Aksi
Kebangsaan Perguruan Tinggi
Mangadar Situmorang ; Rektor Universitas Katolik Parahyangan
|
KOMPAS,
16 November
2017
Pada 26 September 2017,
pimpinan lebih dari 3.000 perguruan tinggi di Indonesia membuat deklarasi di
Bali, menolak radikalisme dan intoleransi yang dinilai semakin marak.
Deklarasi dinyatakan di hadapan
Presiden Joko Widodo. Para pemimpin perguruan tinggi (PT) ini juga menegaskan
kesetiaan dan dukungan pada satu ideologi Pancasila, satu konstitusi UUD
1945, satu negara NKRI, dan satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Peristiwa itu
berlanjut pada peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017 dengan pergelaran
“Aksi Kebangsaan Menolak Radikalisme dan Intoleransi”.
Sejumlah media daring dan
medsos memberitakan, dalam kuliah akbar, sebanyak 4,5 juta mahasiswa di
seluruh Indonesia bersama-sama menyatakan komitmen mendukung empat pilar atau
konsensus nasional itu. Pergelaran aksi kebangsaan yang melibatkan hampir
semua PT di Indonesia itu berlangsung aman dan tertib.
PT sebagai badan publik
Dua pertanyaan yang muncul: apa
rasionalitas PT melakukan aksi itu dan apakah kegiatan aksi kebangsaan
seperti itu tidak justru menggerogoti otonomi PT yang selama ini menjadi
privelese (hak istimewa) PT?
Dalam pemahaman umum, yang
disebut instansi atau badan publik adalah lembaga yang menjalankan tugas
pokok kenegaraan. Untuk tugas tersebut, negara menyediakan alokasi anggaran
dari APBN. Dalam konteks ini, perguruan tinggi negeri (PTN) merupakan
institusi publik, yang mengemban tanggung jawab dan kewajiban sesuai dengan
peraturan perundangan. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) memiliki
sebagian besar karakteristik publik tersebut sehingga sebagaimana halnya PTN,
juga mengemban tugas kenegaraan, yakni turut serta membangun dan mencerdaskan
warga negara, meski tidak atau hanya sedikit dapat bantuan pendanaan dari
APBN/APBD.
Karena dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi, PTS menerima dana yang berasal dari masyarakat berupa uang
kuliah dan sejenisnya, pada PTS juga melekat pertanggungjawaban publik. Ini
tak terbatas pada tingkat keterserapan lulusan PTS di dunia kerja, tetapi
juga menyangkut sikap, orientasi, dan perilaku para lulusan yang seyogianya
berorientasi pada pembangunan masyarakat secara umum, terbuka, majemuk, dan
adil; bukan untuk kepentingan kelompok tertentu yang bersifat parsial apalagi
diskriminatif.
Aksi kebangsaan melawan
radikalisme dan intoleransi dengan demikian memiliki rasionalitas.
PT sebagai lembaga pendidikan tinggi
Keutamaan PT di Indonesia
sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah otonomi yang dimiliki. Hal ini tak
hanya diatur secara hukum dalam UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi
(Pasal 8 dan 9), tetapi juga secara historis telah mengadopsi norma umum yang
berlaku secara universal (Deklarasi UNESCO).
Secara ringkas, Pasal 8
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pendidikan tinggi berlaku kebebasan
akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan dan
otonomi akademik ini merujuk pada Pasal 3 di mana disebutkan pendidikan
tinggi berasas pada kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan,
manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebinekaan, dan keterjangkauan.
Dengan merujuk Deklarasi
UNESCO, Prof T Basaruddin sebagai Ketua Dewan Eksekutif BAN-PT menegaskan
bahwa PT, antara lain, memiliki hak-hak di mana mahasiswa berhak untuk
belajar, toleran atas pendapat yang berbeda dan bebas dari intervensi
politik, dan sebagai institusi publik harus menegakkan kebebasan dan
keadilan, solidaritas dan kemanusiaan, menyebarluaskan dan mengembangkan
iptek, serta mencegah terjadinya hegemoni intelektual.
Hegemoni intelektual ini
umumnya jadi karakteristik dosen/pengajar karena penguasaan keilmuan yang
luas dan dalam, baik karena faktor waktu yang telah dihabiskan untuk terus
belajar atau/dan kombinasi kapabilitas akademik yang luar biasa.
Hegemoni intelektual dapat
menjadi berbahaya dan menyesatkan jika tak lagi terbuka ruang untuk
pemikiran-pemikiran relatif dan alternatif. Hal itu bisa terjadi ketika
kebenaran-kebenaran ilmiah yang dimiliki telah berubah menjadi dogma yang
tidak lagi dapat diperdebatkan dan diragukan kebenarannya.
Kebenaran-kebenaran yang dimiliki bukan lagi kebenaran akademik yang
sesungguhnya selalu terbuka untuk diverifikasi atau difalsifikasi, tetapi
telah dimistiskan atau disakralkan.
Kecenderungan seperti itu kian
berbahaya ketika praktik individual (oknum) seperti itu berubah menjadi
kolektif dan bahkan institusional. Hal itu berlangsung tak saja lewat
dogmatisasi kebenaran akademik, tetapi sangat mungkin lewat intervensi
kebijakan dan manajerial.
Materi-materi pembelajaran dan
penelitian selalu dikaitkan dengan nilai-nilai religiositas tertentu.
Kebijakan dan program rekrutasi dan pengembangan pegawai juga sudah diembeli
kualifikasi nonprofesional tertentu. PT secara perlahan berubah menjadi
lembaga indoktrinasi dan ideologisasi.
Peneguhan jati diri
Aksi kebangsaan PT menolak
radikalisme dan intoleransi seyogianya dimaknai sebagai pernyataan memurnikan
diri dari berbagai bentuk penyimpangan dalam pengelolaan perguruan tinggi dan
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Penyimpangan tersebut bisa disebabkan oleh
pengaruh dan infiltrasi eksternal ataupun dari praktik-praktik internal yang
intoleran.
Pengaruh-pengaruh eksternal
tersebut tidak terbatas hanya pada ideologi-ideologi radikal yang ingin
menggantikan ideologi negara, tetapi juga paham-paham ekstrem yang dapat
menggerogoti otonomi perguruan tinggi yang berkarakter Indonesia. Paham-paham
semacam itu bervariasi, baik jenis maupun intensitasnya. Liberalisme dan
neoliberalisme, misalnya, tidak sekadar menawarkan universalisasi atau
internasionalisasi nilai-nilai dan standar-standar, tetapi juga cenderung
menggiring PT ke ranah komersialisasi.
PT di Indonesia yang berjumlah
lebih dari 4.000 dengan sekitar lima juta mahasiswa dan dosen/pegawai yang
terlibat di dalamnya menjadi bagian dari transaksi-transaksi ekonomi
kapitalis global. Tidak jarang institusi negara menjadi instrumen pasar yang
secara cerdik dan legal membawa PT menjadi bagian dari transaksi
globalisme-tidak sekadar diukur dengan nilai dan volume ekonomis, tetapi
dalam bentuk peringkat, rangking, dan reputasi PT.
Demikian juga dengan paham
statisme, di mana negara hendak terlibat jauh dalam urusan pengembangan dan
pewarisan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat berbagai regulasi dan
birokratisasi PT disetir untuk memenuhi standar-standar dan tuntutan kinerja
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Gerakan kebangsaan PT juga
ditujukan sebagai pemurnian diri dari praktik-praktik internal yang menafikan
perbedaan, yang tidak membuka ruang bagi ragam pendapat dan identitas, dan
yang menghambat kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
pewarisan budaya secara kritis dan kreatif.
Jika demikian halnya, gerakan
kebangsaan yang dilakukan oleh PT patut pula dibaca sebagai upaya serius
untuk menegaskan jati diri PT yang tidak saja otonom tetapi yang berjati diri
Indonesia. Barangkali dalam konteks ini Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT) perlu mempertimbangkan perlunya instrumentasi standar yang
bisa mengukur tingkat toleransi, inklusivitas, dan otonomi PT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar