“The
Great Disruption”
Bre Redana ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS,
15 Oktober
2017
Sekarang ini khususnya di daerah tinggal saya yang
terbilang desa, yakni Ciawi, terasa kian tidak mudah berlangganan koran.
Pengiriman koran sering terhenti. Pihak agen bilang, kini jarang ada loper
yang cukup setia dengan pekerjaannya. Tidak seperti dulu, kata agen. Sulit
sekarang mencari orang yang bersedia jadi loper, keluhnya.
Ia menggerundel, daripada jadi loper anak-anak muda
memilih jadi tukang ojek. Dia perbandingkan sendiri pendapatan antara ngojek
dan menjadi loper. Menurut perhitungan dia, pendapatan sebagai pengemudi ojek
lebih besar.
Kalau mau tetap bisa berlangganan koran, seorang teman
menasihati saya, pindahlah rumah. Ke mana, tanya saya. Bertetangga dengan
agen koran, jawab teman yang pernah menjadi importir film ini tertawa. Dia
membandingkan film dengan koran. Kami bisa bikin film bagus, tapi sistem
peredarannya tak mendukung. Bung bisa membikin koran bagus, tapi bagaimana
kalau tak ada yang mengantar, ucapnya.
Inikah salah satu efek dari “revolusi motor”? Kawasan saya
tinggal kebetulan tak jauh dari resor Puncak. Lebih-lebih di situ, mana ada
yang bersedia jadi pengantar koran. Dengan motor ada pekerjaan yang konon
besar tipnya, yakni antar-jemput perempuan penghibur. Jenis pekerjaan ini
diam-diam punya nama khusus-yang jelas bukan loper.
“Dulu saya melakukan pekerjaan itu,” seorang anak muda
mengaku. “Sekarang berhenti. Uang panas, cepat dapat cepat habis,” ujarnya
cengengesan.
Banyak orang barangkali masih ingat sebuah zaman ketika
koran diantar dengan jalan kaki. Setelah itu berkembang, koran diantar dengan
naik sepeda. Banyak remaja menjadi pengantar koran.
Di kota kecil kami di Jawa Tengah dulu, koran diantar oleh
remaja yang mengantar dengan bersemangat, tak peduli hari panas atau hujan.
Dia pelajar SMP, menjadi loper untuk membiayai sekolah.
Ketika saya beranjak mahasiswa dan kadang-kadang tulisan
dimuat terutama di koran-koran daerah, ia dengan gembira menunjukkan koran
yang ia ketahui memuat tulisan saya. Itulah momen luar biasa bagi kami,
penduduk kota kecil yang sehari-hari ngelangut. Dia membaca tulisan saya.
Kami sama-sama bertumbuh dalam tradisi literer-dalam hal ini baca koran.
Entah di mana dia sekarang, mudah-mudahan jadi dosen.
Kini, seiring kenangan tentang loper koran dari zaman yang
telah berlalu tadi, kebiasaan membaca barang cetakan kian merosot. Lihat di
semua tempat umum, sulit ditemukan orang membaca buku atau koran.
Ketidak-akraban orang dengan buku bahkan bisa dirasakan di
kalangan para pegawai toko buku-toko buku besar sekalipun. Tak jarang mereka
kebingungan ketika kita menanyakan judul buku atau nama pengarang. Mereka
malah menggigit-gigit ujung jari kuku. Sepanjang masa sekolah mungkin mereka
tidak pernah baca buku.
Berbeda dengan urusan peranti digital. Di kawasan paling
agraris sekalipun jari-jari kasar serupa caveman menutul-nutul layar digital.
Ketika peranti digital kita rusak, sampai pelosok desa kita bisa menemukan
kios telepon seluler yang bisa membereskannya dengan segera.
Meminjam istilah Fukuyama: “the great disruption”-terjadi semacam longsor besar pada proses
kebudayaan. Dunia kita kini bukanlah dunia yang kemarin lagi. Kalangan
menengah atas dan priayi-priayi kota umumnya mengeluh mengenai susahnya
mencari pembantu rumah tangga sekarang.
Ada anak muda pemotor di kampung saya yang melakukan
berbagai pekerjaan sambilan dengan motornya. Saya memanggilnya Anjelo. Ia
agak buta huruf, terbatas sekali kemampuan membacanya. Toh, ia terhubung
dengan siapa saja yang membutuhkannya dengan peranti digitalnya?
Teknologi telah menyamaratakan semua orang: bukan
sosialisme, apalagi komunisme yang kalian takuti. Tak dibutuhkan ekspertis
atau kecakapan khusus. Anak muda setengah buta huruf inilah yang akhirnya
saya mintai tolong untuk membelikan koran di pasar Ciawi tiap pagi.
Saya bujuk ia ikut baca koran. Dia senyum-senyum tak paham
maksud saya. Kemungkinan baginya ajakan membaca adalah suatu hal yang aneh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar