Korupsi di Desa
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan Institut
Pertanian Bogor (IPB)
|
KOMPAS, 21 Juni 2016
Komisi Pemberantasan
Korupsi menduga potensi korupsi dalam pengelolaan dana desa sangat besar
(Kompas, 13/5/2016). Meskipun argumen yang dibangun cacat tautologis, tetapi
gagasan untuk menjernihkan aparat pemerintah perlu didukung melalui telisik
pola korupsi (di) desa.
Tautologi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ditunjukkan oleh analogi korupsi program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) masa lalu terhadap transfer dana desa masa
kini. PNPM dikelola kelompok masyarakat dan pendamping, sehingga korupsi
hanya mungkin dilakukan keduanya. PNPM justru mengharamkan aparat desa pada
semua tahapan kegiatan. Namun, mengherankan bila KPK menyodorkan pendamping
guna mengawasi dan menghilangkan korupsi dana desa.
Menggali akar politik
korupsi desa sejak abad ke-17, sejarawan Ong Hok Ham mencatat, raja
meminjamkan tanah lungguh (duduk, akar kata kedudukan), tetapi tanpa
kepastian gaji aparat. Kepala desa menggalang rakyat bekerja bakti mengolah
lahan. Buah pemanenan menjadi upeti raja, adapun kelebihan panen halal
dikuasai kepala desa. Semakin tinggi keuntungannya, kepala desa dinilai
piawai mengapitalisasi kedudukannya.
Namun, interpretasi kehalalan
runtuh sejak gaji bulanan birokrasi diterapkan Deandels pada 1808. Kelebihan hasil bumi di luar gaji
menjadi haram dan jatuh sebagai kasus korupsi.
Dialektika
interpretasi korupsi atau kapitalisasi kedudukan terus berlangsung hingga era
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Alokasi dana desa (ADD) dan dana desa
menyediakan sumber daya bagi pemerintah kabupaten guna mengucurkan
penghasilan tetap seluruh aparat pemerintahan desa. Kepala desa hingga ketua
rukun tetangga mengenggam gaji dan tunjangan bulanan, dari ratusan ribu
hingga jutaan rupiah. Surat edaran dari Kemendagri membatasi penghasilan
tetap ini maksimal 30 persen ADD.
Hampir tidak pernah
dijumpai kasus korupsi penghasilan tetap aparat desa karena aturan dan
pelaporannya telah pasti dan kaku. Penghasilan tetap itu hanya mungkin
dipungli oleh aparat kabupaten atau kecamatan.
Laporan korupsi hampir
semuanya mencuat dari ranah pembangunan, lantaran diinterpretasi sebagai
lahan kapitalisasi kedudukan kepala desa. Pemahaman serupa menggiring wartawan
gadungan, LSM palsu, dan oknum birokrasi di atas desa menakut-nakuti kepala
desa seraya berharap remah recehan.
Sejak krisis moneter
hingga 2014, program-program pemberdayaan mengubah aliran dana dari aparat
desa kepada kelompok masyarakat dan pendamping. Tidak mengherankan, lahir
kasus-kasus pelarian dana oleh pendamping, serta penggelapan uang oleh
pengurus unit pengelola keuangan di kecamatan dan kelompok masyarakat di
desa. Tercatat pula kasus pembentukan kelompok fiktif.
Dua pencegahan
Berkaca dari PNPM, KPK
memberi contoh korupsi sampai Rp 200 juta pada satu desa. Dibandingkan
rata-rata aliran pembangunan sebesar Rp 250 juta, nilainya fantastis setara
80 persen. Sebenarnya, PNPM hanya melaporkan penyalahgunaan dana 0,3 persen,
walau nilainya tetap menjulang, Rp 63
miliar selama 2007-2012.
Luput terdeteksi,
butir pendapatan asli desa (PAD) yang rendah dalam anggaran pendapatan dan
belanja desa (APBDes) kerap menyembunyikan lubang korupsi. Jasa layanan
administrasi, retribusi pasar dan perdagangan, jual beli lahan, bahan galian
hingga mineral pertambangan seharusnya tercatat sebagai PAD. Sayangnya, kuasa
interpretasi kapitalisasi kedudukan membelokkan dana ke saku aparat
pemerintah desa.
Sangkaan korupsi
kepada aparat desa mudah merembet kepada aparat kecamatan, kabupaten,
provinsi, hingga pusat. Modusnya pungutan liar dan korupsi berjemaah. Yang
lebih rumit diatasi berupa sinyalemen lubang korupsi yang tercipta melalui
pasal-pasal peraturan dari pusat hingga kabupaten.
Pemerintah pusat dan kabupaten
meresponsnya dengan menambah rinci aturan pelaporan anggaran. Tujuannya kian
mempersempit celah kapitalisasi kedudukan, dan mendeteksi secepat mungkin
tindakan koruptif melalui butir-butir laporan.
Di lapangan, strategi
pertama ini melahirkan kelemahan, manakala aturan yang rinci dan seragam
berlawanan dari keragaman kebutuhan belanja pemerintah desa atau munculnya
kejadian luar biasa (KLB). Dalam setahun terakhir, adanya penghasilan tetap
aparat desa menggerakkan kehadiran kerja mereka rutin tiap hari, tetapi
pembangunan kantor desa baru tergolong pelanggaran anggaran. Anggaran KLB
bencana atau penyakit menular lazim dicadangkan rendah, sehingga tidak pernah
cukup kala musibah benar-benar terjadi dalam skala besar.
Strategi kedua
menekankan transparansi dan akuntabilitas keuangan. Di Kabupaten Serang,
Banten, perencanaan anggaran tiap desa disusun dalam musyawarah desa,
ditetapkan dalam peraturan desa, kemudian diumumkan secara lisan dan
tertulis. Di akhir tahun, pemerintah desa mempresentasikan laporan keuangan
dalam musyawarah desa kembali.
Setelah melalui
perdebatan, keputusan akhir penerimaan laporan keuangan dituangkan pula dalam
peraturan desa. Pada awal tahun anggaran berikutnya, inspektorat kabupaten
mengecek laporan desa sekaligus memberikan bimbingan teknis perbaikan untuk
laporan tahun berikutnya.
Strategi kedua lebih
mungkin mencegah korupsi di desa secara berkelanjutan. Daripada sinyalemen
korupsi berkembang politis hingga mengganggu proses pelayanan warga, lebih
baik lawan politik kepala desa, wartawan gadungan, LSM palsu, aparat
inspektorat kabupaten, hingga BKPK beradu argumentasi dalam musyawarah desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar