Daffa dan Pemimpin Kita
M Subhan SD ; Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 21 April
2016
Mohon dicatat: namanya Daffa Farros Oktoviarto, usia 9 tahun,
kelas III SD. Namun, bocah ini sangat bernyali dan pemberani: menghalau
pengendara sepeda motor yang ngawur melewati trotoar di Jalan Sudirman di
dekat tempat tinggalnya di Kelurahan Gisikdrono, Semarang, Jawa Tengah. Dia
tak takut walaupun tubuh pengendara sepeda motor lebih besar. Sebulan ini, ia
menegakkan aturan dengan caranya sendiri.
Rupanya tidak perlu menunggu tua untuk berbuat baik demi
kemaslahatan publik. Tidak perlu menjadi pejabat tinggi dengan menggenggam
kekuasaan besar untuk bisa menegakkan aturan. Jadi, tak perlu berpikir
menjadi presiden, politisi DPR, menteri, gubernur, kapolri, jaksa agung lebih
dulu untuk berbakti kepada masyarakat dan negeri ini. Daffa yang anak kecil
itu ternyata berjiwa besar. Tidak seperti orang-orang tua yang telah menjadi
petinggi negeri ini yang selalu bertengkar dan ribut dengan korupsi.
Ketika Daffa sendirian menghadapi pelanggar lalu lintas di
Semarang, pucuk-pucuk pimpinan institusi negara di ibu kota Jakarta justru
bertengkar hebat. Kasus RS Sumber Waras Jakarta bisa menjadi sumber
ketidakwarasan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Badan Pemeriksa Keuangan
berantem. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Ketua BPK Harry Azhar
Azis saling teriak. Sama-sama punya alasan. Ahok menyikapi kritis audit
investigasi yang dianggap ngawur, tetapi Harry merasa sudah benar. Ah,
biarlah KPK yang bekerja.
Makin runyam setelah banyak institusi lain nimbrung. Secara
personal tidak sedikit politisi menyerang Ahok. Sampai-sampai Komisi III DPR
pun turun langsung. Kalau dikaitkan dengan fungsi pengawasan, mungkin benar;
tetapi rasanya tidak perlu maksain bangetlah. Biarlah DPRD DKI yang turun
tangan menangani problem di wilayahnya. Bukankah DPRD DKI tidak vakum?
Ataukah ini momentum untuk mengeroyok Ahok karena sering membuat kuping merah
banyak pihak.
Mengapa para pemimpin di negeri ini senang sekali berantem, ya?
Apakah mereka tak tahu "jika gajah berkelahi, pelanduklah yang mati di
tengah-tengah". Selama ini kita-rakyat-selalu percaya kepada para
pemimpin dan institusi negara. Namun, berapa kali pula mereka mengkhianati
atau menipu rakyat. Ketika rakyat bertekad berjuang memberantas korupsi,
mereka tetap saja menggarong uang rakyat.
Misalnya, kasus korupsi Damayanti Wisnu Putranti dalam proyek
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Pulau Seram, Maluku;
membuka permainan bagi-bagi fee di Komisi V DPR, walaupun kemudian dibantah
koleganya di komisi tersebut. Di persidangan kasus suap yang melibatkan
Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy
Susanti, juga terbongkar bahwa uang suap mengalir ke mana-mana: Kejaksaan
Agung, DPR, dan PTUN.
Ketika rakyat menuntut transparansi dan menolak kolusi, ternyata
pimpinan DPRD DKI (Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi, Wakil Ketua Mohamad
Taufik, anggota Badan Legislasi Muhammad Sangaji, dan Ketua Panitia Khusus
Reklamasi Selamat Nurdin, juga Ketua Komisi D Mohamad Sanusi) bersama-sama
bertemu bos Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma (Aguan) di Pantai Indah Kapuk,
Jakarta.
Sepekan ini negeri ini terasa makin menggelap. Menyimpang jauh
dari pencerahan Kartini, yakni "habis gelap terbitlah terang".
Mungkin para pemimpin kita belum membaca kisah Daffa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar