Partai dan Usia Pensiun Kapolri
Hifdzil Alim ;
Pengajar Ilmu Hukum UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS, 30 Mei 2016
Sikap DPR terbelah
terkait polemik perpanjangan usia pensiun jabatan kepala Polri. Partai
politik di DPR terbagi menjadi dua.
Kelompok pertama
setuju dengan perpanjangan masa jabatan kepala Polri. Sementara kubu lainnya
menolak. Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, dan PPP mendukung
diteruskannya kekuasaan Jenderal Badrodin Haiti di tubuh kepolisian. Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai
Hanura, dan PKS ada di seberangnya, bersikeras agar Presiden memilih pemimpin
baru bagi korps seragam coklat.Apakah sikap partai di DPR dalam polemik usia
pensiun kepala Polri menunjukkan berjalannya fungsi representasi bagi rakyat.
Atau malah sebaliknya—meminjam bahasa Roy C Macridis (1996)—sedang memainkan
fungsi perantara (brokerage).
Partai mewakili kepentingan, kelompok, dan kelas sosial tertentu?
Filter hukum
Untuk menguji fungsi
apa yang sedang dipentaskan oleh partai politik, perlu digunakan filter
khusus. Hukum dapat dimanfaatkan sebagai penyaring yang konsisten—walau tak
berada di ruang hampa—atas laju kebijakan parpol. Pada bagian ini,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah hukum yang dimaksudkan itu.
Pasal 30 Ayat (2) UU
Kepolisian pada pokoknya menyebutkan, umur pensiun polisi umumnya sampai 58
tahun, dapat diperpanjang hingga usia 60 tahun apabila yang bersangkutan
memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan. Ketentuan lebih lanjut
tentang frasa ”keahlian khusus dan sangat dibutuhkan” diatur dalam peraturan
pemerintah (PP). Masalahnya, sampai opini ini dirangkai, penulis tak
menemukan PP yang spesifik bicara tentang syarat dan batasan perpanjangan
usia pensiun polisi. Dengan kata lain, pemerintah belum menerbitkan aturan
pelaksana tentang kriteria ”keahlian khusus dan sangat dibutuhkan” sebagai
basis hukum memperpanjang usia pensiun polisi.
Ada dua jalan keluar
menghadirkan PP itu. Pertama, memaksa presiden menerbitkan PP dalam waktu
dekat. Akan tetapi, sepertinya opsi ini agak susah mengingat ada mekanisme
pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilalui. Kecuali presiden
sudi memprioritaskan penyusunan rancangan PP itu, mau tidak mau harus
ditempuh jalan keluar yang kedua: memohon pertimbangan atas kriteria
”keahlian khusus dan sangat dibutuhkan” kepada lembaga lain.
Mahkamah Agung adalah
lembaga yang dapat dimohon supaya memberi pertimbangan atas penentuan syarat
”keahlian khusus dan sangat dibutuhkan”. Cantolannya berupa Pasal 37 UU No
14/1985. MA dapat memberi pertimbangan hukum kepada lembaga negara baik
diminta maupun tidak. Pendek kalimat, apakah usia pensiun kepala Polri dapat
diperpanjang atau tidak, seyogianya parpol di DPR—dan juga presiden—bersedia
menunggu pertimbangan dari MA, sebagai filter hukum, atas bunyi Pasal 30 Ayat
(2) UU Kepolisian.
Nirfungsi perantara
Hukum, sekali lagi,
juga mampu menyaring apakah fungsi representasi atau fungsi perantara yang
sedang diperankan parpol dalam polemik usia pensiun kepala Polri. Katakanlah,
usia pensiun Jenderal Badrodin Haiti tak dapat diperpanjang, maka calon
kepala Polri yang akan menggantikan harus juga memenuhi syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan hukum secara umum.
Calon kepala Polri
adalah perwira tinggi aktif dengan memperhatikan kepangkatan dan karier.
Artinya, deretan jenderal polisi yang akan memasuki masa pensiun tidak
didudukkan sebagai calon. Jika tetap diajukan, usia berpotensi menjadi
masalah untuk mengocok-ulang pemimpin kepolisian.
Kepolisian dituntut
untuk menjunjung tinggi kebenaran dalam penegakan hukum serta menjamin
kepastian berdasarkan hukum. Tri Brata dan Catur Prasetya menjiwai
polisi—termasuk kepala Polri—untuk taat hukum. Ini sangat penting. Sebab,
kepolisian akan menjadi pengayom dan panutan berhukum bagi masyarakat. Calon
kepala Polri tidak boleh menabung potensi masalah di internal ataupun
eksternal lembaga bayangkara.
Hukum melalui Pasal 11
UU No 2/2002 menyediakan aturan mainnya. Presiden mengajukan nama, partai
memberikan persetujuan. Presiden bertugas menggodok nomine pemimpin besar
kepolisian dengan masukan dari komisi kepolisian. Partai menyatakan setuju
atau menolak pilihan presiden.
Anggap saja, calon
kepala Polri pilihan presiden sesuai dengan harapan masyarakat, kebijakan
berikutnya ada di tangan parpol di DPR. Parpol betul-betul sedang diuji.
Parpol yang sedang memainkan fungsi perantara akan menolak calon kepala Polri
dan mengembalikannya kepada presiden. Selanjutnya, manuver politik dilakukan
untuk menekan presiden agar mengambil calon kepala Polri yang dinilai bisa
bekerja sama dengan partainya sendiri, bukan bekerja pada yang lain.
Kalau skema di atas
yang akan berlaku, fungsi brokerage parpol sedang bergerak dan menanggalkan
fungsi perwakilan kepentingan rakyat. Parpol hanya mewakili kepentingan
kelompok atau elitenya sendiri. Dan ini bukan kebijakan yang bagus bagi masa
depan parpol. Parpol seharusnya memilih untuk nirfungsi perantara. Tidak
menjadi tangan panjang dari oknum kelompok atau elite yang berpikir oportunis
terhadap kekuasaan.
Pemilihan kepala Polri
menjadi satu momentum yang langka bagi parpol untuk menunjukkan sejatinya
peran representasi, sekaligus juga sebagai ujian apakah parpol masih bisa
diharapkan sebagai wadah politik yang sehat dan berkemanusiaan atau sekadar
tempat nongkrong-nya para oligarki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar