (petani). Hal tersebut ditandai dengan banyaknya inovasi teknologi yang hanya menjadi lembaran dokumen laporan tanpa ada implementasi di lapangan.
Pada sisi lain, petani juga sering resisten menggunakan teknologi baru karena proses yang rumit serta keraguan akan peningkatan produksi setelah menggunakan inovasi tersebut. Banyak sekali varietas unggul pertanian yang saat ini diciptakan oleh lembaga inovasi namun tidak diketahui petani. Bahkan, beberapa petani padi masih saja menggunakan varietas IR 64 yang ditemukan pada 1980-an. Padahal perubahan lingkungan sangat memungkinkan varietas tersebut tidak lagi cocok digunakan saat ini sehingga produksi aktualnya lebih rendah daripada potensi produksi yang seharusnya.
AT Mosher pernah mengungkapkan bahwa petani akan tertarik menggunakan teknologi baru apabila menguntungkan, cocok dengan biofisik lingkungan, mudah diterapkan, menghemat tenaga kerja dan waktu serta tidak memerlukan biaya yang besar. Aspek-aspek ini tentu sudah diperhitungkan oleh berbagai lembaga penemu inovasi dan diperlukan upaya untuk meyakinkan petani bersedia menggunakan inovasi tersebut. Pada keadaan seperti inilah dibutuhkan peran agen penyuluhan handal yang memahami karakteristik dan kebutuhan petani. Langkah tersebut dapat dibangun melalui kerja sama antara lembaga inovasi dengan petugas penyuluh lapangan (PPL).
Kerja sama tersebut dalam bentuk pelatihan rutin yang dilakukan lembaga inovasi untuk mengupgrade kemampuan PPL, baik teknis pertanian maupun teknologi komunikasi. Dengan kemampuan yang mumpuni tersebut, PPL akan menjadi garda terdepan untuk mendorong petani menjadi lebih modern namun tetap memperhatikan kearifan lokal masyarakat.
Selain PPL, sebenarnya mahasiswa pertanian juga dapat dilibatkan untuk mempercepat penyebaran inovasi pertanian. Mengingat kuantitas SDM PPL yang terbatas dan sebagian besar PPL menghadapi banyak tugas administrasi dengan waktu penyelesaian cukup panjang. Langkah ini juga sangat mungkin dilakukan mengingat jumlah perguruan tinggi pertanian di Indonesia sangatlah banyak dengan lokasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Tentu saja inovasi perlu dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat setempat. Semoga difusi teknologi pertanian di Indonesia dapat berlangsung lebih cepat dan membuat pertanian nasional tahan terhadap goncangan yang muncul akibat perang dagang.
Agus Dwi Nugroho, SP, M.Sc ; Peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM
Sejatinya kebijakan kebijakan TB dan NTB selama ini berusaha dihapuskan oleh WTO karena dapat menciptakan sistem perdagangan yang tidak adil serta sangat merugikan produsen dan konsumen. Dampak nyata akibat perang dagang telah dirasakan petani AS yang tidak dapat menjual produknya ke Cina. Akibatnya pemerintah AS harus mengeluarkan subsidi sangat besar untuk mengganti kerugian petani maupun mencari pasar ekspor baru untuk produk pertanian AS. Sedangkan Cina mengalami kemunduran pertumbuhan ekonomi yakni hanya 6,6% pada 2018 atau yang terendah selama tiga dekade terakhir.
Perang dagang AS dengan Cina tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat sehingga menimbulkan kekhawatiran beberapa negara. Indonesia telah merasakan dampak perang dagang ini yang ditandai dengan neraca perdagangan nasional mengalami defisit karena perlambatan ekspor serta adanya peningkatan impor. Perang dagang ini sebenarnya dapat menjadi peluang dan ancaman bagi seluruh sektor nasional, termasuk pertanian.
Berdasarkan data GAPKI, ekspor minyak sawit Indonesia ke Cina pada Oktober 2018 meningkat 63% dibandingkan bulan sebelumnya. Minyak sawit Indonesia nantinya akan digunakan sebagai pengganti minyak nabati yang selama ini didatangkan Cina dari AS. Begitu pula produk perikanan Indonesia saat ini, seperti ikan tuna, memiliki daya saing cukup tinggi untuk menguasai pasar AS.
Namun begitu, perang dagang juga mengancam kontinuitas ekspor nasional karena negara tujuan ekspor kemungkinan besar mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan daya beli. Pada sisi lain, ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum dan kedelai dari AS maupun produk hortikultura dari Cina juga masih tinggi dan berpotensi menjadi ancaman bagi kepentingan nasional.
Berdasarkan data UN Comtrade, kuantitas impor kedelai Indonesia dari AS sebesar 2,65 juta ton pada 2018, sedangkan impor bawang putih dari Cina sebesar 533 ribu ton atau 97% dari kebutuhan nasional. Bukan tidak mungkin akibat perang dagang ini, pasar nasional akan dikuasi oleh produk pertanian impor dari AS dan Cina karena gencarnya kedua negara melakukan ekspansi pasar untuk produknya.
Melihat ketidakpastian perekonomian dunia, maka pertanian Indonesia harus segera berbenah melakukan langkah strategis dengan memanfaatkan peluang untuk menguatkan daya saing ekspor dan mengatasi tantangan untuk menyiapkan substitusi impor. Langkah strategis tersebut akan terbantu dengan menguatkan penggunaan teknologi pada seluruh subsistem pertanian, baik budidaya, panen, pengolahan maupun pemasaran.
Dampak penggunaan teknologi pertanian di beberapa negara telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen, menciptakan efisiensi usaha tani, meningkatkan pendapatan petani serta mendorong daya saing kompetitif produk pertanian.
Paket teknologi pertanian di Indonesia sebenarnya telah banyak ditemukan oleh lembaga litbang, perguruan tinggi, dan masyarakat. Namun, ada satu kelemahan dari berbagai lembaga inovasi tersebut yakni lambatnya difusi kepada pengguna (petani). Hal tersebut ditandai dengan banyaknya inovasi teknologi yang hanya menjadi lembaran dokumen laporan tanpa ada implementasi di lapangan.
Pada sisi lain, petani juga sering resisten menggunakan teknologi baru karena proses yang rumit serta keraguan akan peningkatan produksi setelah menggunakan inovasi tersebut. Banyak sekali varietas unggul pertanian yang saat ini diciptakan oleh lembaga inovasi namun tidak diketahui petani. Bahkan, beberapa petani padi masih saja menggunakan varietas IR 64 yang ditemukan pada 1980-an. Padahal perubahan lingkungan sangat memungkinkan varietas tersebut tidak lagi cocok digunakan saat ini sehingga produksi aktualnya lebih rendah daripada potensi produksi yang seharusnya.
AT Mosher pernah mengungkapkan bahwa petani akan tertarik menggunakan teknologi baru apabila menguntungkan, cocok dengan biofisik lingkungan, mudah diterapkan, menghemat tenaga kerja dan waktu serta tidak memerlukan biaya yang besar. Aspek-aspek ini tentu sudah diperhitungkan oleh berbagai lembaga penemu inovasi dan diperlukan upaya untuk meyakinkan petani bersedia menggunakan inovasi tersebut. Pada keadaan seperti inilah dibutuhkan peran agen penyuluhan handal yang memahami karakteristik dan kebutuhan petani. Langkah tersebut dapat dibangun melalui kerja sama antara lembaga inovasi dengan petugas penyuluh lapangan (PPL).
Kerja sama tersebut dalam bentuk pelatihan rutin yang dilakukan lembaga inovasi untuk mengupgrade kemampuan PPL, baik teknis pertanian maupun teknologi komunikasi. Dengan kemampuan yang mumpuni tersebut, PPL akan menjadi garda terdepan untuk mendorong petani menjadi lebih modern namun tetap memperhatikan kearifan lokal masyarakat.
Selain PPL, sebenarnya mahasiswa pertanian juga dapat dilibatkan untuk mempercepat penyebaran inovasi pertanian. Mengingat kuantitas SDM PPL yang terbatas dan sebagian besar PPL menghadapi banyak tugas administrasi dengan waktu penyelesaian cukup panjang. Langkah ini juga sangat mungkin dilakukan mengingat jumlah perguruan tinggi pertanian di Indonesia sangatlah banyak dengan lokasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Tentu saja inovasi perlu dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat setempat. Semoga difusi teknologi pertanian di Indonesia dapat berlangsung lebih cepat dan membuat pertanian nasional tahan terhadap goncangan yang muncul akibat perang dagang.
Agus Dwi Nugroho, SP, M.Sc ; Peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar