Disorientasi ala DPR
Reza Syawawi ;
Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA INDONESIA,
31 Maret 2016
DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR)
seperti mengalami disorientasi. Dalam situasi kinerja yang dinilai buruk oleh
publik, DPR justru mengusulkan program pembangunan perpustakaan yang
sebetulnya tidak relevan dengan tugas dan fungsi pokoknya. Melalui usulan ini,
DPR seakan kehilangan arah untuk membangun kelembagaan perwakilan yang lebih
kredibel dan dipercaya publik.
Usulan pembangunan senilai
ratusan miliar rupiah tersebut tak pelak dinilai hanya sebagai muslihat untuk
mengelabui publik (Media Indonesia,
30/3). Jika belajar dari pengalaman DPR sebelumnya, ada persoalan yang
lebih penting untuk diselesaikan dalam rangka perbaikan kinerja DPR ketimbang
hanya sekadar mengusulkan pembangunan perpustakaan.
Mafia proyek
DPR harus dikembalikan
fungsinya sebagai lembaga yang menjalankan 3 (tiga) fungsi sesuai amanat
konstitusi, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Usulan
pembangunan/proyek pada dasarnya bertentangan dengan batasan kewenangan DPR
terkait dengan anggaran (budgeting).
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
putusannya No 35/PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa DPR tidak lagi berwenang
untuk menentukan anggaran hingga satuan tiga (kegiatan dan jenis belanja).
Ada persoalan konstitusionalitas ketika DPR diperkenankan untuk ikut membahas
hingga ke tingkat kegiatan dan jenis belanja.
Lewati kewenangan
Ketika DPR memiliki kewenangan
untuk membahas anggaran secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan
jenis belanja, pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam melakukan
fungsi anggaran. DPR telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan
anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif (presiden).
Pembatasan ini tentu saja
memiliki alasan konstitusional yang kuat, setidaknya ada 2 (dua) batasan
kewenangan DPR dalam konteks anggaran, yaitu (i) membahas dan menyetujui
bersama Presiden atas RAPBN yang diajukan Presiden, dan (ii) mengawasi
pelaksanaan APBN.
Pada sisi yang lain, pembatasan
ini juga relevan dengan praktik korupsi yang marak dilakukan anggota DPR.
Jika berkaca pada pengalaman DPR periode sebelumnya, ada banyak kasus korupsi
proyek yang dibiayai APBN melibatkan anggota DPR, sebut saja Proyek Hambalang
(Bogor), Wisma Atlet (Palembang), dan banyak kasus korupsi lainnya.
Dalam periode DPR saat ini pun
(2014-2019), telah ada tersangka yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) karena diduga menerima suap terkait dengan proyek pemerintah.
Semua hal ini memperlihatkan
betapa kuasa anggaran telah membuat anggota DPR lebih identik sebagai
calo/mafia proyek, ketimbang memastikan usulan/aspirasi masyarakat yang
diwakilinya tersalurkan ke dalam perencanaan yang dibuat pemerintah. Oleh
karena itu, pembatasan kewenangan ini perlu untuk disampaikan kembali
semata-mata untuk mencegah terjadinya penyimpangan, baik dari segi
kewenangan/fungsi maupun implikasinya terhadap penyalahgunaan anggaran
negara.
Fenomena ini seharusnya juga
mampu memberikan pembelajaran kepada anggota DPR untuk memproteksi diri dari
bersentuhan langsung dengan pelaksanaan proyek pembangunan yang dibiayai
negara, apalagi sampai menjadi pihak pengusul proyek (pustaka).
Suramnya legislasi
Pada sisi yang lain, hal yang
juga penting untuk diperbaiki DPR ialah bagaimana meningkatkan kinerja
legislasi. Ada kecenderungan yang memperlihatkan penurunan, baik secara
kualitas maupun kuantitas (jumlah) undang-undang yang dihasilkan DPR. Hal ini
disebabkan lemahnya DPR dalam menyusun agenda legislasi yang sesuai dengan
kebutuhan hukum di masyarakat.
Politik legislasi tidak
memiliki agenda yang jelas dan cenderung hanya ingin mengejar target kuantitas,
dan bahkan itu pun tak pernah tercapai. DPR sebagai lembaga yang diberi kuasa
untuk membentuk undang-undang tidak memiliki acuan prioritas yang dapat
diukur dan dicapai dalam kurun periode tertentu.
Akibatnya, politik legislasi
menjadi tidak jelas dan hanya mengikuti arus politik mayoritas di DPR. Inilah
salah satu hal yang menyebabkan menumpuknya target legislasi dan nyaris tak
terselesaikan. DPR harusnya mampu 'mengadministrasikan' dan mengelola seluruh
keinginan politik di parlemen menjadi program legislasi yang rasional,
termasuk bagaimana mengimbangi dominasi eksekutif (presiden) dalam
mengusulkan sebuah RUU.
DPR harus terlebih dahulu
mengatur dirinya agar RUU yang diusulkan memang memiliki tingkat urgensi yang
tinggi dan siap secara substansi (naskah akademis dan RUU). Ketidakmampuan
DPR dalam mengelola ini bisa dilihat dalam periode DPR selama 10 (sepuluh)
tahun terakhir (2004-2009, 2009-2014), yakni kinerja legislasi mengalami
kemunduran.
Oleh karena itu, DPR semestinya
menggunakan kuasa pembentukan undang-undang sebagai dasar untuk mengatur
politik legislasi yang lebih terarah dan rasional. Hal ini bisa dilakukan
jika peran alat kelengkapan DPR memang diarahkan untuk menyokong kinerja legislasi,
bukan justru merusak arah legislasi.
Semua perbaikan ini seharusnya
menjadi fokus DPR selama kurang lebih 4 (empat) tahun periode yang tersisa,
bukan justru mengurusi hal yang tidak relevan dengan fungsi pokok DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar