INDUSTRI PENERBANGAN
Empat Kesalahan Pengelolaan Industri Penerbangan
Ungkapan “We Make People Fly” milik Lion Air Group nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk dikumandangkan. Pasalnya harga tiket pesawat yang dijual oleh Lion ataupun maskapai lain saat ini sudah tak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika beberapa tahun terakhir yang terbang orangnya, tahun ini yang “terbang” harganya. Harga saat ini lebih dua kali lipat dari harga tahun lalu.
Contoh paling sederhana, tiket rute Jakarta (CGK)-Surabaya (SBY) tahun lalu di musim sepi penumpang (low season) rata-rata Rp 600.000, tahun ini mencapai Rp 1.388.000 (Indef, 2019, diolah). Pada musim puncak (high season) seperti bulan Ramadhan bisa berkali-kali lipat kenaikannya.
Dampak dari melambungnya harga tiket dirasakan oleh daerah-daerah yang kaya akan pariwisata. Salah satu yang dirasakan adalah penurunan penerbangan domestik secara drastis pada empat bulan pertama 2019. Data BPS, penerbangan domestik pada April 2019 turun 28,48 persen dari April 2018 (year-on-year/yoy).
Penurunan ini semakin dalam jika dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Tingkat hunian hotel pun kian merosot pada awal tahun ini. Tingkat hunian April 2019 tercatat 53,9 persen lebih rendah dari April 2018 yang mencapai 57,43 persen. Keluhan pun bermunculan dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang mengaku lesu akibat kenaikan harga tiket pesawat
Kepala daerah juga ikut menyuarakan dampak dari mahalnya harga tiket. Bahkan sempat keluar anekdot “lebih murah terbang ke kota lain dengan menyebrang ke Malaysia terlebih dahulu daripada langsung ke kota tujuan”. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat transportasi udara sudah jadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia terutama mereka yang harus berpindah pulau setiap minggunya.
Untuk meminimalkan kerugian masyarakat, pemerintah pun sudah beberapa kali mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan harga tiket pesawat. Mulai dari mengatur ulang batas harga atas dan bawah hingga memaksa maskapai menurunkan harga. Wacana terakhir adalah memberikan insentif fiskal bagi maskapai agar bisa lebih efisien. Meskipun demikian, harga tiket pesawat juga tidak kunjung turun.
Berbagai cara yang sudah dilakukan pemerintah bukannya buruk, melainkan tidak menyentuh sasaran jangka panjang. Pemberian insentif hanya akan menurunkan harga secara instan dalam jangka pendek. Perbaikan jangka panjang nyaris tak keliatan bentuk kebijakannya. Mengundang maskapai asing bisa jadi akan menurunkan harga karena adanya kompetisi antarmaskapai, namun perlu ada perbaikan di sektor lainnya.
Empat masalah
Industri penerbangan kita, mempunyai empat masalah utama yang tidak kunjung terselesaikan oleh pemerintah. Masalah pertama, inefisiensi maskapai penerbangan nasional. Inefisiensi terlihat dari kenaikan harga yang terjadi di saat hampir semua maskapai besar di ASEAN menurunkan harga. Hanya maskapai Indonesia yang menaikkan harga.
Faktor harga avtur dituding jadi penyebabnya oleh maskapai namun nyatanya harga avtur di Indonesia lebih kompetitif di bandingkan harga avtur di Singapura ataupun Malaysia.
Inefisiensi juga ditunjukkan oleh pernyataan meruginya maskapai nasional namun tingkat keterisian penerbangan kita rata-rata lebih tinggi dari break even loading factor (BLF) rata-rata maskapai di Asia Pasifik. BLF ini menunjukkan batas keterisian untuk menghasilkan balik modal sebuah penerbangan.
Rata-rata BLF di kawasan Asia Pasifik 67-69 persen, sedangkan tingkat keterisian penerbangan domestik di Indonesia sudah mencapai 78 persen. Namun, perusahaan penerbangan domestik tetap saja mengaku merugi, sehingga mereka menaikkan harga untuk memperoleh keuntungan.
Masalah kedua, pembiaran peningkatan konsentrasi pasar dan kekuatan monopoli. Peningkatan konsentrasi pasar terlihat dari kian besarnya penguasaan pasar oleh dua grup maskapai terbesar, Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group. Kedua perusahaan ini menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar nasional. Terlebih tahun kemarin ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda yang menyebabkan tingkat konsentrasi dua perusahaan besar itu menjadi 96 persen. Dua persen dimiliki Air Asia dan 2 persen lainnya dimiliki penerbangan kecil.
Akibatnya, kekuatan monopoli yang dimiliki dua grup perusahaan itu kian besar, terutama saat low season. Kekuatan monopoli sendiri menggambarkan kekuatan perusahaan untuk mengatur harga. Jika sebelumnya ketika low season perusahaan sangat sulit untuk mengatur harga, saat ini kedua maskapai sangat mudah menentukan harga di batas atas.
Masalah ketiga adalah pembuatan kebijakan yang terkesan asal-asalan. Contohnya, keputusan kenaikan tarif batas bawah dari 30 menjadi 35 persen. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri No 20 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri No 72 Tahun 2019. Pembuatan kebijakan ini untuk melindungi maskapai. Namun maskapai mana yang perlu dilindungi?
Dua grup maskapai terbesar sudah tak selayaknya dilindungi karena monopoli power-nya besar. Sedangkan maskapai lain malah dihilangkan dari Travel Online Agent (TOA) dan pemerintah tak bereaksi apapun. Pengaturan kebijakan insentif fiskal, meskipun bisa menurunkan harga secara instan, diragukan efektivitasnya dalam jangka panjang.
Masalah terakhir adalah adanya pembiaran pencaplokan maskapai Sriwijaya Group oleh Garuda. Pengambilalihan ini menimbulkan masalah pengonsentrasian pasar. Nilai Herfindhal-Hirschman Index (HHI) setelah penggabungan bertambah lebih dari 200, artinya melebihi batas penambahan HHI yang dianjurkan. Padahal Sriwijaya merupakan perusahaan maverick (pengganggu bagi kartel) yang dapat menjaga keseimbangan pasar. Bahkan sangat jelas tujuan pengambilalihan ini untuk mengoordinasi industri agar mudah dikendalikan oleh kartel.
Sudah sepatutnya pemerintah lebih memerhatikan permasalahan yang sifatnya jangka panjang seperti empat masalah yang sudah dijabarkan di atas. Jika tidak, harga akan kembali mahal seperti awal tahun ini. Perlu lebih dari sekadar memberikan insentif fiskal ataupun mengundang maskapai asing.
Sudah selayaknya maskapai penerbangan diberikan persaingan usaha yang sehat agar industri penerbangan kita tidak kembali kepada zaman Orde Baru yang harga tiketnya juga tidak terjangkau masyarakat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar