Toleransi
Bermazhab
Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
|
KOMPAS,
04 November
2017
Pernah para ilmuwan sosial
Barat memprediksi bahwa agama itu akan mati pelan-pelan, atau minimal
terpinggirkan perannya dari kehidupan sosial karena kebutuhan hidup manusia
akan dipenuhi oleh jasa sains, teknologi, dan filsafat. Namun, ramalan itu ternyata meleset. Sentimen
agama bangkit dan menguat kembali.
Bahkan agama menjadi pertimbangan penting dalam
diplomasi politik dan bisnis global. Di samping bangkitnya sentimen
keagamaan, dalam semua komunitas agama selalu muncul beragam mazhab (school of thought) dalam memahami
ajaran kitab sucinya. Ada juga mazhab yang kemudian berkembang menjadi sekte.
Perbedaan mazhab dan sekte ini menambah kegaduhan dan konflik antarumat
beragama. Mazhab dalam tradisi Islam adalah sebuah metode yang rasional,
sistematis, yang dilakukan oleh ilmuwan/ulama ahli untuk menggali pesan dasar
agama yang bersumber pada Al Quran dan hadis sehingga hasil kajiannya menjadi
rujukan bagi masyarakat awam.
Mengingat disiplin ulama itu
beragam, maka dalam Islam juga muncul beragam mazhab. Kebangkitan agama di beberapa negara juga
diiringi dengan kemunculan mazhab yang
menyatu dengan menguatnya identitas etnis (etno-religion). Mereka yang senang berkonflik karena alasan
beda agama, biasanya juga sudah terbiasa berkonflik dalam internal komunitas
seagamanya hanya karena beda mazhab.
Di kalangan umat Islam muncul
mazhab yang tak segan-segan
mengafirkan sesama umat Islam. Bahkan sampai pada tindakan membunuh atas nama
jihad. Dunia terasa semakin plural,
sekaligus juga semakin sesak dan hiruk pikuk diramaikan oleh konflik mazhab dan agama. Dengan
demikian, agenda membangun toleransi
antarumat beragama haruslah dimulai dengan membangun toleransi intra umat
seagama. Toleransi tidak berarti pendangkalan agama, justru menjalankan pesan
agama yang mengajarkan untuk hidup saling
menghargai, meskipun berbeda keyakinan.
Sebatas yang saya tahu,
perbedaan mazhab itu bermula dari pendekatan dan pemahaman yang berbeda
terhadap teks Al Quran dan hadis. Teks kitab sucinya sama, tetapi pemahaman
dan kesimpulannya bisa berbeda karena memahami sebuah teks itu sesungguhnya
juga memproduksi pengetahuan baru dengan modal kapasitas ilmunya yang
dipengaruhi oleh kepentingan dan lingkungan geografis serta sosialnya.
Dalam kajian agama-agama, adalah Islam yang sangat mengandalkan
sumber teks, yaitu Al Quran yang
aslinya keluar dari lisan Nabi
Muhammad, yang merupakan mukjizat-Nya. Yang kedua adalah teks hadis, sebuah
himpunan yang berisi ucapan dan catatan perilaku pribadi Nabi Muhammad. Teks Al Quran diyakini oleh
umat Islam didikte langsung kata per kata oleh malaikat Jibril pada
Muhammad, sedangkan hadis adalah
ucapan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa, tetapi hidupnya selalu dibimbing
oleh Jibril.
Ucapan dan tindakan Nabi
Muhammad ada yang dimaksudkan sebagai contoh dan penjelas pesan Al Quran
untuk umatnya, tetapi ada juga sebagai tindakan kemanusiaan sebagaimana penduduk Arab waktu
itu. Dengan kata lain, sosok Nabi
Muhammad adalah a historical
person. Bukan sosok yang diselimuti mitos sehingga perilakunya tidak
mungkin dipahami dan ditiru oleh umatnya. Ucapan dan tindakannya bisa
dibedakan antara yang bersifat kultural
dan doktrinal keagamaan.
Bermula dari teks
Teks wahyu Al Quran turun
secara berangsur selama 23 tahun,
berdialog, bergumul, dan terlibat langsung dengan perkembangan dan
perubahan sosial yang berlangsung saat itu. Hanya dalam waktu singkat,
menurut ukuran sejarah, dunia Arab berubah total dan mewariskan mata air
peradaban yang memengaruhi jalannya sejarah dunia yang denyutnya masih
berlangsung sampai hari ini. Banyak
pembesar Arab kala itu dan juga rakyat
jelata yang berubah pikiran dan tindakannya setelah memahami teks Al Quran
dan keteladanan hidup Muhammad. Baris-baris ayatnya mampu mengubah perilaku
dan tatanan masyarakat. Bermunculan pemikir dan filsuf di abad tengah setelah
menyelami teks Al Quran. Terjadi hubungan dialektis yang sangat intens dan
produktif antara teks, wacana, dan peristiwa. Sabda menciptakan peristiwa,
peristiwa mengundang respons sabda. Namun, saat ini terdapat kecenderungan,
teks lepas dari konteks dan realitas empiris, sementara teks Al Quran
bersanding dengan jutaan teks lain tanpa dikawal Nabi.
Berbeda dari Al Quran, hadis
merupakan ucapan Muhammad yang terjadi dalam ruang dan waktu yang spesifik
dan tak memerlukan banyak penafsiran dari sahabat sehingga mudah dipahami
maksudnya. Kalau tak paham, sahabat bisa langsung bertanya pada Nabi
Muhammad. Sosok Nabi adalah seorang
mahaguru dan model untuk ditiru, baik ucapan maupun tindakannya. Namun,
dengan berjalannya waktu, bisa saja teks hadis dipahami hari ini secara
literer terlepas dari diskusi konteknya, misalnya, pemahaman terhadap
teks ”celana cingkrang”.
Adapun posisi Al Quran lebih
otonom, karena pembicaranya adalah
Tuhan. Di dalamnya pun banyak ungkapan
yang memerlukan perenungan dan penafsiran. Kalau teks hadis aktor pembicaranya adalah
Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabatnya, sedangkan teks Al Quran
diterima secara pribadi oleh Muhammad, bersifat meta-historis. Pembaca tidak
bisa melakukan verifikasi langsung
kepada Tuhan sebagai pengarangnya. Padahal, Al Quran merupakan rujukan utama
bagi umat Islam. Bagi orang awam yang bisa dilakukan adalah mengikuti
pendapat para ahli yang dianggap punya otoritas keilmuan dalam ilmu tafsir,
sekalipun di antara mereka juga muncul berbagai pemahaman atas pesan teks Al
Quran.
Dengan demikian, munculnya
perbedaan tafsir dan pemahaman yang
pada urutannya mengkristal menjadi mazhab adalah sebuah
keniscayaan. Jika ditelusuri ke
belakang akarnya adalah teks Al Quran itu sendiri yang memungkinkan, bahkan
menghajatkan, penafsiran. Sampai hari ini pun Universitas Al-Azhar di Mesir
masih memiliki Jurusan Ilmu Tafsir. Artinya, pewahyuan Al Quran sudah final,
tetapi penafsirannya berkembang terus. Jumlah buku tafsir jauh berlipat-lipat
melebihi lembaran Al Quran. Teks itu berbunyi ketika dibaca dan dipahami oleh
pembacanya, sedangkan pembaca bukanlah alat rekaman kosong yang pasif tanpa
perspektif dan tanpa interes. Membaca sebuah teks juga berarti memahami,
menafsirkan, dan menulis teks baru dalam lembaran mental berdasarkan hasil
tafsirannya. Bisa saja teks baru itu dihapal atau ditulis.
Membangun konsensus
Mengutip Heidegger, language is the house of being.
Manusia itu mengada membangun dunianya dengan dan di dalam bahasa. Bahasa tak
sebatas ucapan dan gestur, lebih mendasar lagi di dalamnya ada logika dan
intensi. Ketika seseorang diam melamun, sesungguhnya dia juga berbicara
dengan logika dan bahasa batinnya. Tanpa bahasa dan logika dunia sekeliling
ini tak bisa distrukturkan dan dipahami. Tanpa logika dan bahasa tak akan
muncul teks, dan tanpa logika teks tak akan berbunyi. Karena itu, ketika
seseorang memahami kitab suci, capaian kedalaman dan keluasannya dalam
menggali maknanya akan dipengaruhi kekayaan bahasa dan pengetahuan yang
dimilikinya, sebagaimana orang menyelam ke lautan lepas, tingkat kedalamannya
akan dipengaruhi oleh kecanggihan menyelam dan teknologinya. Orang yang tak
paham bahasa Arab dan tak punya modal pengetahuan, maka teks Al Quran tak
akan memunculkan maknanya.
Makna itu terkurung dalam teks.
Ketika teks Al Quran diterjemahkan, sesungguhnya terjemahan adalah bentuk
tafsir paling pendek dan paling singkat, dengan risiko kehilangan beberapa
karakter yang melekat pada bahasa aslinya, terutama ”rasa bahasa” serta
idiom-idiom yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain sehingga mungkin
sekali ada makna yang lepas.
Jadi, semua bangunan ilmu
pengetahuan adalah sebuah konsensus yang dibangun oleh komunitas ilmuwan.
Kita semua hidup dalam jejaring dunia tafsir yang dibangun oleh para ilmuwan.
Ciri ilmu itu terbuka, ibarat pohon, yang menjadi pupuknya adalah riset dan
kritik terus-menerus agar pohon ilmu selalu tumbuh. Kritik yang sehat dan
konstruktif akan terjadi selama para ilmuwan memiliki kejujuran dan sikap
saling menghargai terhadap pendapat yang berbeda.
Ketika ilmu bergeser menjadi
ideologi, daya kritis cenderung menurun dan closed ended, padahal kebenaran ilmu itu bersifat open ended. Ideologi cenderung menekankan pilihan
”menang-kalah”, ilmu menekankan
”benar-salah”, sedangkan etika menekankan ”baik-buruk”. Sampai-sampai
ada ungkapan, ilmuwan itu boleh salah, tetapi tak boleh bohong. Sedangkan
ideolog itu kalau perlu mesti bohong untuk mengalahkan lawannya, meskipun
tindakan dan omongannya salah dan dosa.
Masyarakat Indonesia
sesungguhnya punya modal sosial untuk hidup toleran, saling menghargai
perbedaan, sebagaimana tecermin dalam moto Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat
dari realitas sosial dan sejarah. Sikap itulah yang memungkinkan berbagai
agama tumbuh berkembang di negeri ini dengan damai, meskipun akhir-akhir ini
muncul kelompok yang merusak tradisi dan karakter masyarakat Indonesia yang
senang pada musyawarah dalam suasana kekeluargaan. Jika tradisi kritis dalam suasana yang saling menghargai
hilang, bangunan ilmu dan peradaban
akan keropos, tak berkembang. Yang
mengemuka lalu sikap ”menang-kalah” karena dorongan emosi dan kepentingan
kelompok, bukan kepentingan bangsa dan masyarakat pada umumnya. Memasuki
tahun politik, sangat mungkin agama dan sentimen mazhab akan dikapitalisasi
jadi instrumen politik ketika partai politik tak lagi menarik bagi anak-anak
muda karena kegagalan parpol sendiri untuk mengajukan kader-kadernya yang
difavoritkan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar